Senin, 22 Juni 2015
Topik Pilihan: Spektrum
Kesalahan logis (fallacy) bukanlah kesalahan dalam fakta seperti misalnya, “Pangeran Diponegoro lahir tahun 1878,” tetapi merupakan kesalahan dalam hal penalaran atau kesalahan proses berpikir dalam menarik kesimpulan.
Generalisasi tergesa-gesa
Kesalahan logis yang ini sekedar akibat dari induksi yang salah karena berdasarkan pada sampling hal-hal khusus yang tidak cukup, atau karena tidak memakai batasan (seperti: banyak, sering, kadang-kadang, jarang, hampir selalu, di dalam keadaan tertentu, beberapa, kebanyakan, sebagian besar, dan lain sebagainya). Contoh: “Semua pegawai negeri malas.” Kata “semua” dalam hal ini jelas tidak logis. Karena, masih banyak juga PNS yang tidak malas. Semestinya, supaya logis, kalimat itu bisa dirubah dengan, “Kebanyakan PNS malas.” Generalisasi tergesa-gesa terjadi karena kecerobohan, tidak mempunyai dasar induktif yang sehat. Perhatikan contoh lain berikut ini:
para mahasiswa menolak NKK-BKK.
kejahatan-kejahatan yang terjadi akhir-akhir ini berlatar belakang politik
semua orang Inggris kaku
Belum tentu (non sequitur)
Non sequitur merupakan loncatan sembarangan dari suatu premis ke kesimpulan yang tidak ada kaitannya dengan premis tadi. Hubungan premis dan kesimpulan hanya semu. Hubungan yang sesungguhnya tidak ada. Contoh:
Suwoto suka perempuan. Ia tidak dapat menjadi atasan yang baik.
Ia manusia yang baik, suami yang baik, dan ayah yang baik, maka ia pasti akan menjadi pemimpin yang baik.
Bagaimana mungkin ia dapat sukses jadi gubernur, ngurus anaknya saja ia nggak sukses.
Analogi palsu
Analogi atau perbandingan bukanlah dasar yang kuat untuk suatu pembuktian. Sebab, dari kesamaan dalam satu atau beberapa sifat belum tentu dapat disimpulkan kesamaan dalam sifat lain. Ada suatu pepatah, “Setiap perbandingan itu pincang.” Artinya, dalam setiap perbandingan pasti ada hal-hal yang tidak cocok. Oleh karena itu, suatu jalan pikiran yang berdasarkan analogi atau perbandingan harus kita cek lagi kebenarannya. Penggunaan analogi yang benar akan sangat berguna. Namun demikian, banyak juga orang memakai analogi palsu dalam penalaran atau argumentasi. Contoh analogi palsu, misalnya seseorang menyamakan kepala Negara dengan kepala manusia. Jadi, jika kepala Negara dibunuh, hancurlah sebuah Negara. Analogi seperti ini jelas bertentangan dengan logika. Contoh lain lagi misalnya, membandingkan proses pilkada DKI dengan pilkada Sumut.
Deduksi cacat
Jika seseorang memakai suatu premis yang cacat dalam menarik kesimpulan deduktif, besar kemungkinan kesimpulannya juga cacat. Terkadang terdengar ucapan begini, “Sabri pasti seorang muslim yang baik.” Premis mayor kesimpulan tersebut mungkin berbunyi, “Barang siapa secara teratur pergi Jum’atan ke masjid adalah muslim yang baik.” Tetapi, premis tersebut tidak dapat dijadikan sandaran karena banyak juga orang yang secara teratur pergi Jum’atan ke masjid tidak berprilaku baik. Perhatikan kesalahan logis yang disebut deduksi cacat berikut ini, dan perhatikan pula betapa rapuhnya premis mayor yang dijadikan sandaran kesimpulannya.
Andar tumbuh dalam keluarga bandit. Ia akan jadi masalah di sekolahnya.
Mobil bekas yang kubeli, speedometer-nya baru 12.000 km. Mobil tersebut pasti masih bagus.
Sesudahnya maka karenanya (post hoc ergo propter hoc)
Kesalahan logis ini berkaitan dengan salah interpretasi terhadap hubungan sebab-akibat. Salah satu bentuk salah tafsir dalam hal ini, misalnya, taruhlah sesudah Golkar menang dalam Pemilu, Indonesia mengalami inflasi yang sangat tajam. Berjuta penduduk Indonesia menduga bahwa penyebab inflasi adalah Partai Golkar. Karena, inflasi terjadi, pasca Partai Golkar menang dalam Pemilu. Tetapi jalan pikiran tersebut tidak benar. Karena, sebab-sebab yang sesungguhnya dari inflasi mungkin terdapat dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum terpilihnya Golkar sebagai mayoritas. Ekonomi merupakan masalah yang sangat berseluk-beluk. Sehingga, inflasi mungkin secara langsung dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa yang mungkin telah ada di masa lalu. Contoh lain:
Ia sakit, seteleh ia membuang surat itu ke tempat sampah. Orang langsung berkesimpulan, ia sakit akibat membuang surat ke tempat sampah.
Pada saat botol itu ditanam, temanku meninggal. Orang berkesimpulan, temannya meninggal disebabkan penanaman botol tersebut.
Soto sulung yang saya makan ketika makan sore kemarin benar-benar membuat saya tertidur. Maka kini, setiap akan tidur, saya akan makan soto sulung.
Presiden tidak bersedia memenuhi undangan DPR RI karena ia harus menyembunyikan sesuatu.
Dalam menalar, harus diperhatikan benar-benar penyebab sesungguhnya dari sesuatu. Dalam penelitian ilmiah, hubungan sebab-akibat inilah yang diteliti secara saksama dengan menggunakan metode ilmiah.
Pikiran simplistik
Hal ini terjadi karena si penalar terlalu menyederhanakan masalah (simplistis). Masalah yang sangat berseluk beluk disederhanakan menjadi dua kutub yang berlawanan. Hal ini disebut “polarisasi”. Atau hanya dirumuskan hanya dalam dua segi, yaitu hitam-putih, atau dua pilihan: ini atau itu. Penyederhanaan seperti ini tidak sehat. Karena di dalam prilaku manusia yang sangat berseluk beluk, jarang sekali terdapat barang-barang atau gagasan-gagasan itu yang selalu baik atau buruk, hitam atau putih, benar atau salah, dan seterusnya. Telah ada nuansa. Umumnya bahkan, barang-barang atau gagasan-gagasan tadi berupa campuran baik atau buruk, hitam atau putih, dan sebagainya.
Sebagian orang yang bertampang menguasai masalah, sering menyederhanakan masalah yang begitu berseluk beluk menjadi pikiran polarisasi. Misalnya, apabila orang tidak beragama, niscaya ia pribadi yang tidak bermoral atau tidak dapat dipercaya. Dalam dunia pemikiran filsafat, sering terdengar pernyataan, “Secara umum, seluruh sejarah pemikiran filsafat dapat dikelompokkan ke dalam kelompok pikiran Plato dan kelompok pikiran Aristoteles.” Hal ini jelas merupakan pikiran simplistic yang tidak memungkinkan orang melihat kekayaan nuansa dunia pemikiran filsafat dalam perjuangan mendengarkan suatu realitas dan mencari kebenaran. Antara hitam dan putih, masih ada abu-abu. Begitu juga dengan Pancasila. Orang juga kadang mengatakan tidak jelas. Disebut kapitalis tidak, dan komunis pun tidak. Padahal, ia adalah penengah antara dua ideology besar itu. Berikut ini contoh kesesatan logis yang disebut pikiran simplistis.
Kehidupan bangsa tidak berbeda dengan kehidupan keluarga. Apabila Anda berhasil mengatur kehidupan keluarga, maka Anda akan berhasil juga mengatur kehidupan bangsa.
Dalam politik hanya ada dua: lawan atau kawan (Poespoprodjo dan EK T Gilarso, Logika Ilmu Menalar: Dasar-dasar Berpikir Tertib, Logis, Kritis, Analitis, Dialektis, Bandung: CV. Pustaka Grafika, 2006, h. 177-185).
KESALAHAN LOGIS
Kesalahan logis (fallacy) bukanlah kesalahan dalam fakta seperti misalnya, “Pangeran Diponegoro lahir tahun 1878,” tetapi merupakan kesalahan dalam hal penalaran atau kesalahan proses berpikir dalam menarik kesimpulan.
Generalisasi tergesa-gesa
Kesalahan logis yang ini sekedar akibat dari induksi yang salah karena berdasarkan pada sampling hal-hal khusus yang tidak cukup, atau karena tidak memakai batasan (seperti: banyak, sering, kadang-kadang, jarang, hampir selalu, di dalam keadaan tertentu, beberapa, kebanyakan, sebagian besar, dan lain sebagainya). Contoh: “Semua pegawai negeri malas.” Kata “semua” dalam hal ini jelas tidak logis. Karena, masih banyak juga PNS yang tidak malas. Semestinya, supaya logis, kalimat itu bisa dirubah dengan, “Kebanyakan PNS malas.” Generalisasi tergesa-gesa terjadi karena kecerobohan, tidak mempunyai dasar induktif yang sehat. Perhatikan contoh lain berikut ini:
para mahasiswa menolak NKK-BKK.
kejahatan-kejahatan yang terjadi akhir-akhir ini berlatar belakang politik
semua orang Inggris kaku
Belum tentu (non sequitur)
Non sequitur merupakan loncatan sembarangan dari suatu premis ke kesimpulan yang tidak ada kaitannya dengan premis tadi. Hubungan premis dan kesimpulan hanya semu. Hubungan yang sesungguhnya tidak ada. Contoh:
Suwoto suka perempuan. Ia tidak dapat menjadi atasan yang baik.
Ia manusia yang baik, suami yang baik, dan ayah yang baik, maka ia pasti akan menjadi pemimpin yang baik.
Bagaimana mungkin ia dapat sukses jadi gubernur, ngurus anaknya saja ia nggak sukses.
Analogi palsu
Analogi atau perbandingan bukanlah dasar yang kuat untuk suatu pembuktian. Sebab, dari kesamaan dalam satu atau beberapa sifat belum tentu dapat disimpulkan kesamaan dalam sifat lain. Ada suatu pepatah, “Setiap perbandingan itu pincang.” Artinya, dalam setiap perbandingan pasti ada hal-hal yang tidak cocok. Oleh karena itu, suatu jalan pikiran yang berdasarkan analogi atau perbandingan harus kita cek lagi kebenarannya. Penggunaan analogi yang benar akan sangat berguna. Namun demikian, banyak juga orang memakai analogi palsu dalam penalaran atau argumentasi. Contoh analogi palsu, misalnya seseorang menyamakan kepala Negara dengan kepala manusia. Jadi, jika kepala Negara dibunuh, hancurlah sebuah Negara. Analogi seperti ini jelas bertentangan dengan logika. Contoh lain lagi misalnya, membandingkan proses pilkada DKI dengan pilkada Sumut.
Deduksi cacat
Jika seseorang memakai suatu premis yang cacat dalam menarik kesimpulan deduktif, besar kemungkinan kesimpulannya juga cacat. Terkadang terdengar ucapan begini, “Sabri pasti seorang muslim yang baik.” Premis mayor kesimpulan tersebut mungkin berbunyi, “Barang siapa secara teratur pergi Jum’atan ke masjid adalah muslim yang baik.” Tetapi, premis tersebut tidak dapat dijadikan sandaran karena banyak juga orang yang secara teratur pergi Jum’atan ke masjid tidak berprilaku baik. Perhatikan kesalahan logis yang disebut deduksi cacat berikut ini, dan perhatikan pula betapa rapuhnya premis mayor yang dijadikan sandaran kesimpulannya.
Andar tumbuh dalam keluarga bandit. Ia akan jadi masalah di sekolahnya.
Mobil bekas yang kubeli, speedometer-nya baru 12.000 km. Mobil tersebut pasti masih bagus.
Sesudahnya maka karenanya (post hoc ergo propter hoc)
Kesalahan logis ini berkaitan dengan salah interpretasi terhadap hubungan sebab-akibat. Salah satu bentuk salah tafsir dalam hal ini, misalnya, taruhlah sesudah Golkar menang dalam Pemilu, Indonesia mengalami inflasi yang sangat tajam. Berjuta penduduk Indonesia menduga bahwa penyebab inflasi adalah Partai Golkar. Karena, inflasi terjadi, pasca Partai Golkar menang dalam Pemilu. Tetapi jalan pikiran tersebut tidak benar. Karena, sebab-sebab yang sesungguhnya dari inflasi mungkin terdapat dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelum terpilihnya Golkar sebagai mayoritas. Ekonomi merupakan masalah yang sangat berseluk-beluk. Sehingga, inflasi mungkin secara langsung dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa yang mungkin telah ada di masa lalu. Contoh lain:
Ia sakit, seteleh ia membuang surat itu ke tempat sampah. Orang langsung berkesimpulan, ia sakit akibat membuang surat ke tempat sampah.
Pada saat botol itu ditanam, temanku meninggal. Orang berkesimpulan, temannya meninggal disebabkan penanaman botol tersebut.
Soto sulung yang saya makan ketika makan sore kemarin benar-benar membuat saya tertidur. Maka kini, setiap akan tidur, saya akan makan soto sulung.
Presiden tidak bersedia memenuhi undangan DPR RI karena ia harus menyembunyikan sesuatu.
Dalam menalar, harus diperhatikan benar-benar penyebab sesungguhnya dari sesuatu. Dalam penelitian ilmiah, hubungan sebab-akibat inilah yang diteliti secara saksama dengan menggunakan metode ilmiah.
Pikiran simplistik
Hal ini terjadi karena si penalar terlalu menyederhanakan masalah (simplistis). Masalah yang sangat berseluk beluk disederhanakan menjadi dua kutub yang berlawanan. Hal ini disebut “polarisasi”. Atau hanya dirumuskan hanya dalam dua segi, yaitu hitam-putih, atau dua pilihan: ini atau itu. Penyederhanaan seperti ini tidak sehat. Karena di dalam prilaku manusia yang sangat berseluk beluk, jarang sekali terdapat barang-barang atau gagasan-gagasan itu yang selalu baik atau buruk, hitam atau putih, benar atau salah, dan seterusnya. Telah ada nuansa. Umumnya bahkan, barang-barang atau gagasan-gagasan tadi berupa campuran baik atau buruk, hitam atau putih, dan sebagainya.
Sebagian orang yang bertampang menguasai masalah, sering menyederhanakan masalah yang begitu berseluk beluk menjadi pikiran polarisasi. Misalnya, apabila orang tidak beragama, niscaya ia pribadi yang tidak bermoral atau tidak dapat dipercaya. Dalam dunia pemikiran filsafat, sering terdengar pernyataan, “Secara umum, seluruh sejarah pemikiran filsafat dapat dikelompokkan ke dalam kelompok pikiran Plato dan kelompok pikiran Aristoteles.” Hal ini jelas merupakan pikiran simplistic yang tidak memungkinkan orang melihat kekayaan nuansa dunia pemikiran filsafat dalam perjuangan mendengarkan suatu realitas dan mencari kebenaran. Antara hitam dan putih, masih ada abu-abu. Begitu juga dengan Pancasila. Orang juga kadang mengatakan tidak jelas. Disebut kapitalis tidak, dan komunis pun tidak. Padahal, ia adalah penengah antara dua ideology besar itu. Berikut ini contoh kesesatan logis yang disebut pikiran simplistis.
Kehidupan bangsa tidak berbeda dengan kehidupan keluarga. Apabila Anda berhasil mengatur kehidupan keluarga, maka Anda akan berhasil juga mengatur kehidupan bangsa.
Dalam politik hanya ada dua: lawan atau kawan (Poespoprodjo dan EK T Gilarso, Logika Ilmu Menalar: Dasar-dasar Berpikir Tertib, Logis, Kritis, Analitis, Dialektis, Bandung: CV. Pustaka Grafika, 2006, h. 177-185).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar