Oleh: Arief Budiman
Acara diskusi yang digelar Jakarta Post pada 25 April lalu berjudul “Memahami Gus Dur”. Ketika dilangsungkan acara tanya-jawab, seorang peserta menyatakan, “Mengapa kita saja yang harus berusaha memahami Gus Dur? Mengapa Gus Dur tidak berusaha memahami kita?” Pertanyaan ini segera mendapatkan sambutan yang gegap gempita.
Ketika Gus Dur berhasil menduduki kursi kepresidenan, memang banyak orang yang merasa lega dan menaruh harapan besar kepadanya. Betapa tidak? Gus Dur adalah kombinasi tiga faktor yang dalam sejarah jarang bertemu. Dia adalah oang yang cerdas dan maju pemikirannya, dia adalah seorang pemimpin Islam yang disegani, dan dia berhasil menjadi presiden.
Sebagai orang yang punya pandangan yang maju, Gus Dur punya komitmen yang tinggi terhadap demokrasi dan pluralisme. Sebagai seorang demokrat, dia percaya bahwa orang berhak punya pendapat yang berlainan. Inilah yang menyebabkan dia tetap mau mencabut Ketetapan MPRS XXV/1966, yang melarang ajaran Marxisme-Leninisme. Bagi Gus Dur pelarangan ini tidak demokratis. Sedangkan sebagai seorang pluralis, dia percaya benar bahwa minoritas punya hak hidup. Gus Dur melindungi minoritas Kristen dan Cina dari tekanan mayoritas Islam dan pribumi.
Sebagai pemimpin Nahdlatul Ulama, Gus Dur diharapkan bisa memimpin umatnya untuk membawa bangsa ini menuju ke sebuah masyararakat yang lebih baik. Dipilihnya Megawai menjadi wakil presiden untuk memperkuat pemerintahan Gus Dur juga merupakan pencapaian politik yang besar karena massa kaum nasionalis pun bisa dibawa ke arah tujuan ini. maka, diharapakan pemerintah Gus Dur-Mega ini bisa membawa Indonesia melakukan transisi ke demokrasi dengan tenang dan damai. Dan sebagai presiden, dia bisa menggunakan birokrasi negara untuk mencapai tujuan ini.
Calon pemimpin lain saya kira tidak punya kualitas seperti ini. Inilah yang membuat orang sukar melengserkan Gus Dur dari kursi kepresidenan. Banyak orang berpikiri, meskipun Gus Dur amburadul, orang-orang yang mungkin menggantikannya lebih amburadul.
Namun, akhir-akhir ini tingkah laku Gus Dur sungguh-sungguh mengecewakan. Pemecatan Laksamana Sukardi dan Jusuf Kalla tanpa alasan yang jelas, dan digantikannya mereka dengan orang-orang yang kualitasnya dianggap tidak sama baiknya, membuat banyak orang merasa kecewa. Ini karena (terutama) Laksamana Sukardi dikenal sebagai profesional yang jujur dan bersih. Perlu dicatat, orang-orang yang kecewa ini bukanlah “komplotan” yang punya ambisi pribadi mau menyingkirkan Gus Dur. Mereka adalah orang yang berusaha mendukung Gus Dur karena pandangan-pandangan Gus Dur yang maju.
Kemudian, sikap Gus Dur dalam menghadapi peristiwa Banser yang menduduki kantor Jawa Pos juga sangat mengecewakan . Bukannya secara keras menyesali tindakan anak buahnya yang membahayakan kehiduan pers yang bebas ini, dia malah menuduh Jawa Pos terlibat dalam komplotan yang mau menjatuhkannya. Ini hanya karena Jawa Pos memberitakan bahwa adiknya, Hasjim Wahid, terlibat praktek KKN, dan kemudian salah mengutip nama Hasjim Wahid menjadi Hasjim Muzadi, sang ketua NU.
Saya kira Gus Dur memang benar bahwa ada komplotan yang mau menjatuhkan dia. Tapi apakah ini sebuah masalah?Ini kan sesuatu yang wajar-wajar saja? Gus Dur tidak usah sesumbar mengenai hal ini sepanjang orang-orang yang mau mengganti Gus Dur itu tidak menggunakan kekerasan atau cara=cara lain yang melanggar hukum. Kalau Gus Dur selalu mengaitkan setiap orang yang melakukan kritik terhadap dirinya sebagai “komplotan yang mau menggulingkannya” dan kemudian Banser datang menyerbu, wah, kita benar-benar sedang memasuki era Orde Baru edisi kedua
Saya masih ingat bahwa “Panglima Besar Revolusi Mandataris MPRS/Presiden Seumur Hidup Soekarno” menuduh orang-orang yang mengkritiknya sebagai “kontrarevolusi, antek imperialisme Amerika Serikat dan Inggris, alat Nekolim dan Oldefos, yang mau menggulingkan Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno”. Pada zaman Soeharto, istilah tuduhan ini berganti menjadi “unsur-unsur subversi komunisme yang mamu menggagalkan negara Pancasila dan mengganti Soeharto sebagi presiden.” Sekarang Gus Dur tampaknya mau mengganti istilah ini dengan “komplotan yang mau mengganti Gus Dur.” Lalu, apa bedanya?
Memang harus dipahami juga bahwa dalam hal adanya keluarga atau orang-orang yang dekat dengan Gus Dur tiba-tiba menduduki posisi penting, baik di lembaga negara maupun dalam perusahaan swasta, itu tidak berarti Gus Dur langsung terlibat dalam praktek KKN. Adalah kenyataan ada banyak orang, dalam rangka memperkuat posisinya atau untuk mendapatkan fasilitas bisnis, berusaha mendekati keluarga atau orang-orang yang dekat dengan Gus Dur dan memberi mereka posisi. Orang-orang yang didekati ini bisa keluarga Gus Dur, petinggi di pesantren-pesantren, fungsionaris NU, atau teman dekat Gus Dur lainnya. Semua ini “wajar” saja di dunia yang serba bersaing dan orang mencari berbagai kesempatan. Orang yang beada di pusat kekuasaan dan keluarganya memang menghadapi banyak godaan.
Tapi wajar juga kalau ada harapan dari orang-orang yang bersimpati kepada Gus Dur supaya Gus Dur mencegah semua ini. Paling sedikit sebuah pernyataan yang keras, yang menunjukkan bahwa dia marah dan tidak senang dengan praktek semacam ini, harus disuarakan oleh Gus Dur. Bukan dengan menuduh adanya “kelompok” yang mau menjatuhkan dirinya. Kelompok ni memang ada dan justru karena itulah Gus Dur harus menunjukkan bahwa dia tidak senang dengan segala macam praktek yang berbau KKN ini.
Harus diingat, dalam sebuah rezim otoriter, masalah politik adalah masalah tekanan dan kekerasan, sementara dalam sebuah sistem politik yang demokratis, masalah politik menjadi masalah komunikasi dan persepsi. Gus Dur harus memperbaiki komunikasinya dengan masyarakat untuk memperbaiki persepsi masyarakat terhadapnya. Sejak pemecatan Laksaamana dan Jusuf Kalla, tampak jelas bahwa komunikasi antara pemerintah dan masyarakat menjadi macet dan persepsi masyarakat terhadap pemerintahan Gus Dur menurun secara cepat. Dengan selalu bicara “hak prerogatif” dan “adanya komplotan yang mau menyingkirkan dia”, apalagi ditambah dengan intimidasi Banser, tanpa terasa Gus Dur sedang tergelincir masuk ke dalam sebuah pemerintahan yang otoriter.
Semua ini harus secepatnya dicegah. Saya memang akan senang sekali kalau Gus Dur mau mengubah sikapnya. Tapi, ketimbang mengharapkan Gus Dur berubah, mungkin lebih baik kita memperkuat unsur-unsur masyarakat supaya bisa selalu mengontrol pemerintah. Demokrasi pada akhirnya kembali kepada bangkitnya kekuatan masyarakat untuk mengimbangi kekuatan negara. Demokrasi tidak bisa diandalkan kepada sang pemimpin karena demokrasi yang tidak berdasarkan kekuatan rakyat merupakan demokrasi yang rapuh.
Bagi saya, kemenangan Gerakan Reformasi 1998 bukanlah karena kita bisa mendudukkan Gus Dur dan Mega sebagai pemimpin negara ini. Tapi reformasi telah berhasil membangkitkan kekuatan rakyat atau people’s power kembali. Inilah yang harus dipertahankan. Siapa pun yang menjadi pemimpin nanti akan dikontrol oleh kekuatan rakyat ini. Hanya dengan begini, saya kira, bangsa ini bisa menghasilkan pemerintah yang selalu melayani kepentingan rakyatnya.
Apa yang harus kita lakukan terhadap Gus Dur? Kalau kita mau tetap percaya kepada Gus Dur untuk memimpin bangsa ini, orang-orang yang dekat dan dihormati oleh Gus Dur, seperti para kiai senior dari kalangan pesantren NU atau tokoh seperti Nurcholish Madjid, harus melakukan inisiatif untuk menyadarkan Gus Dur dari tindakan-tindakannya yang salah. Sedangkan orang-orang yang berada di kalangan luarnya harus senantiasa melakukan kritik terhadap segala tindakan yang salah ini, misalnya dalam hal pemecatan kedua menteri, permasalahan pengangkatan sang adik, Hasyim Wahid, serta sikap Gus Dur dalam persoalan Banser-Jawa Pos. Citra Gus Dur sangat dirugikan oleh peristiwa-peristiwa ini. Kalau Gus Dur gagal menyadari hal ini, dan karena itu “tidak mau repot” untuk berbuat sesuatu, mungkin ini merupakan tanda-tanda dari proses kejatuhannya.
Ya, memang benar, pada akhirnya kita harus berhenti mencoba memahami Gus Dur. Kini giliran Gus Durlah yang memahami kita, rakyat Indonesia, kalau dia mau terus mendapatkan kehormatan untuk memimpin bangsa ini.
Gus Dur sebelum menjadi presiden, saya kenal sebagai seorang intelektual yang cerdas dan tajam. Apakah benar yang dikatakan Lord Acton bahwa kekuasaan cenderung korup? Semakin besar kekuasaan seseoarng, semakin besar pula dia mengorup pribadi sang pemimpin?
Arief Budiman, Pengajar Politik di Universitas Melbourne
Sumber: TEMPO, NO. 11/XXIX/ 15-21 MEI 2000