.
Saat ini, aksi lapor-melapor
sudah begitu marak dilakukan masyarakat. Negara, yang katanya berlandaskan
Pancasila, menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, tapi
sifat-sifat pemaaf dan bijaksana, seakan-akan sirna dari masyarakat. Kelompok A melaporkan B, kemudian dibalas lagi oleh B dengan
melaporkan A. Kelompok C melaporkan D, begitu pula sebaliknya. Dan seterusnya
dan seterusnya. Seakan tak henti-hentinya. Alasannya macam-macam. Terkadang
hal-hal yang remeh temeh, sepele, yang dalam pandangan akal sehat tidak layak
dikatakan melanggar hukum pun mau dilaporkan juga.
Refly Harun, sering berkomentar bahwa ia tidak suka dengan perilaku seperti ini. Ya, saya sepakat dengan pakar hukum tata negara itu. Karena, bukan seperti ini yang namanya negara demokrasi dan bernegara hukum secara benar. Akal sehat kita terkadang merasa dibodohi. Oleh karena itu, tulisan ini mencoba memberikan sedikit pemahaman mengenai hakikat hukum.
Hakekat kata “hukum”
Kata “hukum” yang secara khusus digunakan
di Indonesia atau dalam bahasa Melayu sebenarnya berasal dari bahasa Arab, “hukm”.
Penjelasan ini saya baca dari Nurcholish Madjid dalam bukunya Islam, Doktrin
dan Peradaban (2000:319-320). Pengertian hukum, jelas Cak Nur, tidak lepas dari
kedalaman dan keluasan makna perkataan Arab “hukm” dan “hikmah”
yang mengarah pada pengertian perkataan “wisdom” (Inggris) atau “kawicaksanaan” (Jawa). “Hikmah” dalam artian “wisdom” itu meliputi keseluruhan
ajaran Allah kepada nabi dan rasul. Jadi, dari makna asal, hukum adalah kebijaksanaan.
Nah, kalau ada orang mencuri sebiji jambu di depan rumah kita, misalnya, walaupun itu secara hukum positif (ius positum) salah, janganlah buru-buru kita laporkan juga ke aparatus negara. Kalau masih bisa kita maafkan, maafkanlah. Anggaplah sebagai sedekah kita. Itulah contoh sikap bijaksana atau kebijaksanaan. Bahkan, dalam Islam—lihat al Quran surat al Baqarah ayat 178—seorang pembunuh pun masih lebih baik dimaafkan oleh ahli waris si terbunuh ketimbang menuntut pembalasan (qisas). Dan seperti satu semangat dengan itu, Mahatma Gandhi berkata, ”Jika mata dibayar dengan mata, maka seluruh dunia akan buta.”
Jadi, saat ini, masyarakat yang
tak memahami hakikat makna hukum, terlebih oknum-oknum yang punya kepentingan nafsu
duniawi, bahkan terkadang tokoh masyarakat, menganggap menghukum adalah suatu
keharusan mutlak. Maka ada ungkapan: memaafkan ya, tapi proses hukum harus
tetap jalan. Nah, inikan tidak sesuai dengan hakikat hukum itu sendiri yang
berarti kebijaksanaan. Itu sama saja dengan tidak memaafkan. Dan itu bukan
sikap bijaksana.
Bijaksanalah
Andi Hamzah (pakar hukum pidana), dalam suatu kesempatan di ILC, juga pernah mengkritik perilaku saling lapor ini. Saling lapor, katanya, bisa menimbulkan dendam yang tidak ada habis-habisnya. Andi, dalam ILC itu, mengajak semua untuk merenungkan bahwa negara kita adalah negara demokrasi. Artinya, dalam negara demokrasi, pemerintahan bisa berganti-ganti. Hari ini A memerintah, B oposisi. Besok bisa jadi B memerintah, A opisisi.
Jadi, maksud pakar hukum pidana itu: yang punya kekuasaan saat ini—terlepas apa pun bentuk kekuasaan itu—mesti bijak terhadap suara-suara kritis. Termasuk para pendukung dan simpatisannya. Jangan sedikit-sedikit, mau diselesaikan lewat jalur hukum. Padahal, semua bisa diselesaikan dengan bijak. Bisa dengan jalan demokrasi deliberatif (meminjam istilah filsuf Teori Kritis Jurgen Habermas), bisa dengan komunikasi, mediasi, diskusi, musyawarah, dan lain sebagainya. Bahkan, dalam Pancasila sendiri terdapat istilah "hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan".
Oleh karena itu, terkait perilaku lapor-melapor, untuk sekedar dijadikan bahan renungan saja, Andi Hamzah memberikan contoh di Jerman: setelah Perang Dunia II berakhir, pihak sekutu membentuk pengadilan militer internasional pertama di Nuremberg yang bertujuan untuk menghukum pejabat senior politik dan militer (para jenderal dan menteri) Nazi Jerman dengan dakwaan kejahatan perang dan kejahatan serius lainnya.
Orang yang diadili mengatakan, "Kenapa kami diadili berdasarkan undang-undang yang berlaku surut? Ini melanggar asas." Hakim mengatakan, "Barang siapa yang membuat undang-undang yang tidak benar dan berlaku surut, berlaku juga terhadap dia kalau dia melanggar. Pemerintahan Hitler kan membuat undang-undang yang berlaku surut." Dijawab lagi oleh para jenderal yang menjadi terdakwa itu, "Anda untung menang perang. Andaikata kami menang perang, kami duduk di situ (ia menunjuk ke kursi hakim), kamu duduk di sini."
"Negara Anda," kata jenderal dan para terdakwa
itu, "telah menghancurkan kota-kota yang dilarang oleh konvensi internasional. Hiroshima
kalian bom: anak-anak, orang tua, bayi-bayi yang baru lahir di rumah sakit
beserta dokter mati semua. Apakah itu bukan kejahatan perang? Anda bisa lolos
dari hukuman karena Anda menang perang. Coba kalau kami yang menang perang,
Andalah yang kami hukum karena Anda telah menghancurkan kota-kota di Jerman.”
Contoh kasus yang diberikan oleh
Andi Hamzah ini, yang ia minta kita untuk merenungkan, intinya adalah: kalau
Anda memaksakan peraturan pada orang lain, nanti ketika orang lain itu
mendapatkan kekuasaan, Anda lagi—dengan menggunakan undang-undang yang sama—yang
akan diperlakukan sama dengan yang pernah mereka alami. Nah, inilah bentuk
pembalasan dendam kekuasaan politik yang tak ada habisnya dengan menggunakan
hukum. Dan itu bukanlah cara bernegara yang baik. Jadi, bersikap bijaklah. Karena,
“hukum” adalah “kebijaksanaan”. Ingat, kata “hukum” dan “hakim” berasal dari bahasa
yang sama, yakni bahasa Arab. Esensi maknanya: kebijaksanaan; wisdom.
Maka, salah satu sifat Allah adalah “Al Hakim”, yang artinya Maha Bijaksana.
NANI EFENDI, Alumnus HMI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar