Dalam magnum opusnya, The Theory of Communicative Action (1981), Habermas mengeritik proses modernisasi sepihak, yang dipimpin oleh kekuatan-kekuatan rasionalisasi ekonomi dan administratif. Habermas memandang, intervensi yang semakin meningkat dari sistem formal terhadap kehidupan kita sehari-hari, itu sejalan dengan pertumbuhan negara kesejahteraan, kapitalisme korporat, dan budaya konsumsi massa. Kecenderungan yang semakin kuat ini telah memberi pembenaran bagi perluasan area kehidupan publik, dan menundukkan mereka di bawah logika pukul rata tentang efisiensi dan kontrol. Partai-partai politik, yang diregulerkan, dan kelompok-kelompok kepentingan telah menjadi pengganti dari demokrasi partisipatoris. Masyarakat pun semakin diatur pada tingkatan yang jauh dari masukan warga negara. Akibatnya, batas-batas antara publik dan privat, antara individu dan masyarakat, serta antara sistem dan dunia kehidupan, semakin memudar.
Proyek Habermas tentang ranah publik itu menggunakan berbagai disiplin ilmu, termasuk filsafat, teori sosial, ekonomi, dan sejarah, dan dengan demikian merintis gaya Institut untuk Riset Sosial, dalam menghasilkan teori sosial supradisiplin. Pandangan historis proyek ini lalu menjadi landasan bagi proyek-proyek yang dilakukan Institut tersebut, untuk pengembangan teori kritis era kontemporer.
Aspirasi politik Habermas telah memposisikannya sebagai pengkritik atas kemerosotan demokrasi di masa sekarang, dan imbauan bagi pembaruan demokrasi. Ini adalah tema-tema yang tetap bersifat sentral dalam pemikiran Habermas. Kehidupan publik demokratis hanya berkembang subur, manakala institusi-institusi memungkinkan warga negara, untuk memperdebatkan masalah-masalah yang menjadi kepentingan publik. Habermas menggambarkan jenis ideal dari ‘situasi bicara ideal’ (ideal speech situation), adalah ketika para aktor secara setara dibekali dengan kapasitas wacana, mengakui persamaan sosial dasar antara satu dengan yang lain, dan pembicaraan mereka tidak terdistorsi oleh ideologi atau salah pengenalan (misrecognition).
Habermas optimistis tentang kemungkinan menghidupkan kembali ranah publik. Ia melihat harapan bagi masa depan di era baru komunitas politik, yang melampaui negara-bangsa yang berbasis pada kesamaan etnik dan budaya, menuju ke arah negara yang berdasarkan pada hak-hak setara dan kewajiban warga negara yang melekat secara hukum.
Teori diskursif tentang demokrasi ini mensyaratkan komunitas politik, yang secara kolektif dapat merumuskan kehendak politiknya, dan mengimplementasikan kehendak politik itu menjadi kebijakan di tingkatan sistem legislatif. Sistem politik ini mensyaratkan sebuah ranah publik aktivis, di mana hal-hal yang menjadi kepentingan bersama dan isu-isu politik dapat didiskusikan, dan kekuatan opini publik dapat mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Sejumlah akademisi telah melontarkan berbagai kritik terhadap pernyataan Habermas tentang ranah publik. John B. Thompson, pengajar sosiologi di Universitas Cambridge, menunjukkan bahwa pernyataan Habermas tentang ranah publik itu kini menjadi usang, jika kita melihat penyebaran komunikasi media massa. Sedangkan Michael Schudson dari Universitas California, San Diego, memberi argumen yang lebih umum. Ia menyatakan, ranah publik sebagai tempat perdebatan independen yang murni rasional seperti disebutkan Habermas– adalah tidak pernah ada.
Sejumlah pengeritik menyatakan, Habermas terlalu mengidealisasi ranah publik borjuis di tahap-tahap awal, dengan menjabarkannya sebagai forum diskusi dan debat yang rasional. Padahal, faktanya, kelompok-kelompok tertentu telah disisihkan dari forum tersebut, dan dengan demikian partisipasi juga dibatasi. Habermas sendiri kemudian mengakui bahwa ranah publik yang disebutkannya waktu itu memang lebih sebagai jenis ideal dan bukan ideal normatif yang mau dibangkitkan lagi dari ambang kematian.
Memang, Habermas terkesan agak mengidealisasi ranah publik borjuis sebelumnya. Meskipun konsep ranah publik dan demokrasi mengasumsikan adanya perayaan liberal dan populis tentang keanekaragaman (diversitas), toleransi, perdebatan, dan konsensus, pada kenyataannya ranah publik borjuis didominasi oleh kaum pria, pemilik properti, yang berkulit putih. Ranah publik kelas pekerja, kaum perempuan, dan warga kelas bawah lain, yang berkembang seiring dengan ranah publik borjuis untuk mewakili suara dan kepentingan kelas bawah, disisihkan dari forum ranah publik borjuis tersebut.
Oskar Negt dan Alexander Kluge mengeritik Habermas, karena mengabaikan ranah-ranah publik kaum proletar dan masyarakat kelas bawah. Dalam refleksinya, Habermas menulis bahwa ia sekarang menyadari sejak dari awal, publik borjuis yang dominan berbenturan dengan publik kelas bawah, dan bahwa ia telah meremehkan signifikansi ranah-ranah publik yang non-borjuis dan bersifat oposisional. Maka, daripada membayangkan adanya sebuah ranah publik yang demokratis atau liberal, adalah lebih produktif untuk membuat teori tentang berbagai macam ranah publik, yang kadang-kadang tumpang-tindih namun juga bertentangan. Ini mencakup juga ranah-ranah publik dari kelompok-kelompok yang disisihkan, serta konfigurasi-konfigurasi yang lebih mewakili arus utama (mainstream). Ranah publik itu sendiri bergeser dengan bangkitnya gerakan-gerakan sosial baru, teknologi baru, dan ruang-ruang baru bagi interaksi publik, seperti Internet. Sedangkan Mary Ryan mencatat adanya ironi bahwa bukan saja Habermas telah mengabaikan ranah publik kaum perempuan. Namun, Habermas juga menandai kemerosotan ranah publik persis pada momen ketika kaum perempuan mulai mendapatkan kekuasaan politik dan menjadi aktor.
Vitalitas ranah publik kaum perempuan memang terjadi pada abad ke-19 di Amerika. Terlihat dengan adanya usaha-usaha pengorganisasian oleh Susan B. Anthony, Elizabeth Cary Stanton, dan lain-lain dari tahun 1840-an sampai masuk abad ke-20, dalam suatu perjuangan yang berkelanjutan, demi memperoleh hak-hak memberi suara dalam pemilu dan hak-hak kaum perempuan.
Selain kritik-kritik di atas, juga diragukan, apakah politik demokratis pernah disemangati oleh norma rasionalitas atau opini publik, yang dibentuk lewat konsensus dan perdebatan rasional, sampai ke tahapan ciri-ciri (ideal) konsep Habermas tentang ranah publik borjuis. Politik di sepanjang era modern selalu menjadi permainan kepentingan dan kekuasaan, serta diskusi dan perdebatan.
Mungkin hanya sedikit masyarakat borjuis Barat yang telah mengembangkan ranah publik dalam ciri-ciri ideal yang dinyatakan Habermas. Meskipun patut dihargai, usaha mengkonstruksi model masyarakat yang baik, yang bisa membantu mewujudkan nilai-nilai egalitarian dan demokratis yang disepakati, adalah suatu kekeliruan jika kita berlebih-lebihan mengidealisasi dan menguniversalkan suatu ranah publik spesifik, sebagaimana yang dilakukan Habermas.
Proyek Habermas juga dilemahkan oleh pembedaan atau pembagian kategoris yang terlalu kaku, antara ranah publik liberal klasik dan ranah publik kontemporer; antara sistem dan dunia kehidupan; dan antara produksi dan interaksi. Konsepsi-konsepsi dualistik seperti itu sendiri telah dinafikan oleh revolusi teknologi, di mana media dan teknologi memainkan peran vital di kedua sisi dari pembagian kategoris Habermas, dan dengan demikian merusak pembagian tersebut. Pembedaan-pembedaan itu juga mengesampingkan usaha-usaha untuk mentransformasikan sisi pembedaan Habermas, yang ia anggap sulit diubah atau dipengaruhi, untuk kepentingan demokratis yang harus dilakukan, atau norma-norma tindakan komunikatif.
Dari sudut pandang perumusan teori ranah publik, misalnya, Habermas menyatakan, dari saat pengembangan pembedaan ini, Saya menganggap aparat negara dan ekonomi adalah lahan-lahan tindakan yang terintegrasi secara sistematik, yang tidak bisa lagi ditransformasikan secara demokratis dari dalam, tanpa merusak logika sistem mereka yang ada dan kemampuannya untuk berfungsi.
Douglas Kellner beranggapan, pada masyarakat teknologi-tinggi kontemporer, muncul perumusan ulang dan perluasan ranah publik, yang melampaui konsep Habermas. Ranah publik adalah tempat bagi informasi, diskusi, kontestasi, perjuangan politik, dan organisasi, yang mencakup media siaran dan ruang maya (cyberspace) baru, serta interaksi face-to-face dalam kehidupan sehari-hari. Perkembangan-perkembangan ini, yang terutama berhubungan dengan teknologi multimedia dan komputer, menuntut perumusan ulang dan perluasan konsep ranah publik.
Meski dengan adanya beberapa kekurangan tersebut, analisis Habermas telah berjasa dalam memfokuskan perhatian kita pada hakikat dan transformasi struktural ranah publik, serta fungsi-fungsinya dalam masyarakat kontemporer. Analisis Habermas ini perlu dikembangkan, dengan memperhitungkan revolusi teknologi dan restrukturisasi kapitalisme global, yang terjadi saat ini. Serta, meninjau ulang teori kritis tentang masyarakat dan politik demokratis, dengan melihat perkembangan-perkembangan tersebut di atas.
0 komentar:
Posting Komentar