alt/text gambar

Jumat, 15 Juli 2022

Topik Pilihan: , , , ,

Bang Buyung: In Memoriam

 .

Oleh: NANI EFENDI

 

Indonesia kehilangan salah satu putra terbaik: Adnan Buyung Nasution. Pejuang keadilan, HAM, demokrasi, yang juga merupakan tokoh reformasi 1998 itu menghembuskan nafas terakhir sekitar pukul 10.15 WIB, di RS Pondok Indah, Jakarta Selatan, Rabu (23/9/2015) dalam usia 81 tahun. Sosok aktivis, yang selalu konsisten membela keadilan dan kebenaran, ini diberitakan telah dirawat sejak Jumat pekan lalu karena beberapa penyakit yang dideritanya, antara lain, gangguan jantung dan ginjal. Pendiri Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) ini meninggalkan 1 orang istri, 4 orang anak (satu telah meninggal), 9 cucu, dan 4 buyut.

Pejuang keadilan yang konsisten

Dalam kondisi bangsa yang penuh persoalan seperti sekarang ini, khususnya di bidang penegakan hukum, HAM, demokrasi, dan keadilan, sosok, peran, dan pemikiran Adnan Buyung Nasution masih sangat dibutuhkan oleh rakyat Indonesia. Karena, begitu sulit menemukan tokoh yang punya integritas tinggi, yang benar-benar konsisten membela hak-hak keadilan bagi warga negara—yang berani berbicara lantang mengkritik dan menentang arogansi kesewenang-wenangan kekuasaan. Pria yang akrab dipanggil Bang Buyung ini selalu tampil memperjuangkan demokrasi, HAM, dan nilai-nilai keadilan bagi semua. Sikap itu beliau tunjukkan sejak muda. Beliau selalu konsisten menyuarakan keadilan dan kebenaran: mulai dari zaman Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi saat ini.

Di zaman Orde Baru yang otoriter, beliau sudah berani berbicara kritis terhadap penguasa. Ada beberapa pernyataan beliau yang berkesan dan masih terngiang di telinga saya sampai saat ini: Pernyataan itu beliau sampaikan dalam wawancara ekslusif dengan Karni Ilyas. Dalam wawancara itu, beliau menyampaikan kritik terhadap oknum-oknum dalam institusi penegak hukum yang masih saja menunjukkan sikap-sikap arrogance of power atau arogansi kekuasaan seperti di zaman Orde Baru. Beliau berkata, “Keangkuhan, kesombongan, (arogansi kekuasaan), Abang lawan. Itu sikap Abang dari muda. Melawan zaman Sukarno, melawan zaman Soeharto, sampai sekarang pun Abang lawan. Buat siapa? Bukan buat diri Abang. Abang merasa ini panggilan nurani buat rakyat ini.”

Beliau juga menyampaikan bagaimana pengalaman beliau melawan kesewenang-wenangan Orde Baru di tahun 70-an. Pada zaman Orde Baru, kita mengenal yang namanya “Kopkamtib”. Lembaga ini sangat menakutkan ketika itu. Namun, tidak bagi Bang Buyung. Ketika beliau masih aktif di LBH, bersama Abdurrahman Saleh (Jaksa Agung RI periode 2004-2007), beliau pernah dipanggil oleh Kopkamtib. Beliau mengatakan, “Jangan datang, Man! Kita lawan Kopkamtib. Enak aja panggil orang.” Itulah beberapa contoh sikap berani beliau dalam melawan kekuasaan yang sewenang-wenang.

Beliau juga aktif menuliskan pemikiran-pemikirannya di banyak media massa maupun dalam bentuk buku. Ketika beliau ditunjuk sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) di era SBY, beliau tetap kritis terhadap pemerintah. Bahkan, beliau bersedia mengundurkan diri menjadi anggota Wantimpres karena merasa nasehat dan sarannya tidak didengar oleh SBY. Untuk mengungkapkan sikap kritis beliau secara lebih luas dan bebas, beliau menulis buku yang sangat kontroversial dan membuat heboh: Nasihat untuk SBY. Dalam buku itu, beliau mengungkapkan, bahwa banyak nasihat dan pertimbangannya yang tidak didengar. Ia tidak ingin Wantimpres bernasib sama seperti DPA di zaman Orba yang nasihat dan pertimbangannya tak pernah didengar oleh presiden, sehingga keberadaannya tidak memberi manfaat bagi rakyat. Hanya membuang uang dan waktu.

Melalui buku Nasihat untuk SBY itu, Bang Buyung ingin menyampaikan pertanggungjawaban moral, hukum, dan politik kepada rakyat Indonesia. Karena ia merasa dibayar dengan uang rakyat, maka ia beranggapan bahwa rakyat berhak tahu apa tugas dan keawajibannya sebagai Wantimpres. Walaupun risikonya ia bisa didepak dari jabatan yang prestisius itu. Namun, demi kebenaran dan keadilan, ia tak peduli.  Itulah contoh sikap konsistennya terhadap nurani dan kebenaran. Ia tak haus jabatan dan kekuasaan. Ia lebih cinta pada kebenaran dan keadilan ketimbang jabatan dan kekuasaan. Sosok seperti beliau ini semakin sulit kita temukan saat ini. 

Dalam membela kliennya, juga seperti itu. Ia tak peduli dengan popularitas maupun risiko bagi karirnya. Demi sebuah kebenaran, siapa pun orangnya dan apa pun persoalannya, ia akan tetap melakukan pembelaan. Tujuannya jelas: untuk keadilan dan kebenaran yang hakiki.

Bang Buyung dilahirkan di Jakarta, 20 Juli 1934. Beliau menempuh pendidikan di Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan Universitas Indonesia tahun 1964. Pada 1959, beliau melanjutkan studi Hukum Internasional di Universitas Melbourne, Australia. Pendidikan doktor beliau tempuh di Universitas Utrecht, Belanda, tahun 1992.

Riwayat pekerjaan beliau pertama kali adalah sebagai Jaksa/Kepala Humas Kejaksaan Agung (1957-1968), namun akhirnya mengundurkan diri. Pada 1966-1968, ia menjadi Anggota DPRS/MPRS. Karirnya di bidang hukum: Direktur/Ketua Dewan Pengurus LBH (1970-1986), Ketua Umum YLBHI (1981-1983), Ketua DPP Peradin (1977), dan Advokat/Konsultan Hukum Adnan Buyung & Partners (s.d. sekarang). 

Semoga akan terus lahir Buyung muda

“Patah tumbuh hilang berganti. Hilang satu, tumbuh seribu.” Itulah peribahasa Melayu. Ya, kita berharap, semoga sosok-sosok pejuang keadilan dan kebenaran  yang punya keberanian dan integritas moral seperti Adnan Buyung Nasution akan terus lahir di bumi Indonesia tercinta ini. Kita berharap keteladanan yang beliau berikan semasa hidupnya dapat menginspirasi dan memberikan motivasi bagi para pemuda dan tokoh-tokoh di Indonesia yang masih mencintai kebenaran dan keadilan. Keberaniannya dalam menentang kesewenang-wenangan kekuasaan semoga dapat dicontoh oleh generasi penerus bangsa ini.

Kita berdoa, semoga amal bakti Bang Buyung yang telah ia dedikasikan selama hidupnya di dunia diterima oleh Allah swt. Dan, semoga beliau memperoleh tempat yang layak di sisi-Nya. Amin. Selamat jalan Bang Buyung! Jasa-jasamu akan senantiasa dikenang dan akan terawat awet dalam perjalanan sejarah perjuangan bangsa.

 NANI EFENDI, Alumnus HMI



0 komentar:

Posting Komentar