"Jurnalistik adalah pengiriman informasi dari sini ke sana dengan benar, saksama, dan cepat, dalam rangka membela kebenaran dan keadilan berpikir yang selalu dapat dibuktikan." --Erik Hodgins, Redaktur Majalah Time ((AS Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature, Panduan Praktis Jurnalis Profesional, Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2014, h. 3)
"Perlu selalu diingat, wartawan bukan semata-mata pelapor, tapi juga seorang seniman di bidangnya. Penulis mesti membaca hasil pekerjaannya berulang-ulang dengan kesadaran, agar segala kesalahan dapat dihindari." --Purwanto Setiadi dkk [peny.], Jurnalistik Dasar: Resep dari Dapur Tempo, Jakarta: Tempo Institute, 2017, h. 132.
In-depth reporting, adalah laporan mendalam. Misalnya tentang kasus korupsi. Tulisan ini lebih panjang ketimbang format hard news (straight news). In-depth reporting lebih condong ke format news feature. "In-depth reporting" inilah yang menjadi gaya khas majalah Tempo (lihat Purwanto Setiadi dkk [peny.], Jurnalistik Dasar: Resep dari Dapur Tempo, Jakarta: Tempo Institute, 2017).
"Selain punya kemampuan mengorek fakta di lapangan, wartawan juga harus punya kemampuan untuk menuliskannya dengan baik. Berita menjadi menarik bukan hanya karena materinya, tapi juga karena cara menuliskannya." (Husnun N. Djuraid, Panduan Menulis Berita, Malang: UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, 2012, h. 41)
"Filosofi surat kabar harian menekankan pada segi keunggulan dan kecepatan dalam perolehan dan penyebaran informasi. Sedangkan filosofi penerbitan majalah berita mingguan lebih banyak menekankan segi kelengkapan dan kedalaman informasi serta ketajaman analisis (AS Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature, Panduan Praktis Jurnalis Profesional, Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2014, h. 4)
"Dalam perspektif jurnalistik, setiap informasi yang disajikan kepada khalayak, bukan saja harus benar, jelas, dan akurat, tapi juga harus menarik, membangkitkan minat dan selera baca. Jadi segi perwajahan, tata letak, sangat perlu diperhatikan agar tulisan enak dibaca. Dan untuk itu dibutuhkan "seni", bukan semata urusan teknis. Itulah, antara lain, yang membedakan karya jurnalistik dengan karya ilmiah. Karya jurnalistik, di samping harus benar dan akurat, penyajiannya juga harus menarik. Sementara karya ilmiah, biasanya hanya menekankan sisi benarnya, tapi kurang menarik. Susunan paragraf karya ilmiah berbeda dengan paragraf pada karya jurnalistik (lihat AS Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature, Panduan Praktis Jurnalis Profesional, Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2014, h. 4-5)
Fungsi Utama Pers:
1. Informasi (to inform)
2. Mediasi (to mediate)
3. Koreksi (to control, to influence)
4. Edukasi (to educate)
5. Rekreasi (hiburan; to entertain)
Idealnya, dalam sebuah berita lempang (straight news), antara judul dan lead tak boleh jauh berbeda. Judul yang baik harus diambil dari lead. Dan lead yang baik pun harus sesuai judul. Judul bisa langsung diambil dari lead (lihat Husnun N Djuraid, Panduan Menulis Berita, Malang: UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, 2012, h. 78-80)
Ketentuan Penulisan Lead Berita versi Husnun N Djuraid:
1. Berisi kalimat langsung yang mudah dipahami
2. Memenuhi unsur 5W+1H
3. Ditempatkan di alinea pertama
4. Maksimal tiga kalimat yang tak bertele-tele
5. Berisi hal terpenting dari berita (lihat Husnun N Djuraid, Panduan Menulis Berita, Malang: UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, 2012, h. 81)
"Saat ini banyak yang tak memahami fungsi lead. Banyak yang mencoba membuat variasi lead yang tak sesuai kaedah jurnalistik. Padahal, fungsi lead adalah sebagai panduan bagi pembaca untuk mengetahui apa yang tertulis di bagian lain dari berita. Paling tidak, dengan membaca lead, orang sudah bisa tahu tentang materi berita yang sesungguhnya." (lihat Husnun N Djuraid, Panduan Menulis Berita, Malang: UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, 2012, h. 81-82)
"Banyak ahli komunikasi yang mengatakan, bila Anda gagal menggaet pembaca pada kata-kata pertama, Anda akan kehilangan pembaca itu." --AS Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature, Panduan Praktis Jurnalis Profesional, Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2014, h. 198.
Running news: berita berkesinambungan
Feature tak bisa dipisahkan dari 'jurnalistik investigasi', karena hasil investigasi butuh penulisan yang panjang dan komprehensif. Hasil investigasi tak cukup ditulis dalam bentuk 'straight news' yang dibatasi kaedah jurnalistik dengan konsep keterbatasan ruang. Banyak data yang diperoleh di lapangan tak cukup ditulis dalam sebuah tulisan pendek (Husnun N Djuraid, Panduan Menulis Berita, Malang: UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, 2012, h. 91-92)
"Semakin banyak bahan, semakin mudah menulis feature." (Husnun N Djuraid, Panduan Menulis Berita, h. 98)
"Kalau ingin menulis feature yang baik, maka harus banyak membaca feature. Ada ketentuan dalam dunia jurnalistik, bahwa untuk menjadi penulis yang baik, harus menjadi pembaca yang baik." (Husnun N Djuraid, Panduan Menulis Berita, h. 99)
"Kalimat yang tak bisa dipakai dalam penulisan straight news, bisa dipakai dengan leluasa dalam penulisan feature. Penulis feature yang baik merupakan gabungan antara wartawan dan sastrawan. Dengan kemampuan mengolah kata-kata dan merangkainya dalam kalimat yang indah." (Husnun N Djuraid, Panduan Menulis Berita, h. 101)
"Layaknya sebuah berita, maka harus ada kutipan yang berasal dari pernyataan langsung sumber berita. Sesuai prinsip berita yang berasal dari fakta, maka pernyataan sumber berita harus ditulis secara langsung." (Husnun N Djuraid, Panduan Menulis Berita, Malang: UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, 2012, h. 86)
Lima Tingkatan Narasumber versi Majalah TEMPO:
Kualitas informasi yang diberitakan kepada khalayak ditentukan, antara lain, oleh kualitas dan kredibilitas narasumber.
Ada lima tingkatan narasumber yang harus diperhatikan oleh setiap wartawan TEMPO ketika merencanakan wawancara:
1. Pelaku dan korban (dua ini yg punya kredibilitas paling tinggi)
2. Saksi mata (sering saksi mata punya info detail yang tak dipunyai pelaku maupun korban)
3. Pihak berwenang (polisi, petugas forensik dokter, hakim, jaksa, pimpinan lembaga, atau pihak berwenang lainnya. Mereka jadi narasumber karena kewenangan tertentu)
4. Pengamat (mereka menjadi narasumber karena keahliannya. Dalam kasus tertentu, akan lebih baik bila ada pendapat dua ahli yang saling tak sependapat. Sebagai narasumber, sebenarnya mereka berada di lingkaran paling jauh dari sebuah peristiwa). (lebih jelas, lihat Purwanto Setiadi dkk [peny.], Jurnalistik Dasar: Resep dari Dapur Tempo, Jakarta: Tempo Institute, 2017, h. 102-103).
"Sama halnya dengan kemahiran memainkan instrumen bagi musikus, menulis merupakan keterampilan yang wajib dikuasai wartawan. Jimi Hendrix, misalnya, mustahil populer dan terus dikenang sebagai gitaris, andai yang bisa ia lakukan hanya mengelap alat musiknya." --Purwanto Setiadi dkk [peny.], Jurnalistik Dasar: Resep dari Dapur Tempo, Jakarta: Tempo Institute, 2017, h. 105
Kemampuan paling esensial wartawan Tempo adalah menembus sumber berita, mencintai menulis, dan membaca. "Menulis bagus dimulai dengan membaca bagus," ujar Amarzan Loebis, redaktur senior yang bertugas mengevaluasi tulisan wartawan Tempo. --Purwanto Setiadi dkk [peny.], Jurnalistik Dasar: Resep dari Dapur Tempo, Jakarta: Tempo Institute, 2017, h. 7
"Membaca buku atau media yang baik akan menempa seseorang menjadi penulis yang baik. Di masa kepemimpinan GM di Majalah Tempo, membaca fiksi dan media asing merupakan kewajiban wartawan Tempo. --Purwanto Setiadi dkk [peny.], Jurnalistik Dasar: Resep dari Dapur Tempo, Jakarta: Tempo Institute, 2017, h. 7
Proses belajar di Tempo tak berhenti saat tulisan sudah jadi. Amarzan Loebis dan Leila S. Chudori akan mengevaluasi edisi Tempo tiap Selasa. Kelas Selasa ini mengupas dari titik koma, pilihan kata, kalimat, paragraf, hingga logika tulisan. Di luar itu, wartawan mau tak mau, harus belajar tentang hal-ihwal peliputan. --Purwanto Setiadi dkk [peny.], Jurnalistik Dasar: Resep dari Dapur Tempo, Jakarta: Tempo Institute, 2017, h. 7
Wartawan Tempo tak boleh puas hanya dengan mendapatkan informasi dari keterangan resmi. Wartawan harus mampu menembus sendiri narasumber dan mewawancarainya. --Purwanto Setiadi dkk [peny.], Jurnalistik Dasar: Resep dari Dapur Tempo, Jakarta: Tempo Institute, 2017, h. 7
Sebagai bekal wawancara, wartawan wajib menghimpun bahan dari riset. Saat wawancara, informasi digali untuk pembaca, bukan untuk wartawan. --Purwanto Setiadi dkk [peny.], Jurnalistik Dasar: Resep dari Dapur Tempo, Jakarta: Tempo Institute, 2017, h. 7
Dengan riset, reportase, dan wawancara, wartawan Tempo dituntut bisa membuat laporan yang detail, ekslusif, lengkap, dan berimbang atau cover both side. Standar ini tak hanya berlaku untuk laporan mendalam (depth reporting), tapi juga untuk berita keras, feature, dan laporan investigasi. Saat menuliskan reportase, wartawan dituntut bisa menuliskannya dengan utuh dan terperinci. --Purwanto Setiadi dkk [peny.], Jurnalistik Dasar: Resep dari Dapur Tempo, Jakarta: Tempo Institute, 2017, h. 8
Foto harus mengandung informasi bagi pembaca, tak melulu jadi pelengkap artikel berita. Pekerjaan fotografer mirip wartawan berita. Bukan sekedar pemanis teks, foto di media massa berfungsi sebagai fakta visual untuk merekam dan merekonstruksi peristiwa. --Purwanto Setiadi dkk [peny.], Jurnalistik Dasar: Resep dari Dapur Tempo, Jakarta: Tempo Institute, 2017, h. 237
Ragam Foto Jurnalistik
Secara umum, ada empat jenis foto berita yang sering muncul di media massa: foto hard news atau spot news, foto feature atau soft news, foto potret, dan foto ilustrasi. --Purwanto Setiadi dkk [peny.], Jurnalistik Dasar: Resep dari Dapur Tempo, Jakarta: Tempo Institute, 2017, h. 238
"Pada prinsipnya, siapa saja punya peluang menulis opini di media massa. Wartawan juga boleh, tapi bukan di dalam berita. Opini punya tempatnya sendiri. Media massa konvensional, misalnya, menyediakan halaman opini dalam bentuk editorial dan kolom." --Purwanto Setiadi dkk [peny.], Jurnalistik Dasar: Resep dari Dapur Tempo, Jakarta: Tempo Institute, 2017, h. 73
Bahasa yang sederhana dan jernih yang disampaikan melalui kalimat-kalimat pendek akan lebih mudah dipahami ketimbang paragraf panjang penuh istilah ilmiah. Beberapa kata yang tak efektif bisa dipangkas untuk menghasilkan tulisan yang padat. Misalnya "oleh", "yang", "untuk", "adalah", "itu", dan "tersebut". --Purwanto Setiadi dkk [peny.], Jurnalistik Dasar: Resep dari Dapur Tempo, Jakarta: Tempo Institute, 2017, h. 79
========
Seorang wartawan, terutama dalam situasi kedaruratan, semestinya juga seorang “aktivis”, seorang man of action. Goenawan Mohamad (GM) adalah personifikasi wartawan co aktivis itu. Aktivisme itulah yang menurut saya ditanamkan dan terus dipupuk GM dan para pendiri Tempo dalam ruang redaksi Tempo sejak lama. Sebagai pribadi, GM adalah warga negara yang selalu gelisah menatap negerinya. Dia tidak bisa berdiam diri melihat keadaan. Dia tidak tahan berlama-lama dalam kesendirian. Dia selalu bergerak dan mengajak orang sekitar untuk bergerak. Dia menjadikan tulisan sebagai sarana perjuangan. Kebebasan pers tidak hanya dipahami sebagai kebebasan untuk mendirikan media atau untuk menyampaikan fakta secara apa adanya. Selalu muncul pertanyaan, setelah kebebasan itu diraih dan dijalankan, apa dampaknya terhadap kehidupan bersama? Pendek kata kebebasan pers mesti fungsional terhadap upaya untuk mengatasi ketimpangan sosial, ketidakadilan, sumbatan komunikasi politik perendahan terhadap hak asasi manusia. Kebebasan pers bukan bertujuan pada dirinya sendiri melainkan untuk mencapai substansi yang lebih tinggi: kemanusiaan dan keadilan sosial. Majalah Tempo mengemuka sebagai episentrum perjuangan politik untuk menumbangkan Rezim Orde Baru. Dari sudut pandang etika jurnalistik, orang mungkin bertanya: bagaimana dengan azas netralitas media? Ketika rezim Orde Baru berhadapan dengan kelompok pro demokrasi, mengapa Tempo berpihak kepada salah satu pihak? Mengapa Tempo membiarkan diri terjebak dalam sebentuk aktivisme? Jawabannya adalah karena dalam situasi darurat. Dalam situasi yang ditandai dengan imbalance power relation, netralitas sering justru menjadi persoalan. Netralitas menjadi lekat dengan imoralitas ketika “yang jahat” berhadapan dengan “yang buruk” “yang kuat” berhadapan dengan “yang lemah”, dan media massa masih saja berada di tengah-tengah. Apa benar pers harus netral ketika otoritarianisme berhadapan dengan gerakan pro demokrasi? Dalam spektrum kedaruratan itu, yang merupakan nuansa dominan dari kehidupan politik Indonesia pada dekade 1990-an, Tempo berpihak kepada gerakan pro demokrasi. Sebuah keberpihakan yang memiliki pendasaran moral. Media massa tak boleh melulu berasyik-masyuk dengan partikularnya sebagai perusahaan. Kebebasan pers mesti senantiasa fungsional terhadap reformasi politik, perjuangan kemanusiaan, gerakan anti korupsi. (Agus Sudibyo, "Jurnalisme sebagai Lokus Tindakan Politis, Sumbangsih Goenawan Mohamad", dalam Ayu Utami [ed], Membaca Goenawan Mohamad, Jakarta: KPG [Kepustakaan Populer Gramedia], 2022, h. 21-23)
======
0 komentar:
Posting Komentar