alt/text gambar

Sabtu, 01 Juli 2017

Topik Pilihan:

RIP PROF. PETER L. BERGER..!


Telah meninggal dunia, ilmuwan sosial terkemuka, Peter Ludwig Berger, pada tanggal 27 Juni 2017 di Brookline, USA, dalam usia 88 tahun.

Jabatan akademik terakhir Peter Berger adalah Direktur Institute on Culture, Religion and World Affairs (CURA).

Karya-karya beliau yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, a.l. adalah "Piramida Kurban Manusia", "Tafsir Sosial atas Kenyataan", "Langit Suci", "Sosiologi Ditafsirkan Kembali", yang semuanya diterbitkan oleh LP3ES.

Menurut Peter L. Berger, seorang sosiolog harus memiliki 4 kesadaran untuk dapat mencermati realitas sosial:
1. "Motif Debuking"
membuka topeng dan menolak segala kepalsuan.
2. "Motif Unrespectability" 
Tidak sekedar menerima tetapi harus kritis.
3. "Motif relativitas"
Tidak ada tatanan, identitas, nilai yang absolut.
4. "Motif Kosmopolitan"
Terbuka, bebas, tidak ada persoalan dengan yang asing menerima perbedaan pandangan dan etnisitas.

TENTANG KRITERIA PEMBANGUNAN

Mitos pertumbuhan sebagai alibi bagi kesenjangan yang tajam sama tersesatnya dengan mitos revolusi sebagai alibi bagi tirani. Tetapi, konstatasi tersebut juga mengandung sebuah pertanyaan mendasar: dalam rangka keadilan sebagai buruan tanpa akhir, kriteria apa yang paling tidak harus inheren dalam pembangunan? Mungkin dalam hal inilah kita terpaksa kembali lagi menjadi skeptis di antara sekian banyak prediksi. Di hadapan susah-payah empiris semacam itu, biasanya “ilmu kegenitan”, ada yang berstatus sebagai pengganti rasa jijik terhadap kekumuhan, dan ada yang dalam rangka bisnis otonomi atau gagasan. Tetapi ada juga yang muncul sebagai bagian dari kejujuran pencarian, dan biasanya selalu berupa timbangan prinsip penuntun.

Dalam kaitannya dengan syarat keadilan sosil, satu di antara sekian banyak yang layak kita simak adalah refleksi Peter L. Berger. Ia mengusulkan 2 macam “kalkulus” untuk melihat apakah sebuah pembangunan sungguh berhasil dan menjawab prinsip keadilan. Yang pertama adalah ‘kalkulus beban’ (“calculus of Pain”), yaitu pencegahan penderitaan paksa, dan yang kedua ialah ‘kalkulus kebermaknaan’ (“calculus of meaning”) sebagai penghargaan terhadap nilai-nilai hidup dari para warga yang dimaksud oleh kebijakan-kebijakan pembangunan. Untuk itu, Berger mengajukan 3 kriteria keadilan yang harus dikenalkan pada setiap model dan proyek pembangunan: “Pertama, pembangunan yang berhasil mensyaratkan kemajuan ekonomi yang berlanjut dan self-generating. Kedua, pembangunan yang berhasil mensyaratkan gerakan berlanjut dalam skala luas oleh penduduk kebanyakan, dari kondisi kemiskinan yang akut ke standar hidup yang layak secara manusiawi. Ketiga, pembangunan tak dapat dikatakan berhasil jika prestasi-prestasi dari kemajuan ekonomi dan pembagiannya berlangsung di atas pelanggaran hak-hak asasi manusia.” (Peter Berger, “Underdevelopment”, Commentary, vol.78, no.1, July 1984, hal. 41-45).

Di bawah terang prinsip dan kriteria semacam itu, segera kelihatan bahwa bagi komunitas-komunitas warga, pembangunan lebih sering dialami sebagai beban (dalam "calculus of pain"), dan karenanya lebih sering tidak bermakna (dalam "calculus of meaning"). Dan dalam pengalaman mereka, pembangunan lebih punya arti sebagai penggusuran ("displacement"). Selain sangat mahal, pembangunan yang lebih sering dialami sebagai penggusuran itu juga menyimpan kemarahan luas rakyat yang nampak dalam berbagai protes-protes terhadap ketidakadilan.

Untuk mengenang begawan ilmuwan sosial ini baiklah kita baca salah satu resensi dari buku beliau...

PIRAMIDA KURBAN MANUSIA: 
SEBUAH RESENSI BUKU

Oleh: Sari Oktafiana

16 Juni 2010
Diperbarui : 26 Juni 2015

Judul Asli: "Pyramids Of Sacrifice" 
Penulis : Peter L. Berger 
Penerjemah: A. Rahman Tolleng 
Penerbit: LP3ES Jakarta 
Cetakan: Pertama Agustus 1982

Tatkala membaca karya-karya Berger kesan yang diperoleh penulis adalah menarik! Dalam karya-karyanya, Berger selalu cerdas dan kritis mengupas setiap permasalahan terutama humanitas selalu menjadi prioritas dalam beberapa karya-karya Berger.

"Sosiologi Ditafsirkan Kembali" merupakan buku yang menarik bagi para sosiolog, karena disitu Berger mengajak para sosiolog untuk memandang dunia dengan cerdas, kritis, serta mencegah penggunaan sosiologi sebagai senjata ideologis.

"Revolusi Kapitalis" merupakan karya Berger untuk membedah wacana kapitalisme secara kritis, kematian dan kejayaan kapitalisme. Bukunya "Pikiran Kembara" karyanya bersama Hansfried kellner di situ dengan jelas mewartakan kegelisahan Berger terhadap modernitas, yang acapkali menafikan humanitas. Ruang Kemanusiaan menjadi tereduksi oleh meodernitas yang terus menggila.

Awal penyajian buku ini (Piramida Kurban Manusia) mengemukakan 25 tesis Berger yang merupakan semacam imperatif-imperatif etis politis. Dengan demikian pembaca akan memperoleh gambaran yang menyeluruh atas topik-topik yang akan dibahas Berger. Selanjutnya diteruskan dengan kisah yang membuat kita untuk merenungkan kembali sejarah kejayaan nenek moyang kita. Dimana dalam Piramida raksasa di Cholula membuat kita bertanya tentang romantisme kejayaan masa lalu yang selalu kita bangga-banggakan, bahwa dibalik kejayaan kejayaan sejarah itu adalah tumpukan dari korban-korban mereka yang tak berdaya. Bahwa sejarah peradaban kita adalah hasil dari ribuan orang yang dikorbankan. Kita mempunyai banyak sejarah yang kelam atas peradapan yang kita nikmati sekarang.

Seluruh buku dari piramida kurban manusia menjelaskan suatu etika politik pembangunan yang mengandalkan nilai-nilai etis tertentu. Penedekatan etika politik yang diajukan adalah suatu filsafat manusia yang memusatkan segala perhatiannya pada manusia yang seutuhnya konkret dan nyata.

Titik pangkal dan ukuran penilaian seluruh uraian Berger adalah manusia yang menderita, baik dalam masa lampau maupun sekarang. Karena kebutuhan-kebutuhan fisik, psikis, kognisi, dan sosial dikorbankan demi tujuan-tujuan lain. Manusia yang diperalatkan oleh kepentingan ideologis dan politis. Pembangunan dan modernitas yang mengesampingkan humanitas adalah kritik Berger dalam buku ini. "Human costs" (biaya-biaya manusiawi) serta "social costs" (biaya-biaya sosial) adalah kata kunci dari buku ini. Seperti ungkapan Berger : “Biaya-biaya manusiawi yang paling menekan adalah berkenaan dengan kekurangan dan penderitaan fisik. Tuntutan moral yang paling mendesak dalam pengambilan kebijaksanaan politik adalah suatu perhitungan kesengsaraan.”

Jadi, yang selalu harus diperhatikan ialah penderitaan yang harus dipikul manusia. Bentuk yang paling mengerikan adalah penderitaan atau kesengsaraan fisik, entah karena kelaparan atau teror, entah karena alasan lain. Penderitaan atau biaya-biaya manusiawi itulah yang harus dihindari dan bagaimanapun tidak bisa dibenarkan. Dalam buku ini Berger juga mengecam ide “pertumbuhan’ dalam ideologi kapitalisme dan ide “revolusi” perjuangan kelas dalam ideologi sosialisme. Bahwa kedua ideologi tersebut harus dianggap gagal dalam memperjuangkan manusia. Masing-masing ideologi tersebut menurut Berger menjanjikan suatu masa depan yang cerah yang bakal terjadi, tapi dibalik pelunasan janji tersebut harus mengorbankan banyak manusia apakah itu penderitaan, teror, dan perang. Janji Kedua ideologi itu hanya mitos semata dan tidak ada bukti sama sekali. Berger berpendapat bahwa kedua mitos tersebut harus dibongkar kepalsuan-kepalsuannya. Usaha demitologisasi itu akan memberikan cara pandang yang baru dan akan memungkinkan suatu pendekatan yang realistis dalam pengambilan kebijaksanaan politik. Selain itu problema pembangunan di Dunia Ketiga juga tidak luput dari perhatian Berger. Dia mengupas secara kritis masalah yang sangat pokok dan majemuk, yaitu masalah perbenturan antara modernisasi dan tradisi yang membayangi proses pembangunan hampir di seluruh Dunia ketiga. Menurut Berger, apa yang dicanangkan sebagai modernisasi tak jarang merupakan suatu ideologi dan mitos yang tidak manusiawi. Hal itu terdapat dalam tesis yang kedua puluh: “Modernisasi menuntut harga yang tinggi pada tingkat makna. Mereka yang tidak bersedia membayar harga ini harus dipandang dan diperlakukan dengan hormat, dan tidak boleh diremehkan sebagai terbelakang atau irasional.” Untuk mengatasi hal tersebut Berger menawarkan partisipasi kognitif. Berger mengemukakan bahwa terdapat dua imperatif etis, yaitu bahwa manusia berhak atas partisipasi, dan manusia juga berhak berpartisipasi yang mencakup segi kognitif. Jadi, manusia berhak untuk ikut serta dalam menafsirkan dan memaknakan dunia dan kenyataan yang ia hadapi. Jika hal tersebut tidak dilakukan maka tak pelak lagi bahwa pembangunan akan sangat berjarak dengan manusianya. Hal tersebut termaktub dalam tesis yang kelima belas: “Mereka yang merupakan sasaran kebijakan politik harus mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi, buikan saja dalam mengambil keputusan-keputusan khusus, tetapi juga dalam merumuskan definisi-definisi situasi yang merupakan dasar dalam mengambil keputusan-keputusan tadi, partisipasi ini bisa disebut partisipasi koginitif.” Dalam banyak hal Berger berusaha untuk membawa pembaca untuk menaruh lebih banyak perhatian pada masalah-masalah etis-politis yang mau tak mau tersirat dalam setiap usaha pembangunan, mulai proyek yang paling kecil sampai pada kebijaksanaan politik ditingkat nasional maupun internasional. Dengan sangat kritis, dan cerdas Berger membawa kita pada renungan tentang perubahan sosial raksasa yang digalakkan di Dunia Ketiga. Akankah Pembangunan di dunia ketiga akan mewujudkan dimensi manusiawi. Tesis yang kedua puluh lima adalah seruan Berger untuk membuat suatu agenda aksi dan formula-formula baru yang bisa mengatasi semuaproblem yang telah mengemuka. Terlihat dari tesisnya yang terkhir dalam buku ini : “Kita membutuhkan suatu metoda baru untuk menghadapi masalah-masalah etika politik dan dan perubahan sosial (termasuk kebijaksanaan politik pembangunan). Untuk itu diperlukan mengawinkan dua sikap yang biasanya terpisah- sikap analisa yang realistis(hard nosed analysis) dan sikap imajinasi yang utopis. Seluruh buku ini akhirnya hanya berkisar pada kebutuhan-kebutuhan yaitu mengadakan beberapa langkah permulaan menuju suatu utopianisme realistis.” Semoga argumentasi-argumentasi dan pemikiran Berger dalam buku ini menjadikan bahan renungan kita bahwa Human Costs harus kita perhatikan dalam setiap usaha-usaha kita untuk melakukan perubahan sosial. Wallahu'alam Bishowab.



0 komentar:

Posting Komentar