-
Oleh: Nani Efendi
Serentak
di seluruh Indonesia, pada 11 April 2022 yang lalu, mahasiswa tumpah ke jalan
menggelar aksi demonstrasi. Berbagai tuntutan muncul dalam aksi tersebut. Itu dapat
dibaca dari spanduk-spanduk dan poster-poster yang dibawa para demonstran. Tapi
ada tiga tuntutan utama mahasiswa: tolak perpanjangan jabatan presiden 3
periode, tolak penundaan pemilu 2024, dan turunkan kenaikan harga bahan-bahan
pokok.
Sebelumnya,
aksi protes dari berbagai kalangan bermunculan setelah dipicu kelangkaan dan
kenaikan harga minyak goreng. Setelah itu, diikuti kenaikan harga BBM
nonsubsidi dan kelangkaan solar. Publik pun bertanya-tanya: apakah situasi
sosial-politik dan ekonomi negara benar-benar dalam keadaan gawat? Karena,
memang, sepanjang sejarah Indonesia, aksi demonstrasi besar mahasiswa terjadi
biasanya karena ada persoalan krusial bangsa dan bungkamnya suara kritis
dari kalangan elite.
Demonstrasi
dalam negara demokrasi
Menurut
Gabriel Almond, ilmuwan politik Amerika, dalam keadaan sistem politik
totaliter, di mana saluran-saluran demokrasi ditutup, maka demonstrasi adalah
salah satu cara yang efektif untuk menyuarakan aspirasi. Jadi, demonstrasi
adalah salah satu cara menyampaikan kritik terhadap kekuasaan. Aksi demonstrasi
itu bersifat konkret. Artinya, warga negara benar-benar menunjukkan diri secara
nyata dengan sikap protes terhadap kekuasaan. Oleh karenanya, cara ini dinamakan
juga “unjuk rasa”. Unjuk rasa artinya “menunjukkan perasaan” secara fisik (dengan
pasang badan) di hadapan mereka yang memegang kekuasaan, bukan dengan
bersembunyi di balik akun-akun palsu di media sosial.
Sistem
digitalisasi yang sudah canggih saat ini tak mampu menggantikan peran unjuk
rasa dengan turun langsung ke jalan. Sistem digitalisasi hanyalah kemajuan
dalam alat dan cara saja. Kata Pramoedya Ananta Toer dalam karyanya Anak
Semua Bangsa, (h. 338-339), “Lambat tapi pasti sorak-soraiku sendiri dan dunia
akan datangnya jaman modern hanya satu kesia-siaan semata. Yang modern memang
hanya alat-alatnya, kata Mama, dan caranya. Manusia tetap, tidak berubah, di
laut, darat, di kutub, dalam kekayaan dan kemiskinan bikinan manusia
sendiri."
Kalaulah
orang bisa mengkritik lewat teknologi digital di dunia maya, tetap tak bisa
mengalahkan atau menggantikan cara konkret aksi jalanan yang bernama
demonstrasi. Mengapa? Karena di dunia maya masih bisa dimanipulasi oleh penguasa.
Penguasa bisa gunakan peran mesin atau para buzzer untuk meng-counter. Satu
orang buzzer mungkin bisa memiliki puluhan bahkan ratusan akun palsu. Bagaimana
mungkin kita bisa terlalu percaya dengan pergolakan isu di dunia maya. Jadi,
demonstrasi dalam sistem demokrasi tak akan pernah usang sampai kapan pun. Ia
akan tetap relevan di setiap zaman. Yang canggih itu alat. Manusia tetaplah
seperti dulu: makhluk yang berpikir dan punya perasaan. Dan juga nafsu.
Lord
Acton, seorang Inggris yang menggeluti bidang sejarah, mengatakan, "Power
tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely; kekuasaan itu
cenderung korup. Kekuasaan yang absolut sudah pasti korup." Dan dalam Al
Qur' an juga dijelaskan, bahwa orang-orang yang melihat dirinya serba cukup,
cenderung berbuat sewenang-wenang. Dan kekuasaan, menurut Jurgen Habermas
(tokoh teori kritis Mazhab Frankfurt), bukan hanya untuk dilegitimasi, tapi
harus dirasionalisasi dan dikritisi.
Jadi
kalau ada warga negara dalam sistem pemerintahan demokrasi yang tak menyukai cara
menyampaikan koreksi, protes, aspirasi, dan lain sebagainya melalui demonstrasi,
dan mengatakan demonstrasi itu adalah cara-cara yang sudah ketinggalan zaman,
sama saja ia ingin membiarkan penguasa berbuat semaunya. Dan mental masyarakat
yang seperti itulah yang disukai penguasa yang korup dan otoriter. Penguasa
korup dan otoriter sangat menyukai kalau ada warga negara yang tak suka lagi
turun ke jalan untuk protes. Sehingga mereka bisa memerintah dengan
sewenang-wenang.
Dan
memang mereka yang memegang kekuasaan cenderung konservatif dan anti kritik. "Revolusioner
yang paling radikal sekali pun,” kata Hannah Arendt, teoritikus politik Jerman,
“akan berubah menjadi seorang konservatif satu hari setelah revolusi usai."
Maksudnya: setelah memperoleh tahta, sang penguasa yang dulunya radikal
memperjuangkan perubahan akan berupaya mempertahankan kekuasaannya atau akan
pro terhadap status quo dan anti dengan kritik dan perubahan. Karena, secara
logika, kelas atas tidaklah mungkin rela memotong dahan tempat mereka berdiri.
Oleh
karena itu, bagi revolusioner sejati, tak ada kata akhir untuk revolusi atau
perjuangan untuk keadilan dan kebenaran. Semuanya dalam "proses
menjadi" atau berdialektika. Tidak ada titik final dari suatu perubahan.
Perubahan bukanlah sebuah titik beku yang akan tercapai melalui revolusi yang
bersifat temporer. Walaupun, perjuangan untuk perubahan itu—menurut Franz
Magnis-Suseno—tidaklah mesti selalu dengan kekerasan. Tapi perubahan tetaplah
harus diperjuangkan.
Demonstrasi
mahasiswa di Indonesia
Dalam
sejarah Indonesia, ada beberapa kali gerakan besar demonstrasi mahasiswa. Dan
gerakan itu mengubah jalannya sejarah Indonesia. Pada 1966, demonstrasi besar
mahasiswa Indonesia yang berhimpun dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia
(KAMI), menentang “Demokrasi Terpimpin” Bung Karno dan tuntutan pembubaran PKI.
Aksi mahasiswa itu pun berujung dengan lengsernya Bung Karno dari jabatannya sebagai
presiden.
Tercatat dalam sejarah, tokoh-tokoh pergerakan mahasiswa di antaranya Arief Budiman dan Soe Hok Gie. Mahasiswa Gie bahkan menulis buku yang cukup melegenda: Catatan Seorang Demonstran.
Francois Raillon (peneliti Prancis) dalam bukunya Politik
dan Ideologi Mahasiswa Indonesia: Pembentukan dan Konsolidasi Orde Baru
1966-1974, merekam dengan baik pergolakan demonstrasi mahasiswa Indonesia pada
1966.
Pada
15 Januari 1974, di masa Orde Baru, terjadi peristiwa Malari (Malapetaka 15
Januari): para mahasiswa memutuskan turun ke jalan untuk menuntut
ketidaksetaraan penanaman modal asing yang menguntungkan kelompok tertentu. Aksi
ini juga memprotes tingginya harga kebutuhan pokok dan perilaku korupsi ketika
itu.
Pada
1998, terjadi lagi dalam sejarah Indonesia demonstrasi besar mahasiswa yang
berujung mundurnya Soeharto dari jabatannya sebagai presiden. Dan reformasi terjadi. Pramoedya Ananta
Toer memuji gerakan mahasiswa ’98. Kata Pram, “Waktu Orde Baru, tidak ada yang
menghendaki perbaikan. Semua tiarap membenarkan Soeharto. Termasuk kaum
intelektual dengan gelar berlapis-lapis juga membenarkan Harto. Ini mahasiswa
menentang. Itukan sudah hebat itu. Itu saja sudah hebat.”
Jadi,
perubahan di Indonesia banyak dipelopori oleh angkatan muda terpelajar. Mengapa
bukan buruh, sebagaimana teori Marx? Karena buruh, menurut Pram, terikat dengan
penghidupan dan majikannya. Sementara mahasiswa masih bebas merdeka.
Menanggapi
aksi demonstrasi mahasiswa 11 April 2022, Goenawan Mohamad menulis: ada mitos
yang mengendap dalam ingatan kolektif kita: jika mahasiswa turun ke jalan,
berarti keadaan sosial-politik gawat, dan mahasiswa merupakan suara moral untuk
mengingatkan, kalau bukan untuk memperbaiki. Apakah keadaan sosial-politik dan
ekonomi sudah benar-benar gawat? Masyarakatlah yang merasakan dan tahu
jawabannya. Mahasiswa hanya menyampaikan suara moral.
0 komentar:
Posting Komentar