alt/text gambar

Sabtu, 18 Maret 2017

Topik Pilihan:

Titanic


Senin, 07 Juli 2003


Ketika di bulan April 1912 kapal Titanic pelan-pelan tenggelam di laut dingin di tengah malam, para penumpang kelas satu berusaha berebut tempat di sekoci penyelamat. Sejumlah kelasi mencegah mereka dengan menodongkan senjata, karena menurut aturan anak-anak dan perempuanlah yang harus diberi tempat lebih dulu….

Kurang-lebih itulah yang tampil dalam film James Cameron yang termasyhur itu—sebuah adegan yang mengesankan betapa orang-orang di kelas atas itu adalah mereka yang tak punya rasa belas dan tak bisa mengalah.

Tapi sedikitnya separuh dari Titanic adalah sebuah fiksi. Ada yang mengatakan bahwa kejadian yang sebenarnya dalam bencana Titanic justru sebuah kisah kepahlawanan orang di kelas atas. Dalam daftar malapetaka Titanic ada John Jacob Astor, Benjamin Guggenheim, dan Isidor Straus, orang-orang kaya Amerika terkemuka, sementara yang selamat adalah mereka yang tak berdaya.

Fareed Zakaria, dalam The Future of Freedom, mengutip statistik dari bencana hari itu: di antara penumpang kelas satu, semua anak kecil selamat, dan hanya lima perempuan yang mati—tiga di antaranya bersedia tenggelam bersama suami mereka. Benjamin Guggenheim, misalnya, menolak ikut masuk ke dalam sekoci. Ia memberi tempat kepada seorang perempuan yang kemudian memang selamat. Pesannya yang terakhir: "Katakan kepada istri saya…. Tak ada seorang perempuan pun tertinggal di kapal ini hanya gara-gara Ben Guggenheim seorang pengecut."

Dengan itu, tema pun berubah. Yang tampak ialah bahwa selapis elite bukanlah dengan sendirinya sekelompok orang yang hanya mujur dan mendapat. Pengertian noblesse oblige tak datang dari angan-angan, bahwa siapa saja yang memiliki privilese dan berkuasa justru wajib untuk siap memberikan diri bagi kepentingan umum dan terutama untuk nasib mereka yang lemah. Fareed Zakaria hendak mengemukakan, sebagai bagian dari argumennya, bahwa dewasa ini sikap itu tengah tenggelam. Demokratisasi merambah ke mana-mana tapi justru tak mendatangkan kebebasan.

Demokratisasi perlu. Tapi, dalam pandangan Zakaria, arus ini berbahaya bila tak tersedia satu lapisan masyarakat yang memimpin, yang senantiasa menghargai hak-hak perorangan untuk berpikir merdeka, bersuara merdeka, dan memiliki hukum yang dijalankan secara benar. Contoh buruk adalah Gujarat. Di negara bagian India itu, demokrasi berjalan, para pemimpin dipilih oleh rakyat banyak. Tapi demokrasi ini menghalalkan penindasan dan pembunuhan minoritas muslim oleh mayoritas Hindu—sebuah demokrasi yang dalam pengertian Fareed Zakaria disebut "tak-liberal". India, yang dulu dipimpin satu lapisan atas yang melahirkan Nehru, kini sudah digantikan oleh sebuah demokrasi yang memanjakan purbasangka orang jalanan.

Dengan kata lain, di Gujarat, seperti halnya dalam demokrasi di tempat lain, tak ada elite seperti di kapal Titanic dalam versi Zakaria. Tak ada orang-orang yang dalam kata-kata Ki Hajar Dewantara bersikap ing ngarsa sung tuladha: jika berada di depan, kita wajib memberi teladan keadilan dan kelapangan hati. Ki Hajar adalah orang yang percaya pada sistem "demokrasi dengan kepemimpinan".

Tapi dari mana datangnya kepemimpinan, dan bagaimana noblesse oblige bisa tumbuh?

Zakaria memang tak membuktikan bahwa yang terjadi di Titanic mencerminkan sebuah code of honour atau patrap kehormatan kalangan atas. Meskipun demikian, harus diakui bahwa sejarah lapisan atas tak seluruhnya hitam. Pengertian "elite" tak hanya mengenai status, tapi juga serangkai nilai-nilai yang mencerminkan rasa bangga pada keluhuran diri dan rasa percaya akan posisinya dalam sejarah. Ernesto "Che" Guevara termasuk dalam lapisan itu: ia seorang dokter, anak keluarga kaya di Argentina, tapi mengabdikan hidupnya buat kaum yang papa di Amerika Latin. Ki Hajar Dewantara sendiri, yang datang dari Ndalem Pakualaman, Yogya, adalah contoh lain. Bahkan kakaknya bergerak di kalangan buruh.

Tapi tentu saja dengan sikap ing ngarsa sung tuladha saja selapis pemimpin tak dengan sendirinya menumbuhkan dan mempertahankan kebebasan manusia. Kaum revolusioner di Rusia dan di Cina adalah sebuah elite yang siap berkorban bagi kepentingan umum, tapi tak akan membiarkan demokrasi tumbuh—satu hal yang kini juga tampak di Singapura, sebuah republik dengan kepemimpinan yang anehnya dikagumi Zakaria.

Maka dibutuhkan sejenis elite lain. Tapi bagaimana mereka bisa dipesan, terutama di zaman ketika ideologi elitisme runtuh? Di zaman ini, cerita tentang noblesse oblige umumnya telah digantikan dengan cerita kapitalisme. Langsung atau tidak, kapitalisme mengajarkan bahwa hidup akan jadi lebih baik jika orang mengakui pamrihnya sendiri, dan bersama itu sadar akan perhitungan untung-rugi. Sebab, dengan demikian orang bisa berunding, tak ada yang merasa lebih suci dan tak ada orang yang tergila-gila untuk jadi "luhur" seraya menimbulkan heboh.

Uang, kapital, dan pendidikan yang meluas memang telah menyebabkan kasta-kasta lama guncang atau runtuh. Sementara itu, kini belum lahir kasta baru dengan nilai-nilai yang mantap untuk menghindarkan Gujaratisme yang intoleran atau "premanokrasi" yang korup. Saya tak tahu adakah kita di jalan buntu. Tapi Indonesia bukannya tanpa sejarah selapis elite yang mengabdi.

Kartini, Agus Salim, Tan Malaka, Bung Hatta, Bung Karno, Syahrir, Mononutu, Leimena, dan lain-lain tercatat telah berbuat yang terbaik untuk publik. Mereka memang dilupakan dalam masa "Orde Baru", ketika kehidupan politik seakan-akan sebuah kapal Titanic dalam versi yang busuk, ketika yang di atas sampai jam terakhir hanya hendak menyelamatkan diri sendiri. Tapi siapa tahu kini ada kesempatan untuk mengingat mereka kembali, untuk benih baru setelah 2004.

Goenawan Mohamad

0 komentar:

Posting Komentar