alt/text gambar

Selasa, 29 Oktober 2024

Topik Pilihan:

BAHASA INDONESIA: DARI “LINGUA FRANCA” KE POLITIK BAHASA

 


Oleh:  Ignas Kleden

(Kompas, 29 Oktober 1998)


Bahasa Indonesia sebagaimana yang digunakan sekarang patutlah dianggap sebuah karunia sejarah. Betapa tidak! Setelah kira-kira tiga abad berada di bawah penjajahan Belanda, Nusantara sebagai koloni Belanda yang terbesar pada waktu itu akhirnya tidak mengambil mengambil bahasa Belanda sebagai bahasa resmi yang digunakan di sini. Sebagai gantinya, para pemuda di tahun 1928 telah memilih dan menetapkan bahasa Indonesia sebagai satu bahasa yang berlaku dan dipergunakan di seluruh Kepulauan Nusantara. 

Karunia sejarah itu nyata dari sikap pemerintah kolonial dan orang-orang Belanda sendiri yang memang ogah-ogahan mendidikan bahasa Belanda kepada kalangan pribumi, suatu sikap yang baru mengalami sedikit perubahan setelah diterapkan politik etis pada awal abad ini. Akibanya yang menguasai bahasa Belanda  hanyalah sekelompok kecil elite pribumi yang beruntung dapat mengunjungi sekolah berbahasa Belanda. 

Pilihan untuk mengambil Bahasa Melayu sebagai Bahasa Indonesia ternyata ditunjang juga oleh faktor sejarah yang lain, bahwa Bahasa Melayu sejak berabad-abad telah menjadi lingua franca untuk seluruh Kepulauan Nusantara. Dalam arti akademisnya, lingua franca adalah suatu bahasa yang berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi tidak berfungsi sebagai penunjuk identitas pemakainya. Jadi pemakai bahasa Melayu pada waktu itu tidak terlalu jelas, apakah berasal dari Riau, Jawa, Maluku, Timor, atau Kalimantan. Tentu saja dialek setempat mempengaruhi penggunaan Bahasa Melayu di berbagai daerah, tetapi bahasa itu tidak menunjuk suatu kelompok khusus yang mempergunakannya, kira-kira seperti bahasa Inggris sekarang. 

Penetapan ............. (kertas sobek)

                                                      ***  

Keputusan .... ..... (kertas sobek). 

... Para sastrawan kemudian aktif menggunakan bahasa itu sebagai bahasa kesusastraan, seklipun mereka semua, pada masanya, amat fasih dan sanggup menggunakan bahasa Belanda untuk keperluan literer. Sastrawan Sanusi Pane misalnya, menulis karya sastra dalam bahasa Indonesia dan bahasa Belanda. Sjahrir menulis renungannya dalam bahasa Belanda. Kemahiran berbahasa Belanda secara aktif itu maish terlihat bahkan jauh setelah Indonesia merdeka: sastrawan Mochtar Lubis kemudian menulis sebuah buku sejarah Indonesia dalam bahasa Belanda, sementara wartawan Rosihan Anwar aktif menulis berbagai tulisan jurnalistik dalam bahasa Belanda. Jadi pilihan elite Indonesia pada waktu itu untuk mendukung Bahasa Indonesia adalah pilihan yang sadar, sekalipun mereka mempunyai fasilitas lainnya untuk menyampaikan buah pikirannya, baik secara ilmiah, secara politik, maupun secara sastra. 

Sutan Takdir Alisjahbana, seorang sarjana hukum berdasarkan pendidikan formalnya, kemudian tidak saja membantu perkembangan bahasa Indonesia sebagai sastrawan dan pemikir kebudayaan yang produktif dan amat berpengaruh, tetapi sekaligus memastikan dirinya sebagai ahli bahasa yang mengabdikan diri kepada keperluan menyusun sebuah tata bahasa normatif (jadi bukan hanya tata bahasa deskriptif). Selain itu sarjana-sarjana Indonesia yang terbaik selepas Proklamasi (dan bahkan sebelumnya) terlibat aktif dalam pembentukan istilah-istilah baku untuk keperluan pendidikan keilmuan dalam bahasa Indonesia. Tanpa kerja komite istilah ini mungkin sampai sekarang kita belum  mempunyai istilah “berat jenis” dalam fisika, “akar serabut” dalam ilmu tumbuh-tumbuhan, misalnya. 

Sedari awal pembakuannya, sudah terlihat bahwa yang membentuk bahasa Indonesia dan membakukannya bukanlah terutama para ahli bahasa, tetapi semua cerdik-pandai dari berbagai keahlian lainnya. Dengan itu kemudian kita mengalami satu tahapan baru dalam perkembangan bahasa Indonesia: dari lingua franca ke bahasa persatuan, dan dari bahasa persatuan ke bahasa pendidikan dan pengajaran. 

                                            ***    

Terbentuknya negara Indonesia dan pemerintahannya tak dapat tidak membuat bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi pemerintah dalam mengeluarkan peraturan-peraturan pemerintah. Peran politik bahasa Indonesia ini sengaja atau tidak, diresmikan dengan cara yang megah melalui Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, yang diumumkan dalam bahasa Indonesia (dan bukan dalam bahasa Belanda atau bahasa Inggris). Pers Indonesia kemudian juga memakai bahasa Indonesia untuk  menyampaikan berita, komentar, , dan analisis keadaan. 

Sementara itu sekolah dan perguruan tinggi mulai memakai bahasa Indonesia sebagai bahasa pengajaran. Betapa sulitnya hal ini pada mulanya terlihat dari usaha para sarjana yang berusaha sekuat tenaga menerangkan sebuah konsep  ilmiah dalam istilah Indonesia. Tak mengherankan bahwa pada mulanya masih ada demikian banyak istilah bahasa Barat (Inggris, Belanda, Jerman, Perancis, Latin) yang terpaksa tetap digunakan karena konsep itu belum dapat diungkapkan secara memadai dalam istilah Indonesia. Kalau kita membaca seri kuliah yang diberikan oleh Prof Djokosutono yang diterbitkan belakangan oleh bekas mahasiswanya, masih terlihat betapa sulitnya mengerjakan konsep-konsep ilmu hukum dalam bahasa Indonesia. 

Untuk banyak bekas koloni lainnya, kenyataan bahwa bahasa Indonesia dapat dipergunakan sebagai bahasa politik, bahasa ilmiah, bahasa jurnalistik dan bahasa sastra, menimbulkan kekaguman dan iri hati. Di Filipina, sarjana-sarjana ilmu sosial mulai berusaha menuliskan buku teks dalam bahasa Tagalog, tetapi ternyata bahasa Inggris tidak bisa ditinggalkan. Rekan-rekan ilmuwan sosial Malaysia suka bercerita bahwa bahasa Malaysia memang dipergunakan dalam pertemuan-pertemuan resmi, akan tetapi begitu mereka memasuki diskusi akademis atau perdebatan intelektual tinggi, tanpa sadar mereka harus berpindah kembali ke bahasa Inggris. 

Pembakuan bahasa Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pekerjaan beberapa kelompok. Pertama, para sastrawan Indonesia, yang secara langsung mengerjakan bahasa Indonesia dalam karya kreatif; kedua, para ahli bahasa khususnya ahli tata bahasa, yang menyusun kaida-kaidah bahasa Indonesia yang perlu diikuti  dan ditaati. Pilihan Sutan Takdir Alisjahbana untuk menyusun sebuah tata bahasa normatif dan bukan tata bahasa deskriptif, adalah sebuah pilihan yang sangat tepat pada masanya. Jasa terbesar STA adalah bahwa dengan itu norma-norma bahasa Indonesia disusun oleh seorang Indonesia dengan latar belakang Melayu  yang kuat, dan bukan oleh seorang Belanda atau seorang Jerman misalnya. Ketiga, para penyusun kamus bahasa Indonesia. Tidak berlebihan apa yang dikatakan Prof Sudjoko bahwa jasa WJS Poerwadarminta belum cukup dihargai bukan saja oleh Pemerintah Indonesia, tetapi juga oleh masyarakat Indonesia. Keempat, para wartawan (baik media cetak maupun media elektronik) yang juga dengan aktif mengerjakan bahasa Indonesia untuk keperluan penyampaian berita dan analisis keadaan. Kelima, berbagai kelompok pemakai bahasa (para mahasiswa, remaja, politisi, kelompok bisnis, kaum teknisi dan kalangan media, ibu-ibu rumah tangga) yang mempergunakan bahasa Indonesia sesuai kebutuhan khas kelompoknya, dan kemudian turut menyumbangkan kosa kata atau bentuk-bentuk kalimat yang bisa memperkaya bahasa Indonesia. 

                                         ***     

Melihat semua itu, maka politik bahasa Indonesia saat ini menghadapi beberapa tantangan. Tantangan terbesar adalah bagaimana mempertemukan keperluan pembakuan bahasa (yang dilakukan para ahli) dan pengembangan bahasa Indonesia yang dilakukan oleh pemakai aktif bahasa? Khusus mengenai pembakuan bahasa apakah tepat menyerahkan pekerjaan pembakuan bahasa ini hanya kepada para ahli bahasa, atau hanya melibatkan para ahli dari sebanyak mungkin disiplin dan bidang kehidupan dan sektor pekerjaan, sebagaimana yang diperlihatkan dengan sukses pada awal kemerdekaan dalam komite istilah. 

Kedua, kalau kita memberikan kesempatan lebih luas kepada pengembangan bahasa sebagaimana, bagaimana sikap kita terhadap salah-kaprah yang muncul dalam pengembangan tersebut? Sebuah salah-kaprah yang sudah meluas adalah kacaunya penggunaan kalimat pasif dan kalimat aktif yang seringkali dipertukarkan tempat dan fungsinya, dengan akibat kacau pula fungsi pokok kalimat (subyek) dengan fungsi keterangan. Sebagai contoh: Dengan datangnya El Nino menyebabkan gagalnya panen di banyak tempat. Atau: Datangnya El Nino terlihat panen di banyak tempat gagal. Kalau kita berpegang pada tata bahasa STA, maka pokok kalimat pada kalimat pertama seharusnya Datangnya El Nino yang secara salah kaprah diubah menjadi keterangan yaitu dengan datangnya El Nino. Sebaliknya pada kalimat kedua, keterangan yaitu Dengan datangnya El Nino diubah secara salah kaprah menjadi pokok kalimat berupa Datangnya El Nino. Dengan demikian kalimat yang benar menurut tata bahasa STA adalah: Datangnya El Nino menyebabkan gagalnya panen di banyak tempat (kalimat 1, struktur aktif), dan Dengan datangnya El Nino terlihat panen gagal di banyak tempat (kalimat kedua, struktur pasif). 

Politik bahasa saat ini sebaiknya menetapkan apakah salah kaprah seperti itu harus ditolak, karena kita berpegang pada tata bahasa normatif yang menentukan bahwa sebuah kalimat  barulah lengkap kalau dia mempunyai sekurang-kurangnya pokok kalimat (subyek) dan sebutan (predikat), atau kita mengakomodasi saja salah kaprah tersebut, karena kita berpegang pada tata bahasa deskriptif yang mencatat dan melukiskan saja perkembangan bahasa yang terjadi secara apa adanya. 

Kalau pilihan kedua ini diambil maka kesulitannya adalah penerjemahan bahasa Indonesia ke bahasa-bahasa modern lain (dan sebaliknya) menjadi jauh lebih sukar karena struktur subyek-predikat-obyek, relatif dianut  dalam semua bahasa modern. Segi sintaksis ini menjadi penting karena dia langsung berhubungan cara berpikir logis yang amat esensial untuk pemikiran ilmiah, yaitu prinsip kausalitas, di mana harus jelas apakah A yang menjelaskan B, ataukah B yang menjelaskan A. Logika kausalitas ini kalau diterjemahkan ke dalam bahasa menjadi susunan Subyek (yang menerangkan) dan Predikat (yang diterangkan). 

Argumentasi ini mungkin sekali akan ditentang oleh beberapa pihak yang beranggapan bahwa struktur S-P (subyek-predikat) adalah struktur pikiran yang mewakili alam pikiran yang sangat linear, yang mengandaikan bahwa selalu jelas apa yang menerangkan apa. Padahal dalam praktek tidak selalu jelas hubungan kausalitas tersebut. Apakah seorang buntu pikirannya karena mengantuk, ataukah dia mengantuk karena buntu pikirannya? Ini argumentasi epistemologis yang mungkin berguna untuk para ahli ilmu dan ahli filsafat. Suatu politik bahasa seharusnya tidak bertolak dari keruwetan yang kompleks tetapi dari suatu pegangan (biarpun hanya sementara) yang jelas. Para penyair memang bisa memutar-balikkan bahasa sesuai dengan kebebasan – licentia potica – yang diberikan kepada mereka. Tetapi penyair Goenawan Mohamad selalu berkata: penyair yang baik adalah seorang yang sanggup menulis prosa yang baik. Yang sering dilupakan adalah bahwa pemberontak terhadap tata bahasa biasanya sudah menjadi grammarian yang amat piawai sebelumnya. 


Ignas Kleden, sosiolog, tinggal di Jakarta


Sumber: Kompas, 29 Oktober 1998

0 komentar:

Posting Komentar