Oleh: NANI EFENDI
Salah satu tokoh yang jadi inspirasi saya dalam menulis adalah Pramoedya Ananta Toer. Berikut ini adalah kata bijak Pramoedya Ananta Toer yang saya kutip dari novel-novelnya. Ditambah dari sumber-sumber lain. Karya-karya Pram (sapaan akrab Pramoedya Ananta Toer) semuanya bagus. Mencerahkan. Karya Pram yang cukup populer adalah tetralogi Buru: empat novel (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca). Empat novel itu ia tulis ketika diasingkan oleh pemerintah Orde Baru di Pulau Buru. Pram ditahan di Pulau Buru selama 14 tahun sebagai tahanan politik (tapol) tanpa proses pengadilan, dari tahun 1965 sampai 1979. Pramoedya Ananta Toer dibawa ke Pulau Buru bersama puluhan ribu orang lainnya karena ia dicap sebagai simpatisan PKI. Namun, Pram akhirnya bebas karena tidak terbukti.
Nah, bagi yang penasaran siapa sebenarnya Pramoedya Ananta Toer dan kehebatan karya-karyanya, silakan dicari di Google. Di Youtube juga banyak video-video Pram. Setelah itu, saya anjurkan untuk membaca langsung karya-karyanya, terutama yang paling terkenal, yaitu novel berjudul Bumi Manusia.
Bagi saya, semua tulisan-tulisan Pram sangat bernas. Pola pikir saya banyak berubah setelah melahap karya-karya Pram, tokoh Indonesia yang pernah menjadi kandidat pemenang Hadiah Nobel itu. Oleh karenanya saya salin kata-kata bijak atau ungkapan-ungkapan penting dari karya tulisnya, maupun dari ungkapannya. Kutipan-kutipan di bawah ini, sebagian besar, saya ambil langsung dari karya-karya Pram. Tapi ada juga sebagian yang saya dapatkan dari berbagai sumber.
Awalnya, saya tulis tangan di kertas. Ada juga yang saya salin sementara di handphone. Kemudian akhirnya saya ketik dan saya masukkan ke blog pribadi saya ini. Semoga kutipan dari karya Pramoedya Ananta Toer yang saya posting ini dapat bermanfaat bagi banyak orang, sebagaimana harapan Pram sendiri, "Saya mengharapkan, apa yang dibaca dari tulisan saya, itu memberikan kekuatan pada pembaca saya untuk tetap berpihak pada yang benar, pada yang adil, pada yang indah."
Berikut kata-kata bijak, kutipan, dan ungkapan-ungkapan Pram yang saya anggap penting:
"Kau, Nak, paling sedikit harus bisa berteriak. Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari." (Pram, Anak Semua Bangsa, h. 112) ".....Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah." (Pramoedya Ananta Toer dalam Anak Semua Bangsa)
"Wujud dan wajah manusia itu tetap sama, tidak lebih baik daripada di jaman-jaman sebelumnya. Dia tetap tinggal makhluk yang tak tahu apa sesungguhnya dia kehendaki. Semakin sibuk orang mencari-cari dan menemukan, semakin jelas, bahwa dia sebenarnya diburu-buru oleh kegelisahan hati sendiri." (Pram, Anak Semua Bangsa, h. 143)
"Yang dinamakan jaman modern adalah jaman kemenangan modal. Setiap orang dijaman modern diperintah oleh modal besar, juga pendidikan yang Tuan tempuh di H.B.S. disesuaikan dengan kebutuhannya—bukan kebutuhan Tuan pribadi. Begitu juga surat kabarnya. Semua diatur oleh dia, juga kesusilaan, juga hukum, juga kebenaran dan pengetahuan." (Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa, h. 394-397)
"Wujud dan wajah manusia itu tetap sama, tidak lebih baik daripada di jaman-jaman sebelumnya. Dia tetap tinggal makhluk yang tak tahu apa sesungguhnya dia kehendaki. Semakin sibuk orang mencari-cari dan menemukan, semakin jelas, bahwa dia sebenarnya diburu-buru oleh kegelisahan hati sendiri." (Pram, Anak Semua Bangsa, h. 143)
"Aku tahu Mama sedang tidak bicara denganku. Ia sedang menguji pikirannya sendiri. Ia berusaha mendapatkan pegangan pada kebenaran yang berakar pada kebenaran. Ia mencoba menghadapi dan bertahan terhadap tragedi kehidupan. Lambat tapi pasti sorak-soraiku sendiri dan dunia akan datangnya jaman modern hanya satu kesia-siaan semata. Yang modern memang hanya alat-alatnya, kata Mama, dan caranya. Manusia tetap, tidak berubah, di laut, darat, di kutub, dalam kekayaan dan kemiskinan bikinan manusia sendiri." (Pram, Anak Semua Bangsa, h. 338-339)
”Yang modern memang hanya alat-alatnya, kata Mama, dan caranya. Manusia tetap, tidak berubah, di laut, darat, di kutub, dalam kekayaan dan kemiskinan bikinan manusia sendiri." (Pram, Anak Semua Bangsa, h. 338-339)
"Beda pula dari Mama, seorang manusia bebas-merdeka seperti termaktub dalam mata semboyan Kebebasan dari Revolusi Prancis, namun menganggap jaman modern tidak mengandung berkah sesuatu pun kecuali dalam kemajuan peralatan dan cara." (Pram, Anak Semua Bangsa, h. 278-279)
"Jangan kau jadi seperti bangsamu, Minke. Harus ada seorang yang sadar, jadi otak dan pancaidera mereka." " (Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa, h. 409)
"Betapa bedanya bangsa-bangsa Hindia ini dari bangsa Eropa. Di sana, setiap orang yang memberikan sesuatu yang baru pada umat manusia dengan sendirinya mendapatkan tempat yang selayaknya di dunia dan di dalam sejarahnya. Di Hindia, pada bangsa-bangsa Hindia, nampaknya setiap orang takut tak mendapat tempat dan berebutan untuk menguasainya." (Pramoedya Ananta Toer, Rumah Kaca)
“Ibu saya itu, menurut saya, seorang ibu yang ideal. Bukan karena saya anaknya, tapi makin lama saya makin kenang apa yang dilakukannya, dididikkannya terhadap saya, saya makin menghormati. Seperti: ‘Jangan jadi pegawai negeri, jadilah majikan atas dirimu sendiri. Jangan makan keringat orang lain, makanlah keringatmu sendiri.’ Dan itu dibuktikan dengan kerja. ‘Kalau kau nanti sudah besar, belajarlah di Eropa.’ Walaupun pada waktu itu tidak ada kemampuan untuk itu. Tidak mungkin itu. Tapi, dia sudah menggariskan begitu. Dan ternyata juga sebagian anak-anaknya belajar di Eropa kemudian, kecuali saya.” (Pramoedya Ananta Toer)
“Saya di dalam pandangan saya hanya berpihak pada yang adil, benar! Itu saja. Berkemanusiaan. Kalau yang ini yang lebih adil, saya bantu, saya sokong dia. Lebih dari itu, tidak.” (Pramoedya Ananta Toer)
“Komunisme itu ada dua macam: sebagai ideologi perorangan dan sebagai sistem politik. Sebagai sistem politik, sudah membuktikan tidak demokratis. Sampai sekarang. Dan, manusia hidup ini untuk sistem, apakah sistem untuk manusia? Itu persoalannya. Kalau manusia itu dilahirkan untuk sistem, maka manusia itu akan menderita. Walaupun manusia itu lahir tidak atas kemauannya sendiri, tapi aturan-aturan dari sistem belum tentu sesuai dengan individu. Maka itu, menurut saya, bagaimanapun jeleknya demokrasi sebagai sistem, toh lebih baik daripada yang ada. Sebab, manusia punya hak untuk bicara.” (Pramoedya Ananta Toer)
“Seorang politikus tidak mengenal Multatuli,
praktis tidak mengenal humanisme secara modern. Dan, politikus tidak mengenal
Multatuli, bisa menjadi politikus kejam: pertama dia tidak kenal sejarah
Indonesia; dua, tidak mengenal humanisme secara modern, dan bisa menjadi kejam.
...Saya yakin, para politikus sekarang tidak membaca apa-apa.” (Pramoedya Ananta Toer)
"Saya mengharapkan, apa yang dibaca dari
tulisan saya, itu memberikan kekuatan pada pembaca saya untuk tetap berpihak
pada yang benar, pada yang adil, pada yang indah." (Saya kutip dari sebuah wawancara Pramoedya Ananta Toer di Youtube)
“Perkawinan politik kolonialisme dengan
foedalisme ini melahirkan kelas priyayi.” (Pramoedya Ananta Toer)
“Sejak lahirnya Orde Baru, saya tahu
taktik-taktik Orde Baru. Jadi, saya tidak heran kalau ada terjadi penangkapan mahasiswa
hanya karena baca buku saya. Itu kekuasaan Orde Baru adalah kekuasaan fasis,
yaitu membuat orang menjadi takut supaya manut. (Pramoedya Ananta Toer)
“Waktu Orde Baru, tidak ada yang menghendaki
perbaikan. Semua tiarap membenarkan Soeharto. Termasuk kaum intelektual dengan
gelar berlapis-lapis juga membenarkan Harto. Ini mahasiswa menentang. Itukan
sudah hebat itu. Itu saja, sudah hebat.” (Pramoedya Ananta Toer)
"Sekali Tuan menggauli bangsa Tuan
sendiri, Tuan akan menemukan sumber tulisan yang takkan kering-keringnya,
sumber tulisan abadi. Kan dalam salah satu tulisannya pada salah seorang
sahabatnya, Kartini pernah mengatakan: mengarang adalah bekerja untuk
keabadian? Kalau sumbernya abadi, bisa jadi karangan itu menjadi abadi
juga." (Pramoedya Ananta Toer, ASB, h. 161-162)
"Dalam kepalaku terbayang para raja dan
bupati Pribumi yang gila kebesaran. Orang-orang harus membungkuk dan merangkak
di hadapan mereka, menyembah dan dan diperintah untuk menyenangkan hati mereka.
Dan mereka belum tentu lebih terpelajar daripada orang yang
diperintahnya." (Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa, h. 403)
"Orang rakus harta-benda selamanya tak
pernah membaca cerita, orang tak berperadaban. Dia tak pernah perhatikan nasib
orang. Apalagi orang yang hanya dalam cerita tertulis." (Pramoedya Ananta
Toer, Anak Semua Bangsa, h. 512)
"Semua yang terjadi di bawah kolong
langit adalah urusan setiap orang yang berpikir." (Pramoedya Ananta Toer,
Anak Semua Bangsa, h. 522)
"Kalau kemanusiaan tersinggung, semua
orang yang berperasaan dan berpikiran waras ikut tersinggung, kecuali orang
gila dan orang yang memang berjiwa kriminil, biar pun dia sarjana."
(Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa, h. 522)
"Menulis bukan hanya untuk memburu
kepuasan pribadi. Menulis harus juga mengisi hidup." (Pramoedya Ananta
Toer, Anak Semua Bangsa, h. 280)
"Aku bangga menjadi seorang liberal,
liberal konsekwen. Memang orang lain menamainya liberal keterlaluan. Bukan
hanya tidak suka ditindas, tidak suka menindas, lebih dari itu: tidak suka
adanya penindasan." (Pramoedya Ananta Toer, Anak Semua Bangsa, h. 407-408)
"Anak-anak pembesar Pangreh Praja tak
suka jadi dokter, pada pekerjaan mengabdi kemanusiaan. Mereka lebih memilih
pekerjaan memerintah, menguasai, menjilat dan terutama dijilat."
(Pramoedya Ananta Toer, Jejak Langkah, h. 68)
"Setiap orang dilahirkan sama, kata
Rousseau, kan? Bapak Revolusi Prancis itu? Soalnya memang: bagaimana memimpin
dan dipimpin, membawa dan dibawa diri. Nah, kau mengakui setiap orang sama.
Mengapa kau gunakan juga gelarmu? Raden Mas?" (Pramoedya Ananta Toer,
Jejak Langkah, h. 71)
"...apa telah kau berikan pada kehidupan
ini, hei kau manusia terpelajar? ...golongan orang terpelajar, golongan
beruntung yang mendapat lebih banyak ilmu dan pengetahuan daripada sebangsa
selebihnya. Bagi orang intelligen, orang cerdas--bukan hanya berilmu dan
berpengetahuan--tak mungkin terlepas perhatiannya dari masalah-masalah
kehidupan, apalagi kehidupan yang vital, memikirkannya, memecahkannya, dan
menyumbangkan pikirannya." (Pramoedya Ananta Toer, Jejak Langkah, h. 182)
"Dunia modern akan sedemikian memperinci
kehidupan, percabangan dan perantingan ilmu dan kehidupan akan membikin seorang
akan jadi asing satu dari yang lain. Orang bertemu hanya karena urusan, atau
hanya karena kebetulan." (Pramoedya Ananta Toer, Jejak Langkah, h. 190)
"Setidak-tidaknya semua percuma kalau
toh harus diperintah oleh Angkatan Tua yang bodoh dan korup tapi berkuasa, dan
harus ikut serta jadi bodoh dan korup demi mempertahankan kekuasaan. Percuma.
Sepandai-pandai ahli yang berada dalam kekuasaan yang bodoh ikut juga jadi
bodoh." (Pram, Anak Semua Bangsa, h. 88)
"Sekali Tuan menggauli bangsa Tuan
sendiri, Tuan akan menemukan sumber tulisan yang takkan kering-keringnya,
sumber tulisan abadi. Kan dalam salah satu tulisannya pada salah seorang
sahabatnya, Kartini pernah mengatakan: mengarang adalah bekerja untuk
keabadian? Kalau sumbernya abadi, bisa jadi karangan itu menjadi abadi
juga." (Pram, Anak Semua Bangsa, h.
161-162)
"Dan untuk kesekian kalinya terpikir
olehku: lulus HBS ternyata hanya makin membikin orang tahu tentang
ketidaktahuan sendiri. Maka kau harus belajar berendahhati, Minke! Kau, lulusan
HBS! Sekolahmu itu belum lagi apa-apa." (Pram, Anak Semua Bangsa, h. 163)
"Sekarang, kalau ada seorang Pribumi
bicara Jawa kromo padamu, Tuan Minke, apa kau akan anjurkan ngoko? Ha, kau
tidak bisa menjawab. Kau belum mampu melepaskan keenakan-keenakan yang kau
dapatkan dari leluhurmu sebagai penguasa atas Pribumi bangsamu sendiri. Kau
curang! Mata semboyan Kebebasan, Persamaan, dan Persaudaraan Revolusi Prancis
itu kau pungkiri, demi keenakan warisan itu. Kau baru dihayati oleh mata
semboyan Kebebasan, itu pun kebebasan untuk dirimu sendiri semata. Kau tidak
malu pada dirimu sendiri mengaku pengagum Revolusi Prancis." (Pram, Anak
Semua Bangsa, h. 276)
"Tulisan Tuan berseru-seru pada
perikemanusiaan, menolak kebiadaban, kecurangan, fitnah, dan kelemahan... Tuan
betul-betul anak revolusi Prancis." (Pram, Anak Semua Bangsa, h. 263)
"...jawaban dari parasiswa paling-paling
akan jadi bahan pelengkap. Apa bisa diharapkan dari mereka yang hanya
bercita-cita jadi pejabat negeri, sebagai apa pun, yang hidupnya hanya
penantian datangnya gaji?" (Pramoedya Ananta Toer, Jejak Langkah, h. 213)
"Bukan golongan kuat saja punya
kekuatan, juga golongan lemah, asal berorganisasi. Dan hanya dengan organisasi,
golongan lemah bisa menunjukkan kekuatan diri sebenarnya." (Pramoedya
Ananta Toer, Jejak Langkah, h. 396)
"Ada gerak dari minus ke plus pada umat
manusia, dan itu dinamai gerak juang." (Pram, Jejak Langkah, h. 409)
"Semua yang berarti dalam usaha manusia
bukan hanya berasal, juga dipimpin oleh impian, khayal. Apa kau kira otomobil
dan lokomotif berasal dari kenyataan yang sudah tersedia? Tidak. Juga dari
impian, dari khayal." (Pram, Jejak Langkah, h. 440)
"Siapa golongan terpelajar dan maju itu
sesungguhnya? Bukan kaum priyayi. Di Hindia ini, begitu seorang terpelajar
mendapat jabatan dalam dinas Gubermen, dia berhenti sebagai terpelajar. Kontan
dia ditelan oleh mentalis umum priyayi: beku, rakus, gila hormat, dan korup.
Yang harus dipersatukan memang bukan kaum priyayi, mungkin justru orang-orang
yang samasekali tidak punya jabatan negeri." (Pram, Jejak Langkah, h.
464-465)
"Mereka yang tidak punya jabatan negeri,
boleh kita masukkan dalam golongan 'kaum bebas', bukan hamba Gubermen, pikiran
dan kegiatannya tidak dipagari oleh pengabdian pada Gubermen." (Pram,
Jejak Langkah, h. 465)
"Memang semakin jauh orang dari jabatan
negeri, semakin bebas jiwanya, semakin bebas sepak-terjangnya, karena
pikirannya lebih lincah, bisa produktif dan bisa kreatif, mempunyai lebih
banyak inisiatif, tidak dibatasi dan dibayangi-bayangi ketakutan akan dipecat
dari jabatannya." (Pram, Jejak Langkah, h. 465)
"Hanya golongan terpelajar dan termaju
yang bisa memimpin, di luar itu orang harus dipimpin." (Pram, Jejak
Langkah, h. 466)
"Sebelum manusia mengenal politik
sebagaimana bentuknya sekarang ini, agama itu ya politik sekaligus."
(Pram, Jejak Langkah, h. 467)
"Telah aku sediakan diri jadi
organisator. Jadi dalang dengan cerita pembangunan landasan organisasi
bangsa-ganda untuk jadi bangsa tunggal. Dalam bayangan telah dapat kureka-reka
apa saja bakal terjadi, kuhadapi, kukerjakan, kuatur, dan kuselesaikan."
(Minke/ Pram, Jejak Langkah, h. 547)
"Dalam organisasi, orang bukan melulu
bisa mendamaikan pertentangan dan menarik suatu kompromi, juga bertindak kalau
perlu demi memenangkan azas, dan tidak boleh takut kehilangan anggota,
kehilangan saudara, bahkan kehilangan satu-dua cabang sekalipun!" (Pram,
Jejak Langkah, h. 550)
"Di mana-mana aku harus tolak
persembahan gelar, jongkok, dan sembah. Kita menuju ke arah masyarakat, di mana
setiap manusia sama harganya." (Pram, Jejak Langkah, h. 575)
"Bukan darah, bukan keturunan, yang
menentukan sukses-tidaknya seseorang dalam hidupnya, tetapi: pendidikan
lingkungan dan keuletan. Bahwa sukses bukan hadiah cuma-cuma dari para dewa,
dia hanya akibat kerja keras dan belajar. Pandangan salah tentang keturunan dan
darah begitu mengakar dalam literatur dan kehidupan Jawa." (Pram, Jejak
Langkah, h. 576)
"Dengan sabar dan hati-hati terpaksa aku
terangkan, jaman modern ini tidak mengagumi orang kebal. Kita menjurus pada
kehidupan demokrasi modern, setiap orang sama dengan yang selebihnya. Tidak ada
yang luarbiasa, tidak ada yang lebih dekat pada atau menjadi kekasih para dewa
atau Tuhan." (Pram, Jejak Langkah, h. 578)
"Umat manusia memerlukan kemakmuran
untuk memuliakan diri sebagai manusia dan sesuai dengan kodratnya. Di situ
pentingnya terpelajar Pribumi." (Pram, Jejak Langkah, h. 42)
"Yang ada di sekelilingnya adalah
penderitaan karena kebodohan, ketidaktahuan; di atasnya: kepandaian, ilmu
pengetahuan, kekuasaan berlebih-lebihan, yang justru membikin dan
mempertahankan penderitaan." (Pram, Jejak Langkah, h. 146)
"Aku seorang yang bercita-cita jadi
manusia bebas." (Pram, Jejak Langkah, h. 155)
"Dan aku pun mulai menyusun jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan Van Heutsz. Jawaban dari parasiswa paling-paling akan
jadi bahan pelengkap. Lagipula, baru besok bahan-bahan itu bisa terkumpul. Apa
bisa diharapkan dari mereka yang hanya bercita-cita jadi pejabat negeri,
sebagai apa pun, yang hidupnya hanya penantian datangnya gaji." (Pram,
Jejak Langkah, h. 213)
"Apa pun pakaian yang dikenakan,
bukankah dia tetap telanjang bulat di dalamnya?" (Pram, Jejak Langkah, h.
536)
"Tetapi para petani itu adalah
saudara-saudara kita sendiri, sebangsa kita sendiri, yang hendak diperas tanah
dan duitnya secara gegabah oleh perusahaan-perusahaan raksasa Eropa, Arab, dan
Cina. Kalau Tuan-tuan membenarkan pemerasan itu, Tuan-tuan membenarkan
kejahatan, apa itu dibenarkan dalam Islam? Kan kita akan malu sebagai Muslim
membiarkan yang demikian terjadi?" (Pram, Jejak Langkah, h. 626)
PERCAKAPAN
PRAM
"Tuan bermaksud menjadi apa setelah
kegagalan ini?"
"Hanya jadi manusia bebas, Tuan. Pemecatan ini hanya aku anggap sebagai karunia."
"Jadi manusia bebas lebih cocok bagiku
daripada dokter Gubermen, Tuan-tuan. Kita akan bertemu di masyarakat besar
nanti." (Pram, Jejak Langkah, h. 234-235)
Kata Bijak
"Justru persyaratan modern itu yang membikin
seseorang atau sesuatu bangsa dapat dikatakan modern, pada mulanya persyaratan
itu adalah ilmu dan pengetahuan modern, kemudian organisasi modern, kemudian
peralatan modern." (Pram, Jejak Langkah, h. 257)
"Orang-orang di sekelilingku ini tidak
pernah mengenal apa yang aku kenal. Duduk di bangku sekolah pun mungkin tak
pernah. Mereka tak tahu apa-apa kecuali mencari rejeki dan membiakkan diri. Oh,
makhluk-makhluk dalam peternakan! Bahkan mereka tak tahu kehidupannya begitu
rendah. Kekuatan raksasa di luar sana, yang tumbuh dan berkembang makin lama
makin menelan apa saja, tanpa kenyang-kenyangnya, mereka tak tahu. Tahu pun tak
akan ambil peduli." (Pram, Jejak Langkah, h. 266)
"Perjuangan zaman modern membutuhkan
cara-cara yang modern pula: berorganisasi." (Pram, Jejak Langkah, h. 255)
"Ah, peduli amat keturunan siapa
seseorang. Yang jadi ukuran tetap perbuatannya sebagai pribadi pada
sesamanya." (Pram, Jejak Langkah, h. 289)
"Kekuasaan mempunyai jantung dan
wajahnya sendiri. Dia hanya moral berlapis-lapis menurut kebutuhan."
(Pangemanann dalam Pram, Jejak Langkah, h. 716)
"Rampas segala yang menjadi hakmu."
(Pram, Jejak Langkah, h. 717)
"Deposuit potentes de sede et exaltavat
humiles; Dia rendahkan mereka yang berkuasa dan naikkan mereka yang terhina."
(Pram, Rumah Kaca, h. 646)
"Ada kekuatan-kekuatan dahsyat tak
terduga yang bisa timbul pada samudera, pada gunung berapi, dan pada pribadi
yang tahu benar akan tujuan hidupnya." (Pram, Rumah Kaca, h. 548)
"Semua berpautan dengan politik! Semua
berjalan dengan organisasi. Apakah Tuan-tuan kira petani yang buta huruf yang
hanya dapat mencangkul itu tidak mencampuri politik? Begitu ia menyerahkan
sebagian penghasilannya yang kecil itu kepada pemerintahan desa sebagai pajak,
dia sudah berpolitik, karena dia membenarkan dan mengakui kekuasaan
Gubermen. Sejak jaman nabi sampai kini, tak ada manusia yang bisa terbebas dari
kekuasaan sesamanya, kecuali mereka yang tersisihkan karena gila. Selama ada yang diperintah dan memerintah,
dikuasai dan menguasai, orang berpolitik." (Pram, Rumah Kaca, 562-563)
“Apa artinya partai politik? Sebuah
organisasi yang didirikan dengan tujuan menghimpun kekuatan.” (Pram, Rumah
Kaca, 217)
"Kalau ahli hukum itu hanya tahu uang,
tentunya tak perlu lagi ada hukum yang harus mereka pertahankan dan mereka
bela... Apakah arti semua itu dibandingkan dengan seluruh umat manusia yang
bergulat untuk menemukan hukumnya? Berapakah yang bisa disumbangkan oleh
seorang individu sebagai ahli hukum pada perbendaharaan hukum umat manusia? Kalau
ahli hukum tak merasa tersinggung karena pelanggaran hukum sebaiknya dia jadi
tukang sapu jalanan." (Pram, Rumah Kaca, h. 584)
"Kita semua harus menerima kenyataan,
tapi menerima kenyataan saja adalah pekerjaan manusia yang tak mampu lagi
berkembang, karena manusia juga bisa membikin kenyataan-kenyataan baru. Kalau
tak ada orang mau membikin kenyataan-kenyataan baru, maka kemajuan sebagai kata
dan makna sepatutnya dihapuskan dari kamus umat manusia." (Pram, Rumah
Kaca, h. 584-585)
"Bagaimana pun masih baik dan masih
beruntung pemimpin yang dilupakan oleh pengikut daripada seorang penipu yang
jadi pemimpin yang berhasil mendapat banyak pengikut." (Pram, Rumah Kaca,
h. 594)
"Betapa bedanya bangsa-bangsa Hindia ini
dari bangsa Eropa, terutama Prancis. Di Prancis, setiap orang yang memberikan
sesuatu yang baru pada umat manusia dengan sendirinya mendapat tempat yang
selayaknya di dunia dan di dalam sejarahnya. Di Hindia, pada bangsa-bangsa
Hindia, nampaknya setiap orang takut tak mendapat tempat dan berebutan untuk
menguasainya." (Pramoedya Ananta Toer, Rumah Kaca, h. 602)
"Apa artinya partai politik? Sebuah
organisasi didirikan dengan tujuan menghimpun kekuatan." (Pram, Rumah
Kaca, h. 217)
"Jangan jadi kuli mereka, katanya
seperti mengulangi kata-kata bapakku mendiang. Jangan bikin mereka jadi lebih
kaya dan lebih berkuasa karena keringatmu. Rebut ilmu dan pengetahuan dari
mereka sampai kau sama pandai dengan mereka. Pergunakan ilmumu itu kemudian
untuk menuntun bangsamu keluar dari kegelapan yang tiada habis-habisnya
ini." (Pram, Rumah Kaca, h.340)
"Dalam setiap sektor kerja produksi dan
jasa, tenaga manusialah yang terpenting, bukan mesin, bukan pula uang, maka
tenaga manusia harus diganti dengan upah yang layak." (Pram, Rumah Kaca,
h. 468)
Orang boleh pandai setinggi langit, tapi
selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari
sejarah." (Pram, Rumah Kaca, h. 473)
"Menulis adalah bekerja untuk
keabadian." (R.A. Kartini dalam Pram, Rumah Kaca, h. 473)
"Nama-nama yang dikenal di depan umum
masih dianggap kurang berbobot bila belum dikenal di kertas." (Pram, Rumah
Kaca, h. 473)
"Aku dapat bayangkan waktu kau belajar,
membukai lembaran-lembaran buku dengan kepercayaan semua yang kau pindahkan
dari buku-buku itu ke dalam dirimu untuk menjadi kekuatanmu dalam menyeberangi
padang kehidupan ini." (Pram, Rumah Kaca, h. 536)
"Penerobosan kegelapan adalah tugas
setiap terpelajar untuk menyambut masa depan yang cerah, dan sekolahan tidak
mengajarkan itu." (Pram, Rumah Kaca, h. 313)
"Aku lebih mengenal lagi tata-susun
kekuasaan kolonial. Kekuasaan ini didukung oleh sekelompok kecil manusia
kolonial putih yang pada gilirannya didukung oleh manusia kolonial coklat dalam
kelompok yang berganda lebih besar. Dari atas ke bawah yang ada adalah larangan,
penindasan, perintah, semprotan, hinaan. Dari bawah ke atas yang ada adalah
penjilatan, kepatuhan, dan perhambaan. (Pram, Rumah Kaca, h. 323)
"Perjuangan tidak bisa berjalan tanpa
organisasi-organisasi yang berani, cerdas, dan berwatak." (Pram, Rumah
Kaca, h. 233)
"Orang menjadi besar karena tindakannya
besar, pikirannya besar, jiwanya besar." (Pram, Rumah Kaca, h. 313)
"Agama adalah juga politik." (Pram,
Rumah Kaca, h. 325)
"Di negeri dengan penduduknya yang
kekanak-kanakan dengan penguasanya yang pongah dan manja itu, hasil sosial yang
paling sah hanya penindasan." (Pram, Rumah Kaca, h. 519)
“Bagaimanapun jeleknya demokrasi sebagai
sistem, toh lebih baik daripada yang ada. Sebab, manusia punya hak untuk
bicara.” (Pramoedya Ananta Toer)
"Keinginan menjadi pegawai negeri adalah
salah satu faktor kenapa korupsi mustahil diberantas. Di birokrasi itulah
korupsi itu merajalela. Orang suci pun bisa jadi korup di sana. Dan, pegawai
negeri sudah bertumpuk-tumpukkan. Pendidikan yang membentuk itu semua." (Pramoedya
Ananta Toer)
"Banyak orang jadi dokter atau meester,
hanya karena orang tuanya mampu membiayai, atau dia diongkosi oleh orang lain.
Itu tak mengagumkan. Hanya orang yang kuasa mengangkat dirinya sendiri jadi
dokter, atau meester, atau insinyur, dengan tenaga dan kekuatannya sendiri
itulah yang patut mendapat pujian." (Pramoedya Ananta Toer, Keluarga
Gerilya, Jakarta: PT. Pembangunan, 1955, h. 190-191).
"Titel akademi itu bukan tujuan manusia.
Hanya alat belaka. Tak ubahnya dengan pisau, mobil, atau pacul—alat untuk
memudahkan orang dalam mencapai cita-citanya." (Pramoedya Ananta Toer,
Keluarga Gerilya, h. 191).
"Menjadi pegawai negeri kolonial
menghilangkan kemerdekaan diri dan kebebasan berpikir." (TirtoAdhiSoerjo dalam Prameodya Ananta
Toer, Sang Pemula, Jakarta: Hasta
Mitra, 1985, h.185)
"Selama di tanah Jawa masih belum
ada handelsstand (golongan pedagang,
golongan menengah, kaum mardika), yang diindahkan oleh bupatinya, maka nafsu
Pribumi untuk bekerja dengan membuang-buang tenaga bertahun-tahun hanya demi
pangkat dengan gaji kecil itu tidak akan lenyap. Inilah fatsal pertama yang jadi
sebab kemunduran tanah Jawa." (Tirto Adhi Soerjo
dalam Prameodya Ananta Toer, SangPemula,
Jakarta: Hasta Mitra, 1985, h.203).
"Lukisan adalah sastra dalam
warna-warni. Sastra adalah lukisan dalam bahasa." (Pramoedya Ananta Toer,
Bumi Manusia, 1985: 313)
"Semuanya harus dituliskan.
Apapun...." (PramoedyaAnantaToer)
“Aku mengangkat sembah sebagaimana biasa aku
lihat dilakukan punggawa terhadap kakekku dan nenekku dan orangtuaku waktu
lebaran. Dan yang sekarang tak juga kuturunkan sebelum Bupati itu duduk enak di
tempatnya. Dalam mengangkat sembah serasa hilang seluruh ilmu dan pengetahuan
yang kupelajari tahun demi tahun belakangan ini. Hilang indahnya dunia
sebagaimana dijanjikan oleh kemajuan ilmu. Hilang athusiasme para guruku dalam
menyambut hari esok yang cerah bagi ummat manusia. Dan entah berapa kali lagi
aku harus mengangkat sembah nanti. Sembah, pengagungan pada leluhur dan
pembesar melalui perendahan dan penghinaan diri! Sampai sedatar tanah kalau
mungkin! Uh, anak-cucuku tak kurelakan menjalani kehinaan ini.” ― Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia
“Seorang politikus tidak mengenal Multatuli,
praktis tidak mengenal humanisme (humanitas) secara modern. Dan politikus tidak
mengenal Multatuli, bisa menjadi politikus kejam. Pertama, dia tidak kenal
sejarah Indonesia. Dua, tidak mengenal humanisme secara modern, dan bisa
menjadi kejam. Saya yakin, para politikus sekarang tidak membaca apa-apa.”
(Pramoedya Ananta Toer)
“Priyayi adalah anak perkawinan politik
kolonialisme dengan feodalisme. Ini melahirkan kelas priyayi.” (Pramoedya
Ananta Toer)
“Saya lebih memikirkan nasib individu sebagai
manusia. Dan saya alami penindasan, perampasan, penghinaan, yang tidak patut
dialami oleh warga negara Indonesia merdeka. Saya rasai penindasan-penindasan
itu. Dan saya rasai orang lain yang mengalami seperti saya. Lebih mengalami
lagi. Lebih merasakan. Maka itu, lain daripada dulu. Dulu, masih muda sekali,
umur dua puluhan saya menulis. Dan tidak sehebat sekarang yang saya alami. Saya
merasa sampai titik dasar kehinaan. Di dalam republik Indonesia Orde Baru.”
(Pramoedya Ananta Toer)
“Semua kemajuan di Indonesia itu dimotori
oleh angkatan muda dan mahasiswa. Ya, saya terangkan latar belakang sejarahnya
dulu: mula-mula para mahasiswa di negeri Belanda, tahun belasan, yang menemukan
tanah air dan nasionnya dan dinamai Indonesia, tahun belasan di negeri Belanda,
dan itu pengaruhnya ke indonesia, terjadi gerakan-gerakan. (Pramoedya Ananta
Toer)
"Kasta bangsawan-priyayi
merupakan golongan atas masyarakat yang konsumtif, tidak produktif, dan lebih
lagi: tidak kreatif. Hampir tanpa kekecualian. Ia kenal watak dan impian kasta
ini: pangkat dan kehormatan yang diinderai: bintang, payung, selempang, pita,
gelar. Dan gelar tertinggi yang diimpikan adalah: Pangeran, Arya, Adipati,
Tumenggung." (Prameodya Ananta Toer, SangPemula,
Jakarta: Hasta Mitra, 1985, h. 14. Maksud Pram adalah tentang sikap Tirto Adhi
Soerjo yang keluar dari keluarga ningrat-priyayinya serta menolak untuk menjadi
ambtenar)
"Komunisme itu
ada dua macam: sebagai ideologi perorangan dan sebagai sistem politik."
(Pramoedya Ananta Toer)
"Saya
mengharapkan, apa yang dibaca dari tulisan saya, itu memberikan kekuatan pada
pembaca saya untuk tetap berpihak pada yang benar, pada yang adil, pada yang
indah." (Pramoedya Ananta Toer)
"Lukisan adalah
sastra dalam warna-warni. Sastra adalah lukisan dalam bahasa." (Pramoedya
Ananta Toer, BumiManusia, 1985: 313)
"Semua harus ditulis. Apa pun.
Jangan takut tidak dibaca atau tidak diterima penerbit. Yang penting tulis,
tulis, dan tulis. Suatu saat pasti berguna." --Pramoedya Ananta Toer
"Orang boleh pandai setinggi langit,
namun selama tak menulis, ia akan hilang dari masyarakat dan arus pusaran
sejarah." -Pramoedya Ananta Toer
"Keberanian itu sama seperti
otot manusia. Kalau tidak dilatih, dia akan menjadi lemah. Dalam hidup ini, kita
banyak menghadapi tantangan. Latihan pertama adalah jangan lari. Hadapi
semuanya. Itu cara untuk melatih keberanian." (Pramoedya)
"Sastra menjadi kekuatan
bagi mereka yang sama sekali tidak mempunyai kebebasan dan kekuasaan. Maka,
dengan mengaranglah Kartini bisa menunjukkan kekuatannya." (Pramoedya
Ananta Toer)
"Lihat, biar kau kaya
bagaimana pun, kau harus bertindak terhadap siapa saja yang mengambil seluruh
atau sebagian dari milikmu, sekali pun hanya segumpil batu yang tergeletak di
bawah jendela. Bukan karena batu itu sangat berharga bagimu. Azasnya: mengambil
milik tanpa ijin: pencurian; itu tidak benar, harus dilawan. Apalagi pencurian
terhadap kebebasan kita. Barang siapa tidak tahu bersedia pada asas, dia
terbuka terhadap segala kejahatan: dijahati atau menjahati." (PAT, ASB, h.
4-5)
Episode Anak Semua Bangsa adalah
semacam titik balik perjalanan Minke menelusuri kehidupan masyarakatnya dari
titiknya yang paling dekat yang dengan perjalanan itu semangat itu pun
terkukuhkan: "Dan bukan hanya Eropa! Jaman modern ini telah menyampaikan
padaku buah dada untuk menyusui aku, dari Pribumi sendiri, dari Jepang,
Tiongkok, Amerika, India, Arab, dari semua bangsa di muka bumi ini."
"Semua percuma kalau toh
harus diperintah oleh Angkatan Tua yang bodoh dan korup tapi berkuasa, dan
harus ikut jadi bodoh dan korup demi mempertahankan kekuasaan. Sepandai-pandai
ahli yang berada dalam kekuasaan yang bodoh ikut juga jadi bodoh."
(Pramoedya Ananta Toer, dalam Anak Semua Bangsa, h. 87-88)
"Kau, Nak, paling sedikit
harus bisa berteriak. Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun?
Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai
jauh, jauh di kemudian hari." (Mama pada Minke /Pramoedya Ananta Toer,
dalam Anak Semua Bangsa, h. 112)
"Jangan agungkan Eropa
sebagai keseluruhan. Di mana pun ada yang mulia dan jahat. Dan satu yang tetap,
Nak, abadi: yang kolonial, dia selalu iblis." (Pramoedya Ananta Toer,
dalam Anak Semua Bangsa, h. 110)
"Tidak lain dari Mama yang
mengatakan: nama berganti seribu kali dalam sehari, makna tetap. Dan birokrat
dan ningrat Jawa, bangsaku, suka memilih nama indah-indah sebagai hiasan. Juga
untuk mengesani, mempengaruhi diri sendiri serta umum selingkungannya, dengan
keindahannya. Shakespear dramawan Inggris itu tak pernah mengenal birokrat dan
ningrat Jawa yang suka berindah-indah dengan nama, malahan suka mengukuhkan
jabatan pada namanya pula. Jurutulis sebuah kantor suka menggunakan nama
Sastra, maka Sastradiwirya akan berarti Jurutulis yang baik dan tegas. Priyayi
pengairan suka mengukuhkan diri dengan nama Tirta, maka Tirtanata akan berarti
Pejabat yang mengatur pengairan." (Minke/Pramoedya Ananta Toer, dalam Anak
Semua Bangsa, h. 26)
"Kalau hati dan pikiran
manusia sudah tak mampu mencapai lagi, bukankah hanya pada Tuhan juga orang
berseru?" (Pramoedya Ananta Toer, dalam Anak Semua Bangsa, h. 43)
"Aku sendiri telah kembali
pada kegiatan semula: membacai koran, majalah tertentu, buku dan surat-surat,
menulis catatan dan karangan. Dan: membantu Mama di kantor dan di lapangan.
Semua bacaan itu mengajarkan padaku tentang pribadi di tengah-tengah
lingkunganku, dunia besar, dan perederan waktu yang ogah belot." (Minke/
Pramoedya Ananta Toer, dalam Anak Semua Bangsa, h. 55)
"Betapa aneh kalau setiap
kemuliaan dilahirkan di atas kesengsaraan yang lain." (Pramoedya Ananta
Toer, dalam Anak Semua Bangsa, h. 57)
"Tak ada guna menyewa tenaga
Eropa kalau Pribumi bisa melakukan." (Pramoedya Ananta Toer, dalam Anak
Semua Bangsa, h. 58)
"Mendapat upah karena
menyenangkan orang lain yang tidak punya persangkutan dengan hati sendiri, kan
itu di dalam seni namanya pelacuran? Kau masih lebih beruntung dapat tumpahkan
isi hati dalam tulisan. Aku tidak." (Jean Marais pada Minke/ Pramoedya
Ananta Toer, dalam Anak Semua Bangsa, h. 78)
"Kau Pribumi terpelajar!
Kalau mereka itu, Pribumi itu, tidak terpelajar, kau harus bikin mereka jadi
terpelajar. Kau harus bicara pada mereka, dengan bahasa yang mereka tahu."
(Pramoedya Ananta Toer, dalam Anak Semua Bangsa, h. 72)
"Dengan rendah hati aku
mengakui: aku adalah bayi semua bangsa dari segala jaman, yang telah lewat dan
yang sekarang. Tempat dan waktu kelahiran, orangtua, memang hanya satu kebetulan,
sama sekali bukan sesuatu yang keramat." (Pramoedya Ananta Toer, dalam
Anak Semua Bangsa)
"Yang kolonial selalu iblis.
Tak ada yang kolonial pernah mengindahkan kepentingan bangsamu."
(Pramoedya Ananta Toer, dalam Anak Semua Bangsa, h. 127)
Itulah Hindia, koran-koran tak berani
memberitakan kebenaran,takut digulung atau diberangus, sedang para priyayi rakus
sekaligus beku dalam jabatannya, seprti katamu sendiri, pembesar hanya tahu
menghukum. Kehidupan dikuasai sassus. Setiap orang boleh jadi korbannya tanpa
bisa membela diri. Hentikan itu, Nak. Bikin Harianmu jadi satu-satunya di
Hindia, melulu bekerja untuk kebenaran, untuk keadilan, untuk semua
sebangsamu.” (Pramoedya Ananta Toer, Jejak Langkah, h. 363)
“Janganlah Harian Tuan yang sudah baik itu
dipergunakan untuk melampiaskan ambisi-ambisi pribadi. Harian Tuan dan Tuan
sendiri sudah jadi milik bangsa Tuan.” (Pramoedya Ananta Toer, Jejak Langkah,
h. 370)
"Keberanian itu bukan anugerah, tapi hasil latihan hidup sehari-hari. Keberanian itu sama seperti otot manusia. Kalau tidak dilatih, dia akan jadi lemah. Latihan pertama adalah: jangan lari. Hadapi semuanya. Itu cara untuk melatih keberanian." --Pramoedya Ananta Toer
PRAMOEDYA ANANTA TOER (KHUSUS TENTANG PENTINGNYA MENULIS)
"Saya belajar dari Maxim Gorky yang betul-betul saya kagumi. Gorky kalau menulis bagai memegang tiang rumah, kemudian mengguncangkannya sehingga semuanya berubah." (Pramoedya Ananta Toer)
"Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari." ((Pramoedya Ananta Toer, dalam novel Anak Semua Bangsa)
“Semua harus ditulis. Apa pun. Jangan takut tidak dibaca atau tidak diterima penerbit. Yang penting, tulis, tulis, dan tulis! Suatu saat pasti berguna." (Pramoedya Ananta Toer)
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.” (Kutipan paling legendaris yang terdapat dalam novel Rumah Kaca. Kutipan tersebut secara jelas menyebut bahwa betapa pentingnya menulis. Kepandaian terbaik pun akan kurang lengkap jika seseorang tidak menulis. Dengan menulis, kita membuat sejarah. Dengan menulis, kita menggoresakan tinta ke dalam sejarah kehidupan banyak orang).
“Sebagai pengarang saya masih lebih percaya kepada kekuatan kata daripada kekuatan peluru yang gaungnya hanya akan berlangsung sekian bagian dari menit, bahkan detik.” (Pramoedya Ananta Toer)
"Seorang penulis itu berdiri sendirian, menghadapi ribuan pendapat yang berbeda".(Pramoedya Ananta Toer)
"Lukisan adalah sastra dalam warna-warni. Sastra adalah lukisan dalam bahasa." (Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia, 1985: 313)
"Saya mengharapkan, apa yang dibaca dari tulisan saya, itu memberikan kekuatan pada pembaca saya untuk tetap berpihak pada yang benar, pada yang adil, pada yang indah." (Pramoedya Ananta Toer)
"Sastra menjadi kekuatan bagi mereka yang sama sekali tidak mempunyai kebebasan dan kekuasaan. Maka, dengan mengaranglah Kartini bisa menunjukkan kekuatannya." (Pramoedya Ananta Toer)
“Semua harus ditulis. Apa pun. Jangan takut tidak dibaca atau tidak diterima penerbit. Yang penting, tulis, tulis, dan tulis! --Pramoedya Ananta Toer
Betapa sederhana hidup ini sesungguhnya yang pelik cuma liku dan tafsirannya. (Pramoedya Ananta Toer)
"Kau terpelajar, cobalah bersetia pada kata hati." Pram
"Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan." Pramoedya Ananta Toer
"Setiap ketidakadilan harus dilawan, walaupun hanya dalam hati. (Pramoedya Ananta Toer)
"Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya." Pram, Bumi Manusia, h. 535
"Dengan melawan, kita takkan sepenuhnya kalah." Pram, Bumi Manusia
“Aku mengangkat sembah sebagaimana biasa aku lihat dilakukan punggawa terhadap kakekku dan nenekku dan orangtuaku waktu lebaran. Dan yang sekarang tak juga kuturunkan sebelum Bupati itu duduk enak di tempatnya. Dalam mengangkat sembah serasa hilang seluruh ilmu dan pengetahuan yang kupelajari tahun demi tahun belakangan ini. Hilang indahnya dunia sebagaimana dijanjikan oleh kemajuan ilmu. Hilang anthusiasme para guruku dalam menyambut hari esok yang cerah bagi ummat manusia. Dan entah berapa kali lagi aku harus mengangkat sembah nanti. Sembah, pengagungan pada leluhur dan pembesar melalui perendahan dan penghinaan diri! Sampai sedatar tanah kalau mungkin! Uh, anak-cucuku tak kurelakan menjalani kehinaan ini.” ― Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia
"Setiap ketidakadilan harus dilawan, walaupun hanya dalam hati. (Pramoedya Ananta Toer)
"Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya." --Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia, h. 535
"Kau terpelajar, cobalah bersetia pada kata hati." --Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia
"Cerita tentang kesenangan selalu tidak menarik. Itu bukan cerita tentang manusia dan kehidupannya. Tapi tentang surga, dan jelas tidak terjadi di atas bumi kita ini." --Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia
"Dengan melawan kita takkan sepenuhnya kalah." --Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia
"Bagaimana bisa manusia hanya ditimbang dari surat-surat resmi belaka, dan tidak dari wujudnya sebagai manusia?" --Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia
"Cinta itu indah, Minke, juga kebinasaan yang mungkin membuntutinya. Orang harus berani menghadapi akibatnya."--Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia
"Keadaan seluruh dunia berubah. Sekarang apa? Negara-negara komunis pun mengakomodasi kapitalisme. Perang Dingin tidak ada lagi. Saya sendiri tetap seperti dulu: menentang ketidakadilan dan penindasan. Bukan sekadar menentang, tetapi melawan! Melawan pelecehan kemanusiaan. Saya tidak berubah." Pramoedya Ananta Toer
Setiap pengalaman yang tidak dinilai baik oleh dirinya sendiri ataupun orang lain akan tinggal menjadi sesobek kertas dari buku hidup yang tidak punya makna. Padahal setiap pengalaman tak lain daripada fondasi kehidupan. Pram, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu
Apa gunanya memaki? Mereka memang anjing. Mereka memang binatang. Dulu bisa mengadu, dulu ada pengadilan. Dulu ada polisi, kalau duit kita dicolong tetangga kita. Apa sekarang? Hakim-hakim, jaksa-jaksa yang sekarang juga nyolong kita punya. Siapa mesti mengadili kalau hakim dan jaksanya sendiri pencuri?" Pram, Larasati,
Kalian pemuda, kalau kalian tidak punya keberanian, sama saja dengan ternak karena fungsi hidupnya hanya beternak diri.
― Pramoedya Ananta Toer,
Kalau kemanusiaan tersinggung, semua orang yang berperasaan dan berfikiran waras ikut tersinggung, kecuali orang gila dan orang yang berjiwa kriminal, biarpun dia sarjana.
Anak Semua Bangsa (1981) ― Pramoedya Ananta Toer,
"Wanita lebih suka mengabdi pada kekinian dan gentar pada ketuaan, mereka dicengkam oleh impian tentang kemudaan yang rapuh itu dan hendak bergayutan abadi pada kemudaan impian itu." Pram
0 komentar:
Posting Komentar