Kamis, 06 Januari 2022

APA ARGUMEN PALING RASIONAL HUKUM DAN NEGARA WAJIB DIPATUHI?

-

Wajibkah warga negara patuh pada hukum dan negara? Kalau wajib, apa argumen paling rasional yang bisa menjelaskan kewajiban itu? Apakah warga negara memang punya kewajiban moral untuk patuh pada hukum? Hukum seperti apa yang wajib dipatuhi secara moral? Bukankah Adolf Hitler di zaman Nazi membantai warga Yahudi juga berdasarkan hukum? Tidak gampang menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Oleh karena itu, kita akan melihat apa alasan paling rasional hukum dan negara wajib dipatuhi. Penjelasan ini saya dasarkan atas Andrea Ata Ujan dalam bukunya Filsafat Hukum: Membangun Hukum Membela Keadilan (2009). Andrea Ata Ujan, dalam bukunya itu, dalam persoalan ini, merujuk ke A. John Simmons dalam esainya "The Duty to Obey and Our Natural Moral Duties".

Alan John Simmons adalah seorang filsuf politik berkebangsaan Amerika. Menurut Simmons, hukum sebagai norma kehidupan politik adalah contoh yang baik dari keterkaitan prinsip moral dengan peraturan institusional atau organisasi. Kalau kita perhatikan dengan baik akan tampak bahwa sebagian besar norma hukum sesungguhnya tumpang-tindih dengan norma moral. Larangan membunuh, mencuri, menipu, dan sebagainya, yang dikenal dalam sistem hukum kriminal misalnya, adalah contoh di mana norma moral bertemu dengan norma hukum. 

Demikian juga dengan hukum kontrak. Hukum kontrak adalah pengejawantahan dari kewajiban moral untuk memenuhi janji. Meskipun pada kenyataannya, lanjut Andrea, terdapat overlapping antara norma moral dan norma hukum, dan barangkali jelas ada semacam kewajiban moral untuk melakukan atau tidak melakukan apa yang diwajibkan atau dilarang oleh hukum, kepatuhan pada hukum menurut Simmons tidak dengan sendirinya dapat disebut kepatuhan dalam arti sesungguhnya. Di sini Simmons, jelas Andrea, ingin mengingatkan kita untuk berhati-hati dalam memaknai tuntutan kepatuhan pada hukum. Ini penting karena tidak semua hukum bersifat adil. 

Menurut Simmons, jelas Andrea, terdapat tiga kemungkinan jawaban atas pertanyaan "Apakah wajib mematuhi hukum?". Masing-masing jawaban didasarkan pada tiga teori yang oleh Simmons disebut: (1) teori kewajiban moral asosiatif; (2) teori kewajiban moral transaksional; (3) teori kewajiban moral natural (dikutip Andrea Ata Ujan dari buku Welman, Christopher Heath, dan John Simmons. Is There A Duty to Obey Law?. New York: Oxford University Press, 2005). Penjelasannya sebagai berikut:

Pertama, teori asosiatif melihat kewajiban untuk patuh pada hukum sebagai konsekuensi dari peran sosial. Peran sosial menuntut kewajiban moral tertentu dari pemangku peran. Karena itu, kewajiban asosiatif berkaitan dengan pertanyaan "Siapa saya?"; pertanyaan yang mengacu pada kewajiban yang harus dipikul oleh subjek karena peran yang dimainkannya. Kewajiban yang ditimbulkan oleh peran bersifat nonvolunter (wajib begitu saja). Dalam bahasa Wellman, kepatuhan pada hukum merupakan konsekuensi dari peran subjek sebagai warga negara. 

Kedua, teori transaksional mendasarkan kewajiban mematuhi hukum pada interaksi dengan sesama warga negara atau dengan negara yang secara moral dipandang penting. Di sini kewajiban tergantung pada "apa yang sudah saya lakukan terhadap atau nikmati" dari negara. Kewajibannya lalu bersifat volunter. Saya sudah mendapatkan manfaat dari negara, karena itu saya bersedia terikat dengan hukum yang ditetapkan negara bagi saya. 

Ketiga, teori kewajiban natural. Kewajiban untuk patuh pada hukum, menurut teori kewajiban natural, tidak didasarkan pada "siapa saya" (pertimbangan asosiatif); juga tidak pada "apa yang sudah saya dapatkan" dari negara (pertimbangan transaksional). Menurut Simmons, jelas Andrea, teori kewajiban natural mendasarkan kewajiban mematuhi hukum lebih pada norma moral umum imparsial. Tuntutan untuk tidak membunuh, tidak berbohong, tidak membahayakan orang lain misalnya, adalah tuntutan umum; sama halnya seperti menuntut kewajiban mendorong nilai imparsial seperti keadilan dan kebahagiaan. Inilah nilai yang berlaku bagi semua manusia bukan karena peran yang dimainkan atau karena keterikatan pada kontrak, melainkan hanya karena manusia sebagai manusia wajib begitu saja untuk mendorong nilai seperti itu. Nilai umum imparsial inilah yang menjadi dasar tuntutan kepatuhan pada hukum. 

Secara singkat, teori kewajiban natural menuntut kepatuhan pada hukum dengan bertolak dari dua kemungkinan pertimbangan berikut. Pertama, pertimbangan bahwa secara moral memang penting untuk mengambil manfaat dari moral imparsial. Katakan saja, berlaku adil dan jujur itu baik. Kepatuhan pada hukum penting karena demi membela nilai kemanusiaan universal. Kedua, pertimbangan yang melihat kepatuhan pada hukum sebagai kewajiban moral yang harus dilakukan begitu saja oleh siapa saja bagi siapa pun sebagai sesama manusia yang setara tanpa memperhatikan peran sosial atau manfaat apa pun yang bisa didapatkan dari negara.

Jadi, lanjut Andrea, dari ketiga teori di atas, teori asosiatif dan teori transaksional tidak cukup memuaskan untuk membenarkan paksaan untuk mematuhi hukum. Teori asosiatif tidak memuaskan karena dua alasan: pertama, unsur paksaan dalam kewajiban asosiatif terlalu keras sehingga nuansa moralnya tidak kuat. Subjek dipaksa mematuhi hukum hanya karena statusnya sebagai warga negara. Padahal, kewajiban moral, juga kewajiban moral untuk mematuhi hukum, mengandaikan pertimbangan akal sehat. Paksaan (nonvolunter) tidak sesuai dengan sifat dasar tuntutan moral. Kedua, teori asosiatif membuka ruang bagi negara untuk memaksakan hukum pada warga negara, namun lalai mempersoalkan apakah negara memang memiliki otoritas legitim untuk memaksakan hukum. 

Memaksakan kewajiban kepada warga negara tanpa memperhatikan legitimasi negara justru membuat negara menjadi, menurut istilah Thomas Hobbes, leviathan bagi warga negara. Karena itu, penting bahwa tuntutan untuk mematuhi hukum juga harus dilakukan dengan memperhatikan legitimasi lembaga hukum atau otoritas yang membuat hukum. Sesungguhnya, kata Andrea, pertimbangan yang sama juga dikemukakan oleh Wellman ketika ia berbicara tentang kewajiban mematuhi negara. Dua syarat penting harus dipenuhi, menurut Wellman, supaya warga negara wajib mematuhi hukum: (1) hukum harus valid, dalam arti adil; dan (2) negara harus legitim; negara secara moral diterima dan diakui keberadaannya oleh warga negara. 

Singkatnya, teori asosiatif tidak memberi landasan moral yang kuat untuk mematuhi hukum. Apa yang menjadi kelemahan teori asosiatif, menurut Simmons, justru menjadi medan kekuatan moral teori transaksional. Teori ini pada dasarnya mengandaikan adanya kebebasan dan persetujuan setiap subjek yang terlibat dalam transaksi. Dalam dunia transaksi semua pihak terikat pada semacam kontrak (kontrak sosial) yang menjamin hak dan kewajiban setiap pihak secara fair. 

Dalam konteks relasi negara dengan warga negara, kontrak dapat bersifat hipotetis tetapi bisa juga aktual. Teori kontrak aktual juga mengandaikan persetujuan aktual. Dalam kontrak aktual dibutuhkan persetujuan konkret individu sebagai landasan untuk memberi pertanggungjawaban moral terhadap tuntutan untuk mematuhi hukum. Akan tetapi, kontrak dapat juga bersifat hipotetis, dan karena itu persetujuan subjek juga bersifat hipotetis. Jadi, di sini tidak terjadi persetujuan atau kontrak sosial historis konkret antara subjek dan negara. 

Akan tetapi, subjek dengan bimbingan rasio mampu melihat nilai positif dari negara, dan karenanya juga merasa wajib secara moral untuk terikat dan tunduk pada hukum yang diberlakukan negara baginya. Dengan demikian, kewajiban moral untuk mematuhi hukum sebetulnya lebih merupakan kesadaran moral yang mengalir dari keyakinan subjek akan keutamaan atau kualitas moral yang diperlihatkan negara kepada warga negara. Dalam arti ini, persetujuan hipotetis lebih sesuai dengan teori kewajiban moral natural daripada teori kewajiban moral transaksional. 

Betapapun kuatnya teori transaksional dalam realitas politik tidak meyakinkan. Dalam politik riil, warga negara jarang melakukan sesuatu yang dapat disebut sebagai persetujuan atau janji untuk mematuhi hukum. Komitmen untuk mematuhi hukum jarang diungkapkan secara eksplisit kecuali dalam kasus konkret tertentu seperti halnya seorang kriminal yang terpaksa menyatakan kesediaannya mematuhi hukum hanya karena takut diganjar hukuman yang lebih berat. 

Suara yang diberikan pemilu untuk memilih pejabat negara menjadi satu dari sedikit tindakan bebas dalam politik riil yang bisa diklaim sebagai basis kewajiban moral untuk mematuhi hukum. Akan tetapi, jelas Andrea, klaim seperti ini pun menurut Simmons tidak cukup beralasan karena pemberian suara secara bebas dilakukan berdasarkan kewajiban hukum dan politik yang ditetapkan negara bagi warga negara. Jadi, pemberian suara dalam negara demokratis sekalipun bukan murni tindakan bebas warga negara. 

Lebih dari itu, fakta bahwa subjek tinggal dan mengembangkan dirinya dalam negara juga tidak menjadi alasan memadai untuk mengklaim bahwa ia setuju dengan negara, dan karenanya juga setuju untuk tunduk pada hukum negara. Dalam kenyataannya, banyak orang tidak mempunyai pilihan untuk meninggalkan negara atau berpindah ke tempat lain. Bahkan, kalau ia tidak suka tinggal di negara di mana ia tinggal dan hidup, atau kalau ia tidak merasa nyaman dengan hukum yang berlaku dalam negara yang bersangkutan, ia tidak punya kemampuan untuk melakukan perlawanan terhadap negara. 

Dengan demikian, persetujuan atau kontrak sosial antara warga negara dan negara dalam arti implisit pun pantas diragukan dalam politik riil. Karena itu, persetujuan entah dalam arti aktual dan hipotetis sekurang-kurangnya tidak muncul dengan cukup tegas dalam praktek politik. Karena itu pula, teori transaksional juga gagal memberi dasar yang memadai terhadap tuntutan kewajiban moral untuk mematuhi hukum. 

Dengan demikian, teori kewajiban asosiatif dan teori kewajiban transaksional tidak dapat menjadi pegangan kuat untuk mempertanggungjawabkan tuntutan mematuhi hukum. Lalu, bagaimana dengan teori kewajiban moral natural? Apakah teori ini dapat menjadi landasan normatif untuk menuntut kewajiban moral pada warga negara untuk mematuhi hukum negara?

Secara umum, Simmons berpendapat bahwa tidak ada tugas yang niscaya begitu saja. Tugas hanya niscaya karena tujuan atau maksud tertentu. Ketika dikatakan bahwa hukum dan negara bersifat niscaya, hal ini tidak berarti bahwa hukum harus berlaku dan ditaati begitu saja. Hukum harus berlaku dan ditaati, menurut Simmons, jika ada sesuatu yang bernilai atau berharga sebagai tujuannya (misalnya demi menjamin kehidupan, keamanan, dan kesehatan). Itu pun baru bermakna apabila tujuan yang sama tidak dapat dipenuhi oleh lembaga lain di luar negara. 

Lebih dari itu, apa alasannya untuk melihat negara sebagai lembaga yang tepat, dan karenanya memiliki kewajiban natural untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyat? Kenyataan menunjukkan bahwa, demikian Simmons, banyak legislator dan penguasa tidak sepenuhnya menjalankan kewajibannya dengan baik untuk dapat disebut sebagai otoritas yang tepat. Tidak sedikit penguasa mendapatkan kekuasaan dengan cara yang tidak pantas sehingga sulit memandang mereka sebagai pihak yang tepat untuk menjalankan apa yang oleh teori keniscayaan disebut sebagai kewajiban moral natural. 

Pertanyaan lain, apakah kepatuhan warga menjadi penting untuk terlaksananya kewajiban negara (menciptakan kesejahteraan, keamanan, dan sebagainya). Fakta menunjukkan bahwa selalu ada warga negara yang tidak patuh, namun negara tetap dapat menjalankan kewajibannya. Jadi, apakah kewajiban moral natural warga negara untuk mematuhi hukum menjadi syarat pelaksanaan tugas niscaya dari negara? Tampaknya tidak demikian, kecuali bahwa adanya kepatuhan hukum oleh warga negara menjadi lebih nyaman dan mudah dilaksanakan. Tetapi dari sini tidak harus disimpulkan bahwa kepatuhan terhadap hukum merupakan kewajiban moral natural.

Warga negara dapat menerima adanya kewajiban untuk mematuhi negara dan hukum, tetapi tidak berarti mereka memiliki kewajiban moral natural untuk itu. Jadi bagaimana seharusnya memahami posisi negara sehingga pemaksaan hukum terhadap warga negara dapat diterima? Dalam kaitan ini, Simmons mengajak kita untuk membedakan dengan baik antara apa yang disebut "justifikasi" negara dan "legitimasi" negara dalam kaitannya dengan saya sebagai warga negara. 

Justifikasi atas eksistensi negara dapat dilakukan dengan menunjuk pada manfaat yang diberikan negara kepada warga negara. Sejauh manfaat lebih besar dari kemungkinan beban yang ditimbulkannya maka, menurut Simmons, tidak ada alasan untuk menolak apalagi menghancurkan negara. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan legitimasi negara. Legitimasi negara tergantung pada adanya relasi moral antara warga negara yang satu dengan yang lainnya. Maksudnya, apakah saya memiliki kewajiban moral untuk mematuhi negara atau tidak, hal ini sangat tergantung pada apakah saya sebagai warga negara memiliki kewajiban moral tertentu terhadap sesama warga negara atau tidak. 

Dengan demikian, kewajiban moral saya terhadap sesama warga negara menjadi basis legitimasi otoritas politik dan sekaligus basis moral kepatuhan saya pada hukum negara. Dengan ini Simmons, lanjut Andrea Ata Ujan, menekankan prinsip keadilan sebagai nilai moral yang memungkinkan terbangunnya relasi harmonis di antara warga negara. Relasi moral antara individu dan individu, atau pentingnya prinsip keadilan dalam relasi antara warga negara ini menjadi alat legitimasi untuk memberi kuasa tertentu pada pihak negara dan sekaligus menuntut kepatuhan warga negara terhadap negara. Dengan demikian, kepatuhan pada negara sebagai tuntutan moral bukan merupakan konsekuensi relasi moral antara warga negara dan negara, melainkan antara sesama warga negara itu sendiri. 

Relasi moral yang membawa kewajiban moral saya terhadap sesama warga negara mengharuskan saya untuk mematuhi hukum. Tegasnya, kewajiban saya untuk bertindaklah adil terhadap sesama warga negara mengharuskan saya untuk mematuhi hukum negara. 

Argumen Simmons mengingatkan kita akan filsafat keadilan Kant. Sebagaimana disinggung sebelumnya, pengalaman hidup dalam prejuridical society (masyarakat yang hidup dengan hukum rimba) mendorong anggota masyarakat untuk meninggalkan situasi alami dan beralih ke juridical society (masyarakat yang diatur dengan hukum). Peralihan terjadi bukan semata-mata karena mereka menginginkan adanya hukum, melainkan karena hanya dengan hukum hak setiap individu lebih terjamin.  Dengan kata lain, kesadaran moral untuk menghargai hak setiap orang atau bertindak adil terhadap sesama menjadi alasan bagi mereka untuk mematuhi hukum.

Karena itu, dapat dipahami apabila Simmons menegaskan bahwa kewajiban moral terhadap negara sesungguhnya diturunkan dari kewajiban moral yang lebih mendasar yakni kewajiban moral natural untuk menegakkan atau memajukan keadilan. Kewajiban yuridis (juridical duties) warga negara, tegas Simmons, adalah mendorong penghargaan pada nilai keadilan.

Istilah “keadilan” dapat dimengerti secara berbeda oleh orang berbeda. Akan tetapi, mengikuti Kant, Simmons mengatakan bahwa makna yang paling mendasar dan fundamental dari keadilan adalah menghargai hak orang lain. Penghargaan terhadap hak setiap orang inilah yang menjadi basis legitim untuk mematuhi hukum. Dalam bentuknya yang paling minimal, demikian Simmons, kewajiban natural terhadap keadilan menuntut bahwa kita harus mampu menahan diri untuk tidak melanggar hak orang lain. 

Di sini perlu dibedakan hak: (1) hak negatif, yaitu hak subjek untuk tidak dirugikan atau dibahayakan. Pada pihak saya, hak negatif menuntut bahwa saya harus dapat menahan diri untuk tidak merugikan atau membahayakan pihak lain; (2) positif, yaitu hak subjek untuk mendapatkan manfaat dari pihak lain. Pada pihak saya, hak positif menuntut bahwa saya harus berusaha mendorong pelaksanaan hak orang lain atau memberi manfaat bagi orang lain.

Dengan demikian, kewajiban mematuhi hukum muncul sebagai konsekuensi natural dari kewajiban terhadap keadilan ketika kita berpikir bahwa hak moral seseorang tidak sekedar menuntut bahwa orang lain tidak boleh dirugikan atau terancam keamanannya. Lebih dari itu, hak moral seseorang juga menuntut kita melakukan sesuatu yang menguntungkan atau bermanfaat baginya. Dalam arti ini, kita wajib secara moral mendorong lembaga yang adil demi mengamankan dan mendorong pelaksanaan hak orang lain. Dengan demikian, komitmen moral natural kita pada hak sesama warga negara merupakan legitimasi pembatasan kebebasan kita melalui hukum yang berlaku (lebih jelas, lihat Andrea Ata Ujan. Filsafat Hukum: Membangun Hukum, Membela Keadilan. Yogyakarta: Kanisius, 2009, h. 210-223)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar