Selasa, 10 Juni 2025

BARZANJI

 

Menurut Gus Dur, kitab al-Barzanji—yang sering dibaca oleh masyarakat kita dalam acara-acara tertentu—merupakan produk sastra Arab di masa kegelapan. 

Masa kegelapan yang dimaksud Gus Dur dalam konteks ini ialah masa hilangnya spontanitas kreatif masyarakat Arab akibat pengaruh unsur-unsur Yunani ke dalam kebudayaan IsIam pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah, yang menundukkan kebudayaan Arab ke dalam kerangka berpikir rasionalitas-formal, suatu hal yang, kata Gus Dur, berlawanan dengan pembawaannya sendiri, yang lebih bersandar pada pengungkapan perasaan yang dalam secara spontan daripada kepada perumusan pikiran-pikiran yang abstrak. 

Bahasa Arab yang begitu plastis dalam ungkapannya, begitu kaya dengan alegori dan begitu halus dalam perumpamaannya, kata Gus Dur, akhirnya harus digunakan hanya dalam rangka kaidah-kaidah bahasa yang kaku, dibebani oleh sistem retorika yang bersifat klise rutin yang tidak mampu mengungkapkan kekayaan bahasa dan kedalaman perasaan mereka. 

Gus Dur menulis:

“'Kenakalan' beberapa sastrawan untuk mengungkapkan perasaan dengan ungkapan bahasa yang kasar, seperti yang dilakukan oleh Abu Nuwas dan Abu Ala al-Maary, secara cepat “ditertibkan” dengan perantaraan kaidah-kaidah bahasa dan sastra yang disusun menurut ukuran-ukuran estetika non-Arab, sehingga hilanglah spontanitas kreatif dari kebudayaan Arab secara berangsur-angsur. Padahal, justru spontanitas itulah jiwa dari kreativitas kebudayaan itu di masa-masa sebelumnya. Demikianlah yang dialami oleh semua bidang kebudayaan di luar kesusastraan waktu itu.

Ketiadaan saluran bagi spontanitas kreatif inilah yang akhirnya mendorong terjadinya letupan perasaan mereka dalam sub-kultur golongan tasawuf. Bagaikan angin segar yang menyirami kekeringan jiwa kebudayaan Arab waktu itu, ekspresi spontan dari kedambaan para mistikus Islam akan pendekatan maksimal dengan Tuhan, sekali lagi menemukan bentuknya pada pengungkapan kembali kekayaan kebudayaan pra-Islam, baik dalam produk tasawuf yang berbahasa Arab maupun Persia. 

Para penyair sufi menyanyikan lagu cinta kepada Sang Pencipta secara profan, sebagaimana dahulu para penyair Jahiliyah mendendangkan tema percintaan mereka. Demikian pula seni lukis dan seni musik memperoleh kembali tempat mereka semula, seperti dalam ritual grup-grup sufi (halaqah) Abu 'Aly al-Farrash dan Abu Yazid al-Bistam. 

Tapi kebangunan kebudayaan lama yang ditimbulkan oleh gerakan tasawuf ini tidak sampai menciptakan kembali kegemilangan kebudayaan Arab, karena gerakan itu sendiri dalam waktu tidak lama juga mengalami “penertiban” dari pihak golongan pemegang hukum agama (golongan ahli hukum syara, yang biasanya dipertentangkan dengan para sufi yang dinamai ahli makrifat atau ahli hakikat).

Sekali lagi kebudayaan Arab kehilangan kesempatan untuk menunjukkan kekayaan dirinya, dan jatuh ke dalam pengulangan ekspresi hidup kejiwaan yang menggunakan gaya klise rutin belaka, berpuncak pada sistem ritual-liturgis (wirid) yang telah dilegalisir oleh agama, baik dalam rangka gerakan tasawuf yang telah ditertibkan (tariqah mu'tabarah) maupun di luarnya. Salah satu puncak dari produk jenis ini adalah ode-ode yang panjang yang ditujukan kepada Rasulullah s.a.w., seperti karya-karya al-Barzanji, al-Dzaiba'y dan Ode al-Burdah karya al-Busairy, yang dianggap sebagai puncak produk sastra Arab di masa kegelapan tersebut.

***

Barzanji merupakan salah satu kitab yang menjelaskan kisah-kisah Nabi Muhammad s.a.w, mulai dari kelahirannya dan perjalanan dakwahnya. Di samping Barzanji, ada banyak kitab yang menjelaskan kisah-kisah Nabi Muhammad. 

Nama lengkap pengarang kitab Barzanji adalah Sayyid Zainal ‘Abidin Ja’far bin Hasan bin ‘Abdul Karim al-Husaini asy-Syahzuri al-Barzanji. Beliau kelahiran Madinah al-Munawwarah pada 1128 Hijriah atau 1716 Masehi.


Referensi:

1. Abdurrahman Wahid, "Kebudayaan Arab dan Islam", dalam Hairus Salim (Peny.), Insya Allah, Saya Serius: NU, Muhammadiyyah, dan Budaya Arab, Yogyakarta: Penerbit Gading, 2024, h. 7-19.

2. "Mengenal Kitab Maulid Al-Barzanji: Penyusun, Keutamaan, dan Cara Bacanya", dalam nu.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar