Kebanyakan orang Indonesia suka memakai, bahkan membanggakan gelar akademis pada nama mereka. Terkadang dipakai tidak pada tempatnya. Seorang doktor misalnya ketika menuliskan namanya pada acara arisan keluarga tak semestinya dicantumkan gelar doktor. Cukup nama saja. Itu sekedar contoh saja. Atau seorang pengacara, misalnya. Ketika berpraktek sebagai lawyer, saya pikir sah-sah saja dicantumkan gelar sarjana hukumnya. Tapi ketika ia menuliskan namanya di undangan khitanan anaknya, misalnya, saya pikir tidak perlu dicantumkan gelar. Itu sekedar contoh saja. Mungkin ada banyak contoh lagi yang bisa kita sebutkan.
Sebenarnya, menggunakan gelar akademis itu sah-sah saja.
Tapi mesti dilihat juga konteksnya. Dalam arti, bukan untuk bangga-bangga. Mengenai
gelar akademis, ada cerita menarik tentang Fuad Hasan, mantan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan di era Orde Baru.
Konon, dalam suatu acara, Mendikbud Fuad Hasan pernah
menegur seorang pembawa acara (MC) yang menyebut beliau Prof. Dr. Fuad Hasan
dengan kapasitas sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Beliau menegur.
Beliau ingin disebut sebagai Fuad Hasan saja. Karena hadir pada kesempatan itu
bukan sebagai seorang akademisi, melainkan sebagai pejabat negara. Tapi di lain
kesempatan, beliau membetulkan seorang pembawa acara (MC) ketika beliau
dipanggil sebagai Bapak Fuad Hasan. Karena beliau hadir sebagai pemakalah,
bukan sebagai Menteri. Dalam kegiatan itu, kapasitas beliau sebagai Guru Besar
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, maka beliau ingin disebut sebagai
Prof. Dr. Fuad Hasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar