alt/text gambar

Rabu, 11 Januari 2017

Topik Pilihan: ,

KATA-KATA PRAMOEDYA ANANTA TOER



Oleh: NANI EFENDI


Salah satu tokoh yang jadi inspirasi saya dalam menulis adalah Pramoedya Ananta Toer. Berikut ini adalah kata bijak Pramoedya Ananta Toer yang saya kutip dari novel-novelnya. Ditambah dari sumber-sumber lain. Karya-karya Pram (sapaan akrab Pramoedya Ananta Toer) semuanya bagus. Mencerahkan. Karya Pram yang cukup populer adalah tetralogi Buru: empat novel (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca). Empat novel itu ia tulis ketika diasingkan oleh pemerintah Orde Baru di Pulau Buru. Pram ditahan di Pulau Buru selama 14 tahun sebagai tahanan politik (tapol) tanpa proses pengadilan, dari tahun 1965 sampai 1979Pramoedya Ananta Toer dibawa ke Pulau Buru bersama puluhan ribu orang lainnya karena ia dicap sebagai simpatisan PKI. Namun, Pram akhirnya bebas karena tidak terbukti. 

Nah, bagi yang penasaran siapa sebenarnya Pramoedya Ananta Toer dan kehebatan karya-karyanya, silakan dicari di Google. Di Youtube juga banyak video-video Pram. Setelah itu, saya anjurkan untuk membaca langsung karya-karyanya, terutama yang paling terkenal, yaitu novel berjudul Bumi Manusia.

Bagi saya, semua tulisan-tulisan Pram sangat bernas. Pola pikir saya banyak berubah setelah melahap karya-karya Pram, tokoh Indonesia yang pernah menjadi kandidat pemenang Hadiah Nobel itu. Oleh karenanya saya salin kata-kata bijak atau ungkapan-ungkapan penting dari karya tulisnya, maupun dari ungkapannya. Kutipan-kutipan di bawah ini, sebagian besar, saya ambil langsung dari karya-karya Pram. Tapi ada juga sebagian yang saya dapatkan dari berbagai sumber. 

Awalnya, saya tulis tangan di kertas. Ada juga yang saya salin sementara di handphone. Kemudian akhirnya saya ketik dan saya masukkan ke blog pribadi saya ini. Semoga kutipan dari karya Pramoedya Ananta Toer yang saya posting ini dapat bermanfaat bagi banyak orang, sebagaimana harapan Pram sendiri, "Saya mengharapkan, apa yang dibaca dari tulisan saya, itu memberikan kekuatan pada pembaca saya untuk tetap berpihak pada yang benar, pada yang adil, pada yang indah." 

Berikut kata-kata bijak, kutipan, dan ungkapan-ungkapan Pram yang saya anggap penting:


"Kau, Nak, paling sedikit harus bisa berteriak. Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari." (Pram, Anak Semua Bangsa, h. 112)  ".....Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah." (Pramoedya Ananta Toer dalam Anak Semua Bangsa)


"Wujud dan wajah manusia itu tetap sama, tidak lebih baik daripada di jaman-jaman sebelumnya. Dia tetap tinggal makhluk yang tak tahu apa sesungguhnya dia kehendaki. Semakin sibuk orang mencari-cari dan menemukan, semakin jelas, bahwa dia sebenarnya diburu-buru oleh kegelisahan hati sendiri." (Pram, Anak Semua Bangsa, h. 143)


"Yang dinamakan jaman modern adalah jaman kemenangan modal. Setiap orang dijaman modern diperintah oleh modal besar, juga pendidikan yang Tuan tempuh di H.B.S. disesuaikan dengan kebutuhannya—bukan kebutuhan Tuan pribadi. Begitu juga surat kabarnya. Semua diatur oleh dia, juga kesusilaan, juga hukum, juga kebenaran dan pengetahuan." (Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa, h. 394-397)

"Wujud dan wajah manusia itu tetap sama, tidak lebih baik daripada di jaman-jaman sebelumnya. Dia tetap tinggal makhluk yang tak tahu apa sesungguhnya dia kehendaki. Semakin sibuk orang mencari-cari dan menemukan, semakin jelas, bahwa dia sebenarnya diburu-buru oleh kegelisahan hati sendiri." (Pram, Anak Semua Bangsa, h. 143)

"Aku tahu Mama sedang tidak bicara denganku. Ia sedang menguji pikirannya sendiri. Ia berusaha mendapatkan pegangan pada kebenaran yang berakar pada kebenaran. Ia mencoba menghadapi dan bertahan terhadap tragedi kehidupan. Lambat tapi pasti sorak-soraiku sendiri dan dunia akan datangnya jaman modern hanya satu kesia-siaan semata. Yang modern memang hanya alat-alatnya, kata Mama, dan caranya. Manusia tetap, tidak berubah, di laut, darat, di kutub, dalam kekayaan dan kemiskinan bikinan manusia sendiri." (Pram, Anak Semua Bangsa, h. 338-339)

”Yang modern memang hanya alat-alatnya, kata Mama, dan caranya. Manusia tetap, tidak berubah, di laut, darat, di kutub, dalam kekayaan dan kemiskinan bikinan manusia sendiri." (Pram, Anak Semua Bangsa, h. 338-339)

"Beda pula dari Mama, seorang manusia bebas-merdeka seperti termaktub dalam mata semboyan Kebebasan dari Revolusi Prancis, namun menganggap jaman modern tidak mengandung berkah sesuatu pun kecuali dalam kemajuan peralatan dan cara." (Pram, Anak Semua Bangsa, h. 278-279)

"Jangan kau jadi seperti bangsamu, Minke. Harus ada seorang yang sadar, jadi otak dan pancaidera mereka." " (Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa, h. 409)

"Betapa bedanya bangsa-bangsa Hindia ini dari bangsa Eropa. Di sana, setiap orang yang memberikan sesuatu yang baru pada umat manusia dengan sendirinya mendapatkan tempat yang selayaknya di dunia dan di dalam sejarahnya. Di Hindia, pada bangsa-bangsa Hindia, nampaknya setiap orang takut tak mendapat tempat dan berebutan untuk menguasainya." (Pramoedya Ananta Toer, Rumah Kaca)

“Ibu saya itu, menurut saya, seorang ibu yang ideal. Bukan karena saya anaknya, tapi makin lama saya makin kenang apa yang dilakukannya, dididikkannya terhadap saya, saya makin menghormati. Seperti: ‘Jangan jadi pegawai negeri, jadilah majikan atas dirimu sendiri. Jangan makan keringat orang lain, makanlah keringatmu sendiri.’ Dan itu dibuktikan dengan kerja. ‘Kalau kau nanti sudah besar, belajarlah di Eropa.’ Walaupun pada waktu itu tidak ada kemampuan untuk itu. Tidak mungkin itu. Tapi, dia sudah menggariskan begitu. Dan ternyata juga sebagian anak-anaknya belajar di Eropa kemudian, kecuali saya.” (Pramoedya Ananta Toer)

“Saya di dalam pandangan saya hanya berpihak pada yang adil, benar! Itu saja. Berkemanusiaan. Kalau yang ini yang lebih adil, saya bantu, saya sokong dia. Lebih dari itu, tidak.” (Pramoedya Ananta Toer)

“Komunisme itu ada dua macam: sebagai ideologi perorangan dan sebagai sistem politik. Sebagai sistem politik, sudah membuktikan tidak demokratis. Sampai sekarang. Dan, manusia hidup ini untuk sistem, apakah sistem untuk manusia? Itu persoalannya. Kalau manusia itu dilahirkan untuk sistem, maka manusia itu akan menderita. Walaupun manusia itu lahir tidak atas kemauannya sendiri, tapi aturan-aturan dari sistem belum tentu sesuai dengan individu. Maka itu, menurut saya, bagaimanapun jeleknya demokrasi sebagai sistem, toh lebih baik daripada yang ada. Sebab, manusia punya hak untuk bicara.” (Pramoedya Ananta Toer)

“Seorang politikus tidak mengenal Multatuli, praktis tidak mengenal humanisme secara modern. Dan, politikus tidak mengenal Multatuli, bisa menjadi politikus kejam: pertama dia tidak kenal sejarah Indonesia; dua, tidak mengenal humanisme secara modern, dan bisa menjadi kejam. ...Saya yakin, para politikus sekarang tidak membaca apa-apa.”  (Pramoedya Ananta Toer)

"Saya mengharapkan, apa yang dibaca dari tulisan saya, itu memberikan kekuatan pada pembaca saya untuk tetap berpihak pada yang benar, pada yang adil, pada yang indah." (Saya kutip dari sebuah wawancara Pramoedya Ananta Toer di Youtube)

“Perkawinan politik kolonialisme dengan foedalisme ini melahirkan kelas priyayi.” (Pramoedya Ananta Toer)

“Sejak lahirnya Orde Baru, saya tahu taktik-taktik Orde Baru. Jadi, saya tidak heran kalau ada terjadi penangkapan mahasiswa hanya karena baca buku saya. Itu kekuasaan Orde Baru adalah kekuasaan fasis, yaitu membuat orang menjadi takut supaya manut. (Pramoedya Ananta Toer)

“Waktu Orde Baru, tidak ada yang menghendaki perbaikan. Semua tiarap membenarkan Soeharto. Termasuk kaum intelektual dengan gelar berlapis-lapis juga membenarkan Harto. Ini mahasiswa menentang. Itukan sudah hebat itu. Itu saja, sudah hebat.” (Pramoedya Ananta Toer)

"Sekali Tuan menggauli bangsa Tuan sendiri, Tuan akan menemukan sumber tulisan yang takkan kering-keringnya, sumber tulisan abadi. Kan dalam salah satu tulisannya pada salah seorang sahabatnya, Kartini pernah mengatakan: mengarang adalah bekerja untuk keabadian? Kalau sumbernya abadi, bisa jadi karangan itu menjadi abadi juga." (Pramoedya Ananta Toer, ASB, h. 161-162)

"Dalam kepalaku terbayang para raja dan bupati Pribumi yang gila kebesaran. Orang-orang harus membungkuk dan merangkak di hadapan mereka, menyembah dan dan diperintah untuk menyenangkan hati mereka. Dan mereka belum tentu lebih terpelajar daripada orang yang diperintahnya." (Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa, h. 403)

"Orang rakus harta-benda selamanya tak pernah membaca cerita, orang tak berperadaban. Dia tak pernah perhatikan nasib orang. Apalagi orang yang hanya dalam cerita tertulis." (Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa, h. 512)

"Semua yang terjadi di bawah kolong langit adalah urusan setiap orang yang berpikir." (Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa, h. 522)

"Kalau kemanusiaan tersinggung, semua orang yang berperasaan dan berpikiran waras ikut tersinggung, kecuali orang gila dan orang yang memang berjiwa kriminil, biar pun dia sarjana." (Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa, h. 522)

"Menulis bukan hanya untuk memburu kepuasan pribadi. Menulis harus juga mengisi hidup." (Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa, h. 280)

"Aku bangga menjadi seorang liberal, liberal konsekwen. Memang orang lain menamainya liberal keterlaluan. Bukan hanya tidak suka ditindas, tidak suka menindas, lebih dari itu: tidak suka adanya penindasan." (Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa, h. 407-408)

"Anak-anak pembesar Pangreh Praja tak suka jadi dokter, pada pekerjaan mengabdi kemanusiaan. Mereka lebih memilih pekerjaan memerintah, menguasai, menjilat dan terutama dijilat." (Pramoedya Ananta Toer, Jejak Langkah, h. 68)

"Setiap orang dilahirkan sama, kata Rousseau, kan? Bapak Revolusi Prancis itu? Soalnya memang: bagaimana memimpin dan dipimpin, membawa dan dibawa diri. Nah, kau mengakui setiap orang sama. Mengapa kau gunakan juga gelarmu? Raden Mas?" (Pramoedya Ananta Toer, Jejak Langkah, h. 71)

"...apa telah kau berikan pada kehidupan ini, hei kau manusia terpelajar? ...golongan orang terpelajar, golongan beruntung yang mendapat lebih banyak ilmu dan pengetahuan daripada sebangsa selebihnya. Bagi orang intelligen, orang cerdas--bukan hanya berilmu dan berpengetahuan--tak mungkin terlepas perhatiannya dari masalah-masalah kehidupan, apalagi kehidupan yang vital, memikirkannya, memecahkannya, dan menyumbangkan pikirannya." (Pramoedya Ananta Toer, Jejak Langkah, h. 182)

"Dunia modern akan sedemikian memperinci kehidupan, percabangan dan perantingan ilmu dan kehidupan akan membikin seorang akan jadi asing satu dari yang lain. Orang bertemu hanya karena urusan, atau hanya karena kebetulan." (Pramoedya Ananta Toer, Jejak Langkah, h. 190)

"Setidak-tidaknya semua percuma kalau toh harus diperintah oleh Angkatan Tua yang bodoh dan korup tapi berkuasa, dan harus ikut serta jadi bodoh dan korup demi mempertahankan kekuasaan. Percuma. Sepandai-pandai ahli yang berada dalam kekuasaan yang bodoh ikut juga jadi bodoh." (Pram, Anak Semua Bangsa, h. 88)

"Sekali Tuan menggauli bangsa Tuan sendiri, Tuan akan menemukan sumber tulisan yang takkan kering-keringnya, sumber tulisan abadi. Kan dalam salah satu tulisannya pada salah seorang sahabatnya, Kartini pernah mengatakan: mengarang adalah bekerja untuk keabadian? Kalau sumbernya abadi, bisa jadi karangan itu menjadi abadi juga."  (Pram, Anak Semua Bangsa, h. 161-162)

"Dan untuk kesekian kalinya terpikir olehku: lulus HBS ternyata hanya makin membikin orang tahu tentang ketidaktahuan sendiri. Maka kau harus belajar berendahhati, Minke! Kau, lulusan HBS! Sekolahmu itu belum lagi apa-apa." (Pram, Anak Semua Bangsa, h. 163)

"Sekarang, kalau ada seorang Pribumi bicara Jawa kromo padamu, Tuan Minke, apa kau akan anjurkan ngoko? Ha, kau tidak bisa menjawab. Kau belum mampu melepaskan keenakan-keenakan yang kau dapatkan dari leluhurmu sebagai penguasa atas Pribumi bangsamu sendiri. Kau curang! Mata semboyan Kebebasan, Persamaan, dan Persaudaraan Revolusi Prancis itu kau pungkiri, demi keenakan warisan itu. Kau baru dihayati oleh mata semboyan Kebebasan, itu pun kebebasan untuk dirimu sendiri semata. Kau tidak malu pada dirimu sendiri mengaku pengagum Revolusi Prancis." (Pram, Anak Semua Bangsa, h. 276)

"Tulisan Tuan berseru-seru pada perikemanusiaan, menolak kebiadaban, kecurangan, fitnah, dan kelemahan... Tuan betul-betul anak revolusi Prancis." (Pram, Anak Semua Bangsa, h. 263)

"...jawaban dari parasiswa paling-paling akan jadi bahan pelengkap. Apa bisa diharapkan dari mereka yang hanya bercita-cita jadi pejabat negeri, sebagai apa pun, yang hidupnya hanya penantian datangnya gaji?" (Pramoedya Ananta Toer, Jejak Langkah, h. 213)

"Bukan golongan kuat saja punya kekuatan, juga golongan lemah, asal berorganisasi. Dan hanya dengan organisasi, golongan lemah bisa menunjukkan kekuatan diri sebenarnya." (Pramoedya Ananta Toer, Jejak Langkah, h. 396)

"Ada gerak dari minus ke plus pada umat manusia, dan itu dinamai gerak juang." (Pram, Jejak Langkah, h. 409)

"Semua yang berarti dalam usaha manusia bukan hanya berasal, juga dipimpin oleh impian, khayal. Apa kau kira otomobil dan lokomotif berasal dari kenyataan yang sudah tersedia? Tidak. Juga dari impian, dari khayal." (Pram, Jejak Langkah, h. 440)

"Siapa golongan terpelajar dan maju itu sesungguhnya? Bukan kaum priyayi. Di Hindia ini, begitu seorang terpelajar mendapat jabatan dalam dinas Gubermen, dia berhenti sebagai terpelajar. Kontan dia ditelan oleh mentalis umum priyayi: beku, rakus, gila hormat, dan korup. Yang harus dipersatukan memang bukan kaum priyayi, mungkin justru orang-orang yang samasekali tidak punya jabatan negeri." (Pram, Jejak Langkah, h. 464-465)

"Mereka yang tidak punya jabatan negeri, boleh kita masukkan dalam golongan 'kaum bebas', bukan hamba Gubermen, pikiran dan kegiatannya tidak dipagari oleh pengabdian pada Gubermen." (Pram, Jejak Langkah, h. 465)

"Memang semakin jauh orang dari jabatan negeri, semakin bebas jiwanya, semakin bebas sepak-terjangnya, karena pikirannya lebih lincah, bisa produktif dan bisa kreatif, mempunyai lebih banyak inisiatif, tidak dibatasi dan dibayangi-bayangi ketakutan akan dipecat dari jabatannya." (Pram, Jejak Langkah, h. 465)

"Hanya golongan terpelajar dan termaju yang bisa memimpin, di luar itu orang harus dipimpin." (Pram, Jejak Langkah, h. 466)

"Sebelum manusia mengenal politik sebagaimana bentuknya sekarang ini, agama itu ya politik sekaligus." (Pram, Jejak Langkah, h. 467)

"Telah aku sediakan diri jadi organisator. Jadi dalang dengan cerita pembangunan landasan organisasi bangsa-ganda untuk jadi bangsa tunggal. Dalam bayangan telah dapat kureka-reka apa saja bakal terjadi, kuhadapi, kukerjakan, kuatur, dan kuselesaikan." (Minke/ Pram, Jejak Langkah, h. 547)

"Dalam organisasi, orang bukan melulu bisa mendamaikan pertentangan dan menarik suatu kompromi, juga bertindak kalau perlu demi memenangkan azas, dan tidak boleh takut kehilangan anggota, kehilangan saudara, bahkan kehilangan satu-dua cabang sekalipun!" (Pram, Jejak Langkah, h. 550)

"Di mana-mana aku harus tolak persembahan gelar, jongkok, dan sembah. Kita menuju ke arah masyarakat, di mana setiap manusia sama harganya." (Pram, Jejak Langkah, h. 575)

"Bukan darah, bukan keturunan, yang menentukan sukses-tidaknya seseorang dalam hidupnya, tetapi: pendidikan lingkungan dan keuletan. Bahwa sukses bukan hadiah cuma-cuma dari para dewa, dia hanya akibat kerja keras dan belajar. Pandangan salah tentang keturunan dan darah begitu mengakar dalam literatur dan kehidupan Jawa." (Pram, Jejak Langkah, h. 576)

"Dengan sabar dan hati-hati terpaksa aku terangkan, jaman modern ini tidak mengagumi orang kebal. Kita menjurus pada kehidupan demokrasi modern, setiap orang sama dengan yang selebihnya. Tidak ada yang luarbiasa, tidak ada yang lebih dekat pada atau menjadi kekasih para dewa atau Tuhan." (Pram, Jejak Langkah, h. 578)

"Umat manusia memerlukan kemakmuran untuk memuliakan diri sebagai manusia dan sesuai dengan kodratnya. Di situ pentingnya terpelajar Pribumi." (Pram, Jejak Langkah, h. 42)

"Yang ada di sekelilingnya adalah penderitaan karena kebodohan, ketidaktahuan; di atasnya: kepandaian, ilmu pengetahuan, kekuasaan berlebih-lebihan, yang justru membikin dan mempertahankan penderitaan." (Pram, Jejak Langkah, h. 146)

"Aku seorang yang bercita-cita jadi manusia bebas." (Pram, Jejak Langkah, h. 155)

"Dan aku pun mulai menyusun jawaban atas pertanyaan-pertanyaan Van Heutsz. Jawaban dari parasiswa paling-paling akan jadi bahan pelengkap. Lagipula, baru besok bahan-bahan itu bisa terkumpul. Apa bisa diharapkan dari mereka yang hanya bercita-cita jadi pejabat negeri, sebagai apa pun, yang hidupnya hanya penantian datangnya gaji." (Pram, Jejak Langkah, h. 213)

"Apa pun pakaian yang dikenakan, bukankah dia tetap telanjang bulat di dalamnya?" (Pram, Jejak Langkah, h. 536)

"Tetapi para petani itu adalah saudara-saudara kita sendiri, sebangsa kita sendiri, yang hendak diperas tanah dan duitnya secara gegabah oleh perusahaan-perusahaan raksasa Eropa, Arab, dan Cina. Kalau Tuan-tuan membenarkan pemerasan itu, Tuan-tuan membenarkan kejahatan, apa itu dibenarkan dalam Islam? Kan kita akan malu sebagai Muslim membiarkan yang demikian terjadi?" (Pram, Jejak Langkah, h. 626)

PERCAKAPAN PRAM

"Tuan bermaksud menjadi apa setelah kegagalan ini?"
"Hanya jadi manusia bebas, Tuan. Pemecatan ini hanya aku anggap sebagai karunia."
"Jadi manusia bebas lebih cocok bagiku daripada dokter Gubermen, Tuan-tuan. Kita akan bertemu di masyarakat besar nanti." (Pram, Jejak Langkah, h. 234-235)

Kata Bijak

"Justru persyaratan modern itu yang membikin seseorang atau sesuatu bangsa dapat dikatakan modern, pada mulanya persyaratan itu adalah ilmu dan pengetahuan modern, kemudian organisasi modern, kemudian peralatan modern." (Pram, Jejak Langkah, h. 257)

"Orang-orang di sekelilingku ini tidak pernah mengenal apa yang aku kenal. Duduk di bangku sekolah pun mungkin tak pernah. Mereka tak tahu apa-apa kecuali mencari rejeki dan membiakkan diri. Oh, makhluk-makhluk dalam peternakan! Bahkan mereka tak tahu kehidupannya begitu rendah. Kekuatan raksasa di luar sana, yang tumbuh dan berkembang makin lama makin menelan apa saja, tanpa kenyang-kenyangnya, mereka tak tahu. Tahu pun tak akan ambil peduli." (Pram, Jejak Langkah, h. 266)

"Perjuangan zaman modern membutuhkan cara-cara yang modern pula: berorganisasi." (Pram, Jejak Langkah, h. 255)

"Ah, peduli amat keturunan siapa seseorang. Yang jadi ukuran tetap perbuatannya sebagai pribadi pada sesamanya." (Pram, Jejak Langkah, h. 289)

"Kekuasaan mempunyai jantung dan wajahnya sendiri. Dia hanya moral berlapis-lapis menurut kebutuhan." (Pangemanann dalam Pram, Jejak Langkah, h. 716)

"Rampas segala yang menjadi hakmu." (Pram, Jejak Langkah, h. 717)


"Deposuit potentes de sede et exaltavat humiles; Dia rendahkan mereka yang berkuasa dan naikkan mereka yang terhina." (Pram, Rumah Kaca, h. 646)

"Ada kekuatan-kekuatan dahsyat tak terduga yang bisa timbul pada samudera, pada gunung berapi, dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya." (Pram, Rumah Kaca, h. 548)

"Semua berpautan dengan politik! Semua berjalan dengan organisasi. Apakah Tuan-tuan kira petani yang buta huruf yang hanya dapat mencangkul itu tidak mencampuri politik? Begitu ia menyerahkan sebagian penghasilannya yang kecil itu kepada pemerintahan desa sebagai pajak, dia sudah berpolitik, karena dia membenarkan dan mengakui kekuasaan Gubermen. Sejak jaman nabi sampai kini, tak ada manusia yang bisa terbebas dari kekuasaan sesamanya, kecuali mereka yang tersisihkan karena gila. Selama ada yang diperintah dan memerintah, dikuasai dan menguasai, orang berpolitik." (Pram, Rumah Kaca, 562-563)

“Apa artinya partai politik? Sebuah organisasi yang didirikan dengan tujuan menghimpun kekuatan.” (Pram, Rumah Kaca, 217)

"Kalau ahli hukum itu hanya tahu uang, tentunya tak perlu lagi ada hukum yang harus mereka pertahankan dan mereka bela... Apakah arti semua itu dibandingkan dengan seluruh umat manusia yang bergulat untuk menemukan hukumnya? Berapakah yang bisa disumbangkan oleh seorang individu sebagai ahli hukum pada perbendaharaan hukum umat manusia? Kalau ahli hukum tak merasa tersinggung karena pelanggaran hukum sebaiknya dia jadi tukang sapu jalanan." (Pram, Rumah Kaca, h. 584)

"Kita semua harus menerima kenyataan, tapi menerima kenyataan saja adalah pekerjaan manusia yang tak mampu lagi berkembang, karena manusia juga bisa membikin kenyataan-kenyataan baru. Kalau tak ada orang mau membikin kenyataan-kenyataan baru, maka kemajuan sebagai kata dan makna sepatutnya dihapuskan dari kamus umat manusia." (Pram, Rumah Kaca, h. 584-585)

"Bagaimana pun masih baik dan masih beruntung pemimpin yang dilupakan oleh pengikut daripada seorang penipu yang jadi pemimpin yang berhasil mendapat banyak pengikut." (Pram, Rumah Kaca, h. 594)

"Betapa bedanya bangsa-bangsa Hindia ini dari bangsa Eropa, terutama Prancis. Di Prancis, setiap orang yang memberikan sesuatu yang baru pada umat manusia dengan sendirinya mendapat tempat yang selayaknya di dunia dan di dalam sejarahnya. Di Hindia, pada bangsa-bangsa Hindia, nampaknya setiap orang takut tak mendapat tempat dan berebutan untuk menguasainya." (Pramoedya Ananta Toer, Rumah Kaca, h. 602)

"Apa artinya partai politik? Sebuah organisasi didirikan dengan tujuan menghimpun kekuatan." (Pram, Rumah Kaca, h. 217)

"Jangan jadi kuli mereka, katanya seperti mengulangi kata-kata bapakku mendiang. Jangan bikin mereka jadi lebih kaya dan lebih berkuasa karena keringatmu. Rebut ilmu dan pengetahuan dari mereka sampai kau sama pandai dengan mereka. Pergunakan ilmumu itu kemudian untuk menuntun bangsamu keluar dari kegelapan yang tiada habis-habisnya ini." (Pram, Rumah Kaca, h.340)

"Dalam setiap sektor kerja produksi dan jasa, tenaga manusialah yang terpenting, bukan mesin, bukan pula uang, maka tenaga manusia harus diganti dengan upah yang layak." (Pram, Rumah Kaca, h. 468)

Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah." (Pram, Rumah Kaca, h. 473)

"Menulis adalah bekerja untuk keabadian." (R.A. Kartini dalam Pram, Rumah Kaca, h. 473)

"Nama-nama yang dikenal di depan umum masih dianggap kurang berbobot bila belum dikenal di kertas." (Pram, Rumah Kaca, h. 473)

"Aku dapat bayangkan waktu kau belajar, membukai lembaran-lembaran buku dengan kepercayaan semua yang kau pindahkan dari buku-buku itu ke dalam dirimu untuk menjadi kekuatanmu dalam menyeberangi padang kehidupan ini." (Pram, Rumah Kaca, h. 536)

"Penerobosan kegelapan adalah tugas setiap terpelajar untuk menyambut masa depan yang cerah, dan sekolahan tidak mengajarkan itu." (Pram, Rumah Kaca, h. 313)

"Aku lebih mengenal lagi tata-susun kekuasaan kolonial. Kekuasaan ini didukung oleh sekelompok kecil manusia kolonial putih yang pada gilirannya didukung oleh manusia kolonial coklat dalam kelompok yang berganda lebih besar. Dari atas ke bawah yang ada adalah larangan, penindasan, perintah, semprotan, hinaan. Dari bawah ke atas yang ada adalah penjilatan, kepatuhan, dan perhambaan. (Pram, Rumah Kaca, h. 323)

"Perjuangan tidak bisa berjalan tanpa organisasi-organisasi yang berani, cerdas, dan berwatak." (Pram, Rumah Kaca, h. 233)

"Orang menjadi besar karena tindakannya besar, pikirannya besar, jiwanya besar." (Pram, Rumah Kaca, h. 313)

"Agama adalah juga politik." (Pram, Rumah Kaca, h. 325)

"Di negeri dengan penduduknya yang kekanak-kanakan dengan penguasanya yang pongah dan manja itu, hasil sosial yang paling sah hanya penindasan." (Pram, Rumah Kaca, h. 519)

“Bagaimanapun jeleknya demokrasi sebagai sistem, toh lebih baik daripada yang ada. Sebab, manusia punya hak untuk bicara.” (Pramoedya Ananta Toer)

"Keinginan menjadi pegawai negeri adalah salah satu faktor kenapa korupsi mustahil diberantas. Di birokrasi itulah korupsi itu merajalela. Orang suci pun bisa jadi korup di sana. Dan, pegawai negeri sudah bertumpuk-tumpukkan. Pendidikan yang membentuk itu semua." (Pramoedya Ananta Toer)

"Banyak orang jadi dokter atau meester, hanya karena orang tuanya mampu membiayai, atau dia diongkosi oleh orang lain. Itu tak mengagumkan. Hanya orang yang kuasa mengangkat dirinya sendiri jadi dokter, atau meester, atau insinyur, dengan tenaga dan kekuatannya sendiri itulah yang patut mendapat pujian." (Pramoedya Ananta Toer, Keluarga Gerilya, Jakarta: PT. Pembangunan, 1955, h. 190-191).

"Titel akademi itu bukan tujuan manusia. Hanya alat belaka. Tak ubahnya dengan pisau, mobil, atau pacul—alat untuk memudahkan orang dalam mencapai cita-citanya." (Pramoedya Ananta Toer, Keluarga Gerilya, h. 191).

"Menjadi pegawai negeri kolonial menghilangkan kemerdekaan diri dan kebebasan berpikir." (TirtoAdhiSoerjo dalam Prameodya Ananta Toer, Sang Pemula, Jakarta: Hasta Mitra, 1985, h.185)

"Selama di tanah Jawa masih belum ada handelsstand (golongan pedagang, golongan menengah, kaum mardika), yang diindahkan oleh bupatinya, maka nafsu Pribumi untuk bekerja dengan membuang-buang tenaga bertahun-tahun hanya demi pangkat dengan gaji kecil itu tidak akan lenyap. Inilah fatsal pertama yang jadi sebab kemunduran tanah Jawa." (Tirto Adhi Soerjo dalam Prameodya Ananta Toer, SangPemula, Jakarta: Hasta Mitra, 1985, h.203).

"Lukisan adalah sastra dalam warna-warni. Sastra adalah lukisan dalam bahasa." (Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia, 1985: 313)

"Semuanya harus dituliskan. Apapun...." (PramoedyaAnantaToer)

“Aku mengangkat sembah sebagaimana biasa aku lihat dilakukan punggawa terhadap kakekku dan nenekku dan orangtuaku waktu lebaran. Dan yang sekarang tak juga kuturunkan sebelum Bupati itu duduk enak di tempatnya. Dalam mengangkat sembah serasa hilang seluruh ilmu dan pengetahuan yang kupelajari tahun demi tahun belakangan ini. Hilang indahnya dunia sebagaimana dijanjikan oleh kemajuan ilmu. Hilang athusiasme para guruku dalam menyambut hari esok yang cerah bagi ummat manusia. Dan entah berapa kali lagi aku harus mengangkat sembah nanti. Sembah, pengagungan pada leluhur dan pembesar melalui perendahan dan penghinaan diri! Sampai sedatar tanah kalau mungkin! Uh, anak-cucuku tak kurelakan menjalani kehinaan ini.”  ― Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia

“Seorang politikus tidak mengenal Multatuli, praktis tidak mengenal humanisme (humanitas) secara modern. Dan politikus tidak mengenal Multatuli, bisa menjadi politikus kejam. Pertama, dia tidak kenal sejarah Indonesia. Dua, tidak mengenal humanisme secara modern, dan bisa menjadi kejam. Saya yakin, para politikus sekarang tidak membaca apa-apa.” (Pramoedya Ananta Toer)

“Priyayi adalah anak perkawinan politik kolonialisme dengan feodalisme. Ini melahirkan kelas priyayi.” (Pramoedya Ananta Toer)

“Saya lebih memikirkan nasib individu sebagai manusia. Dan saya alami penindasan, perampasan, penghinaan, yang tidak patut dialami oleh warga negara Indonesia merdeka. Saya rasai penindasan-penindasan itu. Dan saya rasai orang lain yang mengalami seperti saya. Lebih mengalami lagi. Lebih merasakan. Maka itu, lain daripada dulu. Dulu, masih muda sekali, umur dua puluhan saya menulis. Dan tidak sehebat sekarang yang saya alami. Saya merasa sampai titik dasar kehinaan. Di dalam republik Indonesia Orde Baru.” (Pramoedya Ananta Toer)

“Semua kemajuan di Indonesia itu dimotori oleh angkatan muda dan mahasiswa. Ya, saya terangkan latar belakang sejarahnya dulu: mula-mula para mahasiswa di negeri Belanda, tahun belasan, yang menemukan tanah air dan nasionnya dan dinamai Indonesia, tahun belasan di negeri Belanda, dan itu pengaruhnya ke indonesia, terjadi gerakan-gerakan. (Pramoedya Ananta Toer)

"Kasta bangsawan-priyayi merupakan golongan atas masyarakat yang konsumtif, tidak produktif, dan lebih lagi: tidak kreatif. Hampir tanpa kekecualian. Ia kenal watak dan impian kasta ini: pangkat dan kehormatan yang diinderai: bintang, payung, selempang, pita, gelar. Dan gelar tertinggi yang diimpikan adalah: Pangeran, Arya, Adipati, Tumenggung." (Prameodya Ananta Toer, SangPemula, Jakarta: Hasta Mitra, 1985, h. 14. Maksud Pram adalah tentang sikap Tirto Adhi Soerjo yang keluar dari keluarga ningrat-priyayinya serta menolak untuk menjadi ambtenar)

"Komunisme itu ada dua macam: sebagai ideologi perorangan dan sebagai sistem politik." (Pramoedya Ananta Toer)

"Saya mengharapkan, apa yang dibaca dari tulisan saya, itu memberikan kekuatan pada pembaca saya untuk tetap berpihak pada yang benar, pada yang adil, pada yang indah." (Pramoedya Ananta Toer)

"Lukisan adalah sastra dalam warna-warni. Sastra adalah lukisan dalam bahasa." (Pramoedya Ananta Toer, BumiManusia, 1985: 313)

"Semua harus ditulis. Apa pun. Jangan takut tidak dibaca atau tidak diterima penerbit. Yang penting tulis, tulis, dan tulis. Suatu saat pasti berguna." --Pramoedya Ananta Toer

"Orang boleh pandai setinggi langit, namun selama tak menulis, ia akan hilang dari masyarakat dan arus pusaran sejarah." -Pramoedya Ananta Toer

"Keberanian itu sama seperti otot manusia. Kalau tidak dilatih, dia akan menjadi lemah. Dalam hidup ini, kita banyak menghadapi tantangan. Latihan pertama adalah jangan lari. Hadapi semuanya. Itu cara untuk melatih keberanian." (Pramoedya)

"Sastra menjadi kekuatan bagi mereka yang sama sekali tidak mempunyai kebebasan dan kekuasaan. Maka, dengan mengaranglah Kartini bisa menunjukkan kekuatannya." (Pramoedya Ananta Toer)

"Lihat, biar kau kaya bagaimana pun, kau harus bertindak terhadap siapa saja yang mengambil seluruh atau sebagian dari milikmu, sekali pun hanya segumpil batu yang tergeletak di bawah jendela. Bukan karena batu itu sangat berharga bagimu. Azasnya: mengambil milik tanpa ijin: pencurian; itu tidak benar, harus dilawan. Apalagi pencurian terhadap kebebasan kita. Barang siapa tidak tahu bersedia pada asas, dia terbuka terhadap segala kejahatan: dijahati atau menjahati." (PAT, ASB, h. 4-5)

Episode Anak Semua Bangsa adalah semacam titik balik perjalanan Minke menelusuri kehidupan masyarakatnya dari titiknya yang paling dekat yang dengan perjalanan itu semangat itu pun terkukuhkan: "Dan bukan hanya Eropa! Jaman modern ini telah menyampaikan padaku buah dada untuk menyusui aku, dari Pribumi sendiri, dari Jepang, Tiongkok, Amerika, India, Arab, dari semua bangsa di muka bumi ini."

"Semua percuma kalau toh harus diperintah oleh Angkatan Tua yang bodoh dan korup tapi berkuasa, dan harus ikut jadi bodoh dan korup demi mempertahankan kekuasaan. Sepandai-pandai ahli yang berada dalam kekuasaan yang bodoh ikut juga jadi bodoh." (Pramoedya Ananta Toer, dalam Anak Semua Bangsa, h. 87-88)

"Kau, Nak, paling sedikit harus bisa berteriak. Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari." (Mama pada Minke /Pramoedya Ananta Toer, dalam Anak Semua Bangsa, h. 112)

"Jangan agungkan Eropa sebagai keseluruhan. Di mana pun ada yang mulia dan jahat. Dan satu yang tetap, Nak, abadi: yang kolonial, dia selalu iblis." (Pramoedya Ananta Toer, dalam Anak Semua Bangsa, h. 110)

"Tidak lain dari Mama yang mengatakan: nama berganti seribu kali dalam sehari, makna tetap. Dan birokrat dan ningrat Jawa, bangsaku, suka memilih nama indah-indah sebagai hiasan. Juga untuk mengesani, mempengaruhi diri sendiri serta umum selingkungannya, dengan keindahannya. Shakespear dramawan Inggris itu tak pernah mengenal birokrat dan ningrat Jawa yang suka berindah-indah dengan nama, malahan suka mengukuhkan jabatan pada namanya pula. Jurutulis sebuah kantor suka menggunakan nama Sastra, maka Sastradiwirya akan berarti Jurutulis yang baik dan tegas. Priyayi pengairan suka mengukuhkan diri dengan nama Tirta, maka Tirtanata akan berarti Pejabat yang mengatur pengairan." (Minke/Pramoedya Ananta Toer, dalam Anak Semua Bangsa, h. 26)

"Kalau hati dan pikiran manusia sudah tak mampu mencapai lagi, bukankah hanya pada Tuhan juga orang berseru?" (Pramoedya Ananta Toer, dalam Anak Semua Bangsa, h. 43)

"Aku sendiri telah kembali pada kegiatan semula: membacai koran, majalah tertentu, buku dan surat-surat, menulis catatan dan karangan. Dan: membantu Mama di kantor dan di lapangan. Semua bacaan itu mengajarkan padaku tentang pribadi di tengah-tengah lingkunganku, dunia besar, dan perederan waktu yang ogah belot." (Minke/ Pramoedya Ananta Toer, dalam Anak Semua Bangsa, h. 55)

"Betapa aneh kalau setiap kemuliaan dilahirkan di atas kesengsaraan yang lain." (Pramoedya Ananta Toer, dalam Anak Semua Bangsa, h. 57)

"Tak ada guna menyewa tenaga Eropa kalau Pribumi bisa melakukan." (Pramoedya Ananta Toer, dalam Anak Semua Bangsa, h. 58)

"Mendapat upah karena menyenangkan orang lain yang tidak punya persangkutan dengan hati sendiri, kan itu di dalam seni namanya pelacuran? Kau masih lebih beruntung dapat tumpahkan isi hati dalam tulisan. Aku tidak." (Jean Marais pada Minke/ Pramoedya Ananta Toer, dalam Anak Semua Bangsa, h. 78)

"Kau Pribumi terpelajar! Kalau mereka itu, Pribumi itu, tidak terpelajar, kau harus bikin mereka jadi terpelajar. Kau harus bicara pada mereka, dengan bahasa yang mereka tahu." (Pramoedya Ananta Toer, dalam Anak Semua Bangsa, h. 72)

"Dengan rendah hati aku mengakui: aku adalah bayi semua bangsa dari segala jaman, yang telah lewat dan yang sekarang. Tempat dan waktu kelahiran, orangtua, memang hanya satu kebetulan, sama sekali bukan sesuatu yang keramat." (Pramoedya Ananta Toer, dalam Anak Semua Bangsa)

"Yang kolonial selalu iblis. Tak ada yang kolonial pernah mengindahkan kepentingan bangsamu." (Pramoedya Ananta Toer, dalam Anak Semua Bangsa, h. 127)

Itulah Hindia, koran-koran tak berani memberitakan kebenaran,takut digulung atau diberangus, sedang para priyayi rakus sekaligus beku dalam jabatannya, seprti katamu sendiri, pembesar hanya tahu menghukum. Kehidupan dikuasai sassus. Setiap orang boleh jadi korbannya tanpa bisa membela diri. Hentikan itu, Nak. Bikin Harianmu jadi satu-satunya di Hindia, melulu bekerja untuk kebenaran, untuk keadilan, untuk semua sebangsamu.” (Pramoedya Ananta Toer, Jejak Langkah, h. 363)

“Janganlah Harian Tuan yang sudah baik itu dipergunakan untuk melampiaskan ambisi-ambisi pribadi. Harian Tuan dan Tuan sendiri sudah jadi milik bangsa Tuan.” (Pramoedya Ananta Toer, Jejak Langkah, h. 370)

"Keberanian itu bukan anugerah, tapi hasil latihan hidup sehari-hari. Keberanian itu sama seperti otot manusia. Kalau tidak dilatih, dia akan jadi lemah. Latihan pertama adalah: jangan lari. Hadapi semuanya. Itu cara untuk melatih keberanian." --Pramoedya Ananta Toer


PRAMOEDYA ANANTA TOER (KHUSUS TENTANG PENTINGNYA MENULIS)


"Saya belajar dari Maxim Gorky yang betul-betul saya kagumi. Gorky kalau menulis bagai memegang tiang rumah, kemudian mengguncangkannya sehingga semuanya berubah." (Pramoedya Ananta Toer)

"Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari." ((Pramoedya Ananta Toer, dalam novel Anak Semua Bangsa)

“Semua harus ditulis. Apa pun. Jangan takut tidak dibaca atau tidak diterima penerbit. Yang penting, tulis, tulis, dan tulis! Suatu saat pasti berguna." (Pramoedya Ananta Toer)

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.” (Kutipan paling legendaris yang terdapat dalam novel Rumah Kaca. Kutipan tersebut secara jelas menyebut bahwa betapa pentingnya menulis. Kepandaian terbaik pun akan kurang lengkap jika seseorang tidak menulis. Dengan menulis, kita membuat sejarah. Dengan menulis, kita menggoresakan tinta ke dalam sejarah kehidupan banyak orang).

“Sebagai pengarang saya masih lebih percaya kepada kekuatan kata daripada kekuatan peluru yang gaungnya hanya akan berlangsung sekian bagian dari menit, bahkan detik.” (Pramoedya Ananta Toer)

"Seorang penulis itu berdiri sendirian, menghadapi ribuan pendapat yang berbeda".(Pramoedya Ananta Toer) 

"Lukisan adalah sastra dalam warna-warni. Sastra adalah lukisan dalam bahasa." (Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia, 1985: 313)

"Saya mengharapkan, apa yang dibaca dari tulisan saya, itu memberikan kekuatan pada pembaca saya untuk tetap berpihak pada yang benar, pada yang adil, pada yang indah." (Pramoedya Ananta Toer)

"Sastra menjadi kekuatan bagi mereka yang sama sekali tidak mempunyai kebebasan dan kekuasaan. Maka, dengan mengaranglah Kartini bisa menunjukkan kekuatannya." (Pramoedya Ananta Toer)

“Semua harus ditulis. Apa pun. Jangan takut tidak dibaca atau tidak diterima penerbit. Yang penting, tulis, tulis, dan tulis! --Pramoedya Ananta Toer


Betapa sederhana hidup ini sesungguhnya yang pelik cuma liku dan tafsirannya. (Pramoedya Ananta Toer)

"Kau terpelajar, cobalah bersetia pada kata hati." Pram

"Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan."  Pramoedya Ananta Toer

"Setiap ketidakadilan harus dilawan, walaupun hanya dalam hati. (Pramoedya Ananta Toer)

"Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya." Pram, Bumi Manusia, h. 535

"Dengan melawan, kita takkan sepenuhnya kalah." Pram, Bumi Manusia

“Aku mengangkat sembah sebagaimana biasa aku lihat dilakukan punggawa terhadap kakekku dan nenekku dan orangtuaku waktu lebaran. Dan yang sekarang tak juga kuturunkan sebelum Bupati itu duduk enak di tempatnya. Dalam mengangkat sembah serasa hilang seluruh ilmu dan pengetahuan yang kupelajari tahun demi tahun belakangan ini. Hilang indahnya dunia sebagaimana dijanjikan oleh kemajuan ilmu. Hilang anthusiasme para guruku dalam menyambut hari esok yang cerah bagi ummat manusia. Dan entah berapa kali lagi aku harus mengangkat sembah nanti. Sembah, pengagungan pada leluhur dan pembesar melalui perendahan dan penghinaan diri! Sampai sedatar tanah kalau mungkin! Uh, anak-cucuku tak kurelakan menjalani kehinaan ini.”  ― Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia

"Setiap ketidakadilan harus dilawan, walaupun hanya dalam hati. (Pramoedya Ananta Toer)

"Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya." --Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia, h. 535

"Kau terpelajar, cobalah bersetia pada kata hati." --Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia

"Cerita tentang kesenangan selalu tidak menarik. Itu bukan cerita tentang manusia dan kehidupannya. Tapi tentang surga, dan jelas tidak terjadi di atas bumi kita ini." --Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia
"Dengan melawan kita takkan sepenuhnya kalah." --Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia
 "Bagaimana bisa manusia hanya ditimbang dari surat-surat resmi belaka, dan tidak dari wujudnya sebagai manusia?" --Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia

"Cinta itu indah, Minke, juga kebinasaan yang mungkin membuntutinya. Orang harus berani menghadapi akibatnya."--Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia

"Keadaan seluruh dunia berubah. Sekarang apa? Negara-negara komunis pun mengakomodasi kapitalisme. Perang Dingin tidak ada lagi. Saya sendiri tetap seperti dulu: menentang ketidakadilan dan penindasan. Bukan sekadar menentang, tetapi melawan! Melawan pelecehan kemanusiaan. Saya tidak berubah." Pramoedya Ananta Toer

Setiap pengalaman yang tidak dinilai baik oleh dirinya sendiri ataupun orang lain akan tinggal menjadi sesobek kertas dari buku hidup yang tidak punya makna. Padahal setiap pengalaman tak lain daripada fondasi kehidupan. Pram, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu

Apa gunanya memaki? Mereka memang anjing. Mereka memang binatang. Dulu bisa mengadu, dulu ada pengadilan. Dulu ada polisi, kalau duit kita dicolong tetangga kita. Apa sekarang? Hakim-hakim, jaksa-jaksa yang sekarang juga nyolong kita punya. Siapa mesti mengadili kalau hakim dan jaksanya sendiri pencuri?" Pram, Larasati,

Kalian pemuda, kalau kalian tidak punya keberanian, sama saja dengan ternak karena fungsi hidupnya hanya beternak diri.
― Pramoedya Ananta Toer,

Kalau kemanusiaan tersinggung, semua orang yang berperasaan dan berfikiran waras ikut tersinggung, kecuali orang gila dan orang yang berjiwa kriminal, biarpun dia sarjana.
Anak Semua Bangsa (1981) ― Pramoedya Ananta Toer,

"Wanita lebih suka mengabdi pada kekinian dan gentar pada ketuaan, mereka dicengkam oleh impian tentang kemudaan yang rapuh itu dan hendak bergayutan abadi pada kemudaan impian itu." Pram






0 komentar:

Posting Komentar