Rabu, 09 Februari 2022

MENGAPA ORANG INDONESIA SUKA MEMBANGGAKAN GELAR?


Oleh: NANI EFENDI

 

Tak hanya gelar akademis, di Indonesia, semua gelar atau embel-embel lain, semisal gelar bangsawan, gelar adat, agama, profesi, dll, sering dipakai di depan atau di belakang nama seseorang. Bahkan, gelar “Haji” pun juga dipasang di depan nama. Apakah ini gejala khas Indonesia, atau juga ada di negara-negara lain? Kalau kita perhatikan, di negara lain tidak terlalu massif orang memasang gelar atau embel-embel pada namanya.

Gelar “Haji”, misalnya. Ini hanya khas Indonesia. Di Arab sendiri, tidak ada orang memakai gelar “Haji” di depan nama mereka. Kalau ada, mungkin di depan nama Nabi Muhammad sudah disematkan gelar “Haji”. Tapi itu kan tidak ada. Karena haji adalah ibadah, bukan gelar. Di Indonesia, saat ini, gelar “Haji” sudah dijadikan semacam “simbol status”—penanda kelas sosial-ekonomi.

Pengaruh feodalisme

Presiden Amerika, Barack Obama tidak diketahui gelar akademisnya. Mengapa? Karena Obama tidak pernah memasang gelar pada namanya. Padahal, ia itu adalah sarjana hukum lulusan Harvard University. Presiden Amerika lainnya, George W. Bush bergelar master's in business administration (MBA). Tapi pernahkah kita lihat ia atau orang menuliskan namanya menjadi: “George W. Bush, MBA”? Tidak, kan?

Nah, demikian juga Presiden Amerika lainnya. Tidak kita ketahui gelar akademis mereka. Padahal, rata-rata mereka adalah para sarjana. Sebanyak 44 Presiden Amerika Serikat ternyata pendidikan mereka minimal perguruan tinggi. Tak ada dari mereka yang lulusan SMA. Tapi mengapa tidak ada satu pun dari mereka yang kita ketahui gelar akademisnya?

Di Amerika, mungkin, orang lebih menghargai kemampuan ketimbang gelar akademis. Amerika adalah negara demokrasi yang menganut prinsip “all man are created equal” (semua orang diciptakan setara), sebuah frasa terkenal dari Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat yang pertama kali dicetuskan oleh salah satu bapak pendiri Amerika Serikat, Thomas Jefferson. Jadi, mereka tidak menganut paham “semua orang berbeda atau dibedakan berdasarkan embel-embel atau gelar”.

Di Indonesia lain. Orang lebih suka memasang dan membanggakan gelar, agar (merasa) dihormati. Bahkan, terkadang tidak peduli bagaimana gelar itu didapat. Apakah dengan cara kuliah sungguhan, atau dengan cara membeli, plagiat, dan lainnya, kita tidak tahu. Majalah Tempo edisi 1-7 Februari 2021 pernah mengungkap skandal mahasiswa maupun kampus dalam upaya memperoleh maupun memberikan gelar akademis dengan cara-cara tidak terpuji. Pada cover Tempo tertulis: “Wajah Kusam Kampus”.

Sekali lagi, pertanyaannya, mengapa budaya mengagungkan gelar terjadi di Indonesia? Dalam pandangan saya, hal itu karena pengaruh budaya feodalisme dalam kehidupan sosial masyarakat kita, sebagai warisan masa lalu—warisan sistem sosial-budaya dan politik yang berbentuk kerajaan dan sistem sosial kolonialisme Hindia Belanda. Maka di Jawa, pada masa lalu, dikenal adanya kelas "priyayi". Golongan atau kelas priyayi ini, menurut sastrawan Pramoedya Ananta Toer, adalah hasil perkawinan feodalisme dan kolonialisme. Pengaruh budaya itu berlanjut sepanjang Orde Baru. Bahkan, hingga kini.

Apa itu feodalisme? Dalam KBBI, ada tiga pengertian feodalisme, di antaranya diartikan sebagai: “sistem sosial yang mengagung-agungkan jabatan atau pangkat dan bukan mengagung-agungkan prestasi kerja.” Dalam budaya feodal, orang dihargai karena status sosial tinggi. Status sosial itu bisa diperoleh melalui pendidikan. Dari sinilah muncul problem gelar akademis.

Tidak peduli orang itu berilmu atau tidak. Asalkan orang itu punya jabatan, punya kekayaan, punya pangkat, punya gelar bangsawan, gelar adat, atau gelar akademis, orang itu dihormati dalam masyarakat. Itulah bentuk budaya feodal. Singkatnya, budaya feodal mengagungkan prestise, bukan prestasi.

Budaya feodal sebenarnya punya pengaruh besar dalam menghambat kemajuan masyarakat. Bahkan, dapat merusak tatanan sosial masyarakat yang baik. Menurut Amien Rais, budaya feodal menyumbang terhadap praktik korupsi. Mengapa? Karena, kata Amien Rais, pejabat atau pemimpin yang tidak kaya tidak dihormati dalam masyarakat yang feodal. Akibatnya, agar dihormati masyarakat maupun bawahannya, banyak pejabat berusaha untuk kaya. Ujung-ujungnya: pejabat itu terpaksa korup agar cepat kaya. Itulah bentuk akibat negatifnya.

Demikian juga dalam hal gelar akademis. Kalau gelarnya panjang, atau mentereng, orang itu bisa disanjung setinggi langit, terlepas prestasi akademisnya ada atau tidak. Karya tulisnya ada atau tidak. Dan tidak dipedulikan juga apakah gelar itu didapatkan dengan benar-benar belajar atau dengan cara-cara yang tidak terpuji. Pokoknya kalau ada gelar, orang itu dihormati dan merasa dihormati. Akhirnya, banyak orang memburu gelar—untuk prestise, bukan prestasi. Pejabat-pejabat pun banyak yang berburu dan mendapat gelar akademis—ketika sedang menjabat—biar kelihatan hebat. Padahal, kalau masyarakat mau kritis, semestinya bertanya: kapan mereka kuliah? Kapan mereka riset dan menulis karya ilmiahnya? Bukankah mereka super sibuk?

Yang hebat tetaplah dihormati

Masyarakat kita masih suka dengan simbol dan formalitas, ketimbang kualitas. Itulah salah satu penghambat kemajuan masyarakat. Untuk maju, masyarakat harus meninggalkan budaya feodal dan beralih menjadi masyarakat yang rasional—yang mengutamakan pengetahuan dan kemampuan. Upaya itu sudah dicontohkan oleh banyak tokoh besar. Kartini (tokoh emansipasi wanita), misalnya, menolak untuk dipanggil dengan gelar bangsawan. Itu diceritakan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya Panggil Aku Kartini Saja.

Pram menyebutkan bahwa Kartini menolak sistem feodalisme Jawa yang berkembang pada masa itu. Bentuk penolakan itu tampak jelas dari keinginannya untuk dipanggil tanpa gelar bangsawan atau panggilan kebesaran, seperti termuat di salah satu suratnya ke Estelle Zeehandelaar tertanggal 25 Mei 1899 yang berbunyi, “Panggil aku Kartini saja—itulah namaku.”

Sebenarnya, orang kalau memang hebat, tak perlu juga ada embel-embel pada namanya. Mereka akan tetap dihormati dan dikagumi. Gus Dur, misalnya. Walau tak ada titel, Gus Dur tetaplah dihormati. Dan rata-rata juga tokoh-tokoh hebat tak begitu suka mencantumkan gelar akademis. Mereka biasanya dipanggil nama saja. Contohnya: Nurcholish Madjid. Beliau ini profesor doktor. Tapi lebih dikenal sebagai “Cak Nur” saja. 

Contoh nama besar lainnya: Pramoedya Ananta Toer, Emha Ainun Nadjib, Sudjiwo Tedjo, Ridwan Saidi, Arief Budiman (aktivis ’66), Dahlan Iskan, Jaya Suprana, dan lain-lain. Rata-rata mereka tak memasang gelar. Bahkan, di antara mereka memang tak punya gelar akademis. Tapi, justru jika dipasangkan gelar pada nama mereka itulah, mereka akan kelihatan kecil. Karena dari gelar, orang akan menilai seakan-akan pengetahuan seseorang sebatas jurusan akademisnya. Dan itu sudah mengecilkan arti kemampuan manusia yang sesungguhnya. Oleh karena itu, rata-rata tokoh besar, semisal cendekiawan, tidak diukur dari gelar. Wawasan mereka meliputi banyak hal.

Dalam sebuah acara di ILC, yang berjudul "Robohnya Mahkamah Kita", 31 Mei 2016 (lihat: https://youtu.be/aoJ6wIYI-MI), Andi Hamzah (salah seorang ahli hukum pidana terkemuka di Indonesia) pernah mengatakan, di Belanda, buku yang ada gelar pada nama penulisnya, orang Belanda sana tidak mau baca. 

Namun,  kata Andi Hamzah, bukunya yang tidak ia cantumkan gelar, dibaca oleh orang-orang di Belanda. Jadi, sekarang Andi Hamzah tidak suka lagi memasang gelar pada namanya. Mendengar penjelasan Andi Hamzah, Karni Ilyas merespon. "Saya dari hari pertama dapat 'S.H' juga nggak pake," kata Karni Ilyas sambil tertawa. "Bagus," kata Andi. Dan memang, tidak pernah kita lihat gelar akademis pada nama Karni Ilyas. Tentang gelar, ada juga cerita dari Amien Rais dalam bukunya, Membangun Politik Adiluhung: Membumikan Tauhid Sosial, Menegakkan Amar Ma'ruf Nahi Munkar, h. 61. Amien Rais sudah naik haji empat kali. Tapi, Amien Rais tak suka mencantumkan gelar haji pada namanya. 

Kata Amien Rais, "Saya memang tidak pernah mencantumkan gelar haji di depan nama saya. Orang lain sih sering menyebut  Pak Haji Amien Rais. Saya tidak pernah mau, termasuk mencantumkan gelar doktor itu. Nama saya cuma Muhammad Amien Rais. Karena bagi saya, hal seperti itu cuma atribut saja, jadi tidak usah ditonjol-tonjolkan." Tokoh lain yang juga menolak memasang gelar ialah Ariel Heryanto. Dalam sebuah wawancara, ia menolak dipanggil "profesor". Gak usah pakai praf-prof lah. Panggil Ariel saja, katanya. Padahal, ia termasuk intelektual terkemuka di Indonesia yang mendapat gelar profesor dari Australia (lihat wawancaranya di www.youtube.com/watch?v=s1lxRoWT2Jk&t=8s). Demikian. Semoga tulisan ini bisa memberikan sedikit pencerahan.

NANI EFENDI, Alumnus HMI



Tidak ada komentar:

Posting Komentar