alt/text gambar

Senin, 03 Februari 2025

Topik Pilihan: ,

Harapan di Tengah Kelesuan Gerakan Sosial

Oleh Sri lndiyastutik 


Politik itu tidak selalu terjadi—politik sebenarnya terjadi sangat sedikit atau jarang.” 

Jacques Ranciere, Disagreement: Politics and Philosophy, 1999.


KUTIPAN DI atas saya gunakan untuk mengawali tulisan ini dalam rangka menanggapi beberapa karya tulis Goenawan Mohamad yang berkaitan dengan pemikiran filosofis Jacques Ranciere. 

Jacques Ranciere adalah salah satu filsuf kontemporer Prancis yang dikenal dengan pemikirannya tentang kesetaraan. Pemikiran filsafatnya mencakup kesetaraan dalam pendidik, politik, dan seni.

Karya-karya filsuf kelahiran Aljazair pada 1940 yang kini masih hidup dan bermukim di Prancis ini, berhasil menarik tanggapan para pemikir filsafat di Prancis maupun di negara lainnya. Kelesuan gerakan sosial yang terjadi pada dua dekade terakhir ini, membuat karya-karya Ranciere tentang kesetaraan banyak diulas, diperdebatkan, dan ditafsirkan untuk memaknai fakta-fakta sosial. 

Goenawan Mohamad (GM) adalah salah satu pemerhati dan pembaca serius karya-karya filsafat yang beberapa kali juga mengulas dan menggunakan pemikiran Ranciere dalam tulisan-tulisannya di “Catatan Pinggir” majalah Tempo maupun artikel lainnya. 

Beberapa Istilah Kunci dalam Pemikiran Ranciere 

Sebelum menanggapi lebih lanjut terhadap tulisan-tulisan GM tentang Ranciere, saya ingin menyampaikan sejumlah pengertian kunci dalam pemikiran filsafat Ranciere agar ulasan ringkas ini terasa mengalir. Beberapa istilah kunci tersebut adalah politik, police (atau oleh GM diterjemahkan sebagai polisi), the wrong/demos (saya menerjemahkan sebagai 'yang salah'), dan kesetaraan. 

Pengertian politik dalam pemikiran Ranciere bukanlah sebuah bentuk tata pemerintahan, pemilihan umum, partai politik, perdebatan para anggota DPR dalam rapat-rapat di parlemen, atau bentuk-bentuk kegiatan untuk merebut kekuasaan. Politik adalah gangguan terhadap tatanan sosial mapan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak dihitung atau luput dari hitungan dalam rangka menguji kesetaraan. 

“Politik adalah ruang tindakan orang-orang kebanyakan yang selalu berada dalam perselisihan, hubungan antara bagian-bagian yang hanya menjadi bagian dan mereka 

yang dianggap tidak pernah setara dengan keseluruhan yang punya bagian tersebut. [...] Politik ada melalui gerakan kuat untuk melepaskan diri dari kebiasaan sebuah penilaian bahwa ada bagian yang tidak memiliki bagian dan yang bukan apa-apa. [...] Politik diawali oleh “yang salah”. [...] Yang salah di mana mereka menyebabkan munculnya politik bukanlah kerusakan yang harus diperbaiki. Ini adalah kemunculan mereka yang tidak dapat diukur (incommensurable) pada inti pembagian lembaga-lembaga yang berhak berbicara (speaking bodies). [...] Politik tidak terjadi karena seseorang, dengan keistimewaannya untuk berbicara, menempatkan kepentingannya di masyarakat umum. Politik terjadi karena mereka yang tidak punya hak untuk dihitung sebagai pengada/manusia yang berbicara (speaking beings) membuat diri mereka dihitung."

Secara tegas, Ranciere membedakan antara politik dan police (polisi). Hal ini memperjelas pemikirannya bahwa tidak semua tindakan bisa disebut politik. Menurutnya, jika semua dapat disebut politik, maka politik itu tidak ada. 

Ringkasnya, police adalah tatanan sosial dominan di mana di dalamnya terdapat bagian-bagian untuk orang-orang yang dianggap berguna dalam tatanan tersebut. Pembagian itu berdasarkan prinsip utama yang disebut arkhe, yaitu kriteria untuk menentukan kelayakan seseorang atau sekelompok orang untuk mengatur atau memerintah. Kriteria tersebut diangga melekat pada mereka secara alamiah (terberi), misalnya keningratan, umur yang lebih tua, kepakaran, kekayaan, dan bakat. 

Police (tatanan sosial) adalah sebuah tatanan kesatuan-kesatuan yang menentukan bagaimana cara bertindak, cara berada, dan cara berkata-kata, serta melihat bahwa kelompok-kelompok tersebut ditentukan berdasarkan nama yang menunjuk tempat dan peran tertentu; inilah sebuah tatanan tentang apa yang bisa dilihat dan dikatakan, yang menentukan bahwa suatu aktivitas terlihat sedangkan aktivitas lain tidak terlihat, bahwa berbicara dipahami sebagai diskursus sedangkan yang lain sebagai suara yang gaduh.”

Ranciere menyebut orang-orang yang tidak dihitung sebagai bagian dari tatanan dominan sebagai the wrong (yang salah) atau demos. Ada beberapa ciri yang bisa saya sarikan dari tulisan Ranciere dalam buku Disagreement (hlm. 21—60). Pertama, mereka tidak memiliki kualifikasi untuk memerintah karena prinsip-prinsip alamiah (misalnya keturunan bangsawan), tidak punya pengetahuan, serta dianggap tidak punya peran dan tidak berguna di dalam tatanan sosial. Kedua, keberadaannya dianggap berbahaya karena akan mengacaukan tatanan. Ketiga, tidak memiliki kemampuan untuk berbicara, atau ringkasnya kemampuan berpikirnya tidak cukup untuk menjadi rekan yang setara. Mereka bisa memahami perintah dan mematuhinya, tetapi tidak bisa menentukan perintah untuk dirinya sendiri. Ranciere memberi contoh budak, “budak adalah seseorang yang terlibat dalam berpikir sejauh hal ini untuk mengenalinya, tetapi tidak memilikinya.” Keempat, belum ada dalam menu tatanan sosial dominan. 

Ketika orang-orang yang tidak dihitung dalam tatanan sosial tersebut mengganggu kemapanan tatanan berdasarkan kesetaraan sebagai titik tolaknya, lalu tatanan tersebut berubah, atau lebih tepatnya bertransformasi, di situlah politik terjadi. 

Kesetaraan dalam pemikiran Ranciere menyasar dua hal, yaitu kesetaraan berbicara (speech) dan pembagian-pembagiaan ruang indrawi (the distribution of the sensible) dalam tatanan masyarakat. Bangunan gagasan kesetaraan Ranciere adalah kesetaraan bagi setiap orang dan semua orang. Gagasan itu melampaui pengertian membagi-bagi secara sama rata bagi semua orang atau membagi berdasarkan kapasitas dan seberapa besar peran seseorang/kelompok. Kesetaraan dalam hal ini pada akhirnya adalah ketiadaan arkhe, sifat kontingen dari setiap tatanan sosial. 

Selain itu, Ranciere menempatkan kesetaraan sebagai pengandaian, titik tolak, dan kontingen dalam tatanan sosial dominan. Kesetaraan terjadi jika orang-orang yang tidak dihitung tersebut mengujinya atau memverifikasinya melalui tindakan mempertanyakan atau mengganggu kamapanan tatanan sosial dominan. Jadi, kesetaraan bukanlah bagian dari etika atau tujuan akhir dari sebuah tindakan seseorang atau sekelompok orang. Dari sini, penjelasan lanjutannya adalah bahwa tatanan sosial dominan (police) bukanlah sebuah ontology, melainkan kontingen atau tidak ajeg. Tatanan itu bisa diubah (lebih tepatnya ditransformasi), walaupun tatanan tersebut seringkali sangat kokoh sehingga sulit untuk digoyahkan oleh mereka yang tidak dihitung. 

Keberhasilan mengubah tatanan dominan juga bergantung pada kekuatan dan militansi kehendak yang dimiliki oleh orang-orang tak dihitung itu. Kekuatan kehendak juga merupakan sesuatu yang kontingen. Oleh karenanya, politik jarang terjadi. 

Berangkat dari rangkuman beberapa pemikiran filsafat Ranciere di atas, saya menelaah beberapa tulisan GM tentang pemikiran filsuf Prancis tersebut dalam beberapa bagian tulisan di bawah ini. 

Sang Antah 

Sang Antah, diksi indah ini digunakan oleh GM untuk menerjemahkan orang-orang yang tidak dihitung dalam tatanan sosial. Penggunaan diksi Sang Antah di dalam artikel berjudul “Demokrasi dan Kekecewaan”, tepat menggambarkan pengertian the wrong atau demos dalam pemikiran Ranciere. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “antah” berarti orang yang dianggap tidak berguna (dalam masyarakat). GM tidak memberikan penjelasan khusus mengapa ia menggunakan huruf kapital di awal kedua kata tersebut. Di dalam filsafat, penggunaan huruf kapital di awal sebuah kata biasanya memiliki pengertian tertentu yang menunjuk pada makna tertentu atau membedakannya dari kata lain yang ditulis sama. Misalnya antara “Other” dan “other” dalam pemikiran Emmanuel Levinas merupakan dua pengertian yang berbeda. 

Di dalam artikel tersebut, GM juga menggunakan istilah turah. Turah adalah kata dalam Bahasa Jawa yang berarti berlebih. Saya menduga, GM menafsir the wrong sebagai turah adalah merujuk pada istilah suplemen dari pemikiran Ranciere tentang the wrong. Menurut Ranciere, ketika the wrong berhasil mentransformasi tatanan sosial sehingga ia/mereka yang sebelumnya tidak dihitung menjadi dihitung, maka ia/ mereka menjadi suplemen dalam tatanan itu. 

“Demos adalah orang-orang kebanyakan (people) yang menjadi suplemen (tambahan) pada bagian dari komunitas—penulis menafsirnya sebagai yang dihitung dari semula tidak diperhitungkan [...] yang berlawanan dengan segala bentuk kualifikasi untuk memerintah”.

“Mereka adalah suplemen abstrak dalam hubungannya dengan segala bentuk penghitungan aktual terhadap bagian-bagian dari populasi, tentang kualifikasi mereka mengambil bagian di dalam komunitas.” 

Jika dugaan saya benar, menurut saya, penggunaan kata turah kurang pas dalam konteks the wrong dalam pemikiran Ranciere. Kata turah menurut saya tidak sepenuhnya bisa menggambarkan tentang the wrong sebagai suplemen dalam tatanan sosial yang bertransformasi karena verifikasi kesetaraan yang dilakukannya. 

Siapa saja yang bisa disebut Sang Antah, juga tepat digambarkan GM dalam artikel berjudul “Representasi” yang dimuat di Tempo, 2 Oktober 2011. Di dalam artikel ini, GM menyampaikan kelemahan praktik demokrasi liberal saat ini yang menampilkan para wakil rakyat (DPR, kabinet, para penegak hukum) yang korup, angkuh, dan sangat jauh dari orang-orang yang teraniaya. GM menyebut orang-orang teraniaya ini adalah “mereka yang tak masuk hitungan dalam percaturan kekuasaan: umat Ahmadiyah yang dibakar rumah ibadahnya dan diusir bahkan dibunuh, orang Kristen yang dicegah menggunakan gereja mereka, buruh tambang yang digaji begitu tak adil, pekerja seks yang diusir, seniman yang dilarang karyanya.” 

Jika waktu ditarik mundur ke belakang yaitu sebelum 1965, tulisan GM tentang gagasan-gagasan Manifes Kebudayaan yang mengisahkan pemasungan kebebasan para penyair untuk menulis di luar agenda revolusi, dapat menjadi contoh orang-orang yang bisa disebut Sang Antah. Doktrin revolusi didesakkan menjadi agenda kebudayaan yang salah satunya 'memaksakan' semua karya sastra harus ditulis untuk tujuan revolusi. Ketika tidak menulis isi yang menunjukkan penekanan tujuan akhir revolusi, atau jika berani mengkritik kebijakan revolusi yang mengarah kepada sosialisme, maka karya seorang penyair bisa dilarang beredar atau ditangkap. Semua pintu tertutup untuk ekspresi gagasannya dalam karya sastra atau bentuk seni lainnya. 

Demokrasi dan Kekecewaan 

Kisah seorang perempuan muda bernama Nia, aktivis yang pernah bergabung dalam demonstrasi besar dilapangan Tahrir, Mesir, pada 24 Januari 2011, saya gunakan untuk mengawali tanggapan terhadap topik kekecewaan pada demokrasi. GM, dalam artikel berjudul “Kemudian” yang dimuat di Tempo (2 Februari 2012), menyinggung tentang nostalgia optimisme para demonstran, termasuk Nia, yang telah berhasil menggulingkan Presiden Mubarak. Pada waktu itu, mereka penuh harap akan terjadinya perubahan. 

Namun setelah satu tahun berlalu, situasi ternyata belum berubah, “militer masih berkuasa; harga pangan dan bensin masih tinggi—seakan-akan kedua hal itu berhubungan. Memang bagi banyak orang, ada jalan terang yang mulai terbuka: berlangsungnya sebuah pemilihan umum yang bebas, yang pertama dalam 60 tahun. Siapa pun yang menang adalah suara rakyat banyak yang sah.” 

Lebih lanjut, GM berandai-andai. Jika ada pertanyaan, “Lalu setelah itu apa? Seorang Indonesia yang lebih tua ketimbang Nia akan menjawab dengan kearifan yang sedikit murung: Nak, harapan mudah jadi kenangan. Perubahan besar dalam politik biasanya dibuka dengan kebebasan yang luas Untuk perbaikan hidup (di Indonesia: 1945, 1958, 1966, 1993...), namun kemudian yang tersisa adalah nostalgia—seperti yang kalian rasakan di Mesir hari ini. Dan harapan yang tanggal.” 

Cerita dalam artikel GM di atas menjadi awal yang pas untuk mengupas gambaran kekecewaan terhadap demokrasi liberal, untuk masuk dalam pembelaan Ranciere terhadap demokrasi. 

Apabila artikel “Kemudian” ini dibaca secara berurutan dengan artikel lainnya yang berjudul “Demokrasi dan Kekecewaan”, maka saya menangkap bahwa penafsiran GM terhadap pemikiran filsafat Ranciere tentang demokrasi, cukup tepat. GM menuliskan bahwa demokrasi terdiri dari dua makna dan dua gerak, yaitu demokrasi sebagai bentuk lembaga dan prosedur, serta demokrasi sebagai laku. Dalam istilah Ranciere, demokrasi sebagai bentuk lembaga dan prosedur adalah police (la police). Sedangkan demokrasi sebagai laku adalah politik (la politique). Yang pertama berkaitan dengan menata atau membagi-bagi oleh para oligark, sedangkan yang kedua berkaitan dengan laku orang-orang tak dihitung yang menguji kesetaraan dengan mengganggu atau mempertanyakan tatanan dominan. 

Dalam “Demokrasi dan Kekecewaan”, GM menampilkan sejarah masa lalu mengenai tuntutan pembubaran parlemen pada 1958 yang ditanggapi oleh Presiden Sukarno dengan membubarkan parlemen dan mengubahnya menjadi demokrasi terpimpin. Setelah peralihan kekuasaan ke Orde Baru di bawah Presiden Soeharto, diubah menjadi demokrasi Pancasila yang berkembang menjadi praktik otokrasi hingga dilengserkan oleh demonstrasi besar pada 1998 yang berujung pada pengunduran diri Soeharto. 

Orde reformasi yang ditandai oleh peristiwa 1998, berkembang pada kembalinya demokrasi liberal dengan penyelenggaraan Pemilu regular, partisipasi rakyat memilih para wakilnya melalui partai politik, penyusunan legislasi oleh para anggota dewan, serta aneka pengawasan pelaksanaannya. 

Secara khusus, saya ingin menambahkan tentang euforia rakyat dari berbagai latar belakang dan hirarki sosial menggemakan suara untuk mengusung calon presiden dari kalangan rakyat biasa pada 2014 hingga berhasil menempatkan Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden. Lima tahun kemudian, walau sejumlah kekecewaan muncul pada Jokowi karena dianggap mengingkari beberapa janji sebelum terpilih, rakyat kembali memilihnya dengan salah satunya menggemakan citra pelanggar HAM terhadap pihak lawan politiknya. 

Aneka kekecewaan publik terus muncul, salah satunya dalam wujud demonstrasi besar yang melibatkan mahasiswa di DPR dan banyak tempat untuk menolak RUU KUHP dan Omnibus Law. Namun, tampaknya publik masih menaruh kepercayaan pada demokrasi liberal ini. Dengan kata lain, walau kadar kekecewaan tersebut semakin menguat di sana sini, namun bentuk demokrasi liberal ini layak untuk dijalani. 

Kembali pada artikel “Demokrasi dan Kekecewaan”, GM mengaitkan peristiwa-peristiwa ketegangan oleh tuntutan perubahan di atas dengan memperkenalkan pemikiran filsafat Ranciere tentang politik. Ringkasnya, GM cukup tepat memaparkan pemikiran Ranciere dan menggunakannya untuk menelaah bahwa ketegangan terjadi antara police dan politik. Police (diterjemahkan sebagai polisi atau sang penjaga) bersifat oligarkis yang dalam hal ini terus berusaha meniadakan politik, yaitu politik yang dilakukan oleh Sang Antah untuk menuntut kesetaraan, atau lebih luasnya GM menyebut menuntut keadilan.

Berdasarkan pada penjelasan GM yang saya parafrase pada paragraf di atas, saya menafsir bahwa GM memaknai demokrasi di mana politik ada di dalamnya. Demokrasi dalam hal ini bukanlah bentuk pemerintahan demokrasi liberal, melainkan demokrasi sebagai laku/tindakan untuk menguji kesetaraan yang dilakukan oleh para Sang Antah atau yang turah terhadap tatanan dominan yang berkuasa atau memerintah (police). 

GM tampaknya juga terinspirasi dan terkuatkan harapannya terhadap demokrasi melalui pemikiran Ranciere ini. Berikut ini kutipan dari artikel “Demokrasi dan Kekecewaan”: 

“Dengan memakai pemikiran Ranciere, saya berharap dapat menunjukkan bahwa kekecewaan terhadap demokrasi liberal adakah sesuatu yang sah dan harus dinyatakan. [....] Satu-satunya jalan yang masih terbuka adalah selalu dengan setia mengembalikan politik sebagai perjuangan. Jalan yang ditempuh tak bisa dirumuskan sebelumnya; selalu diperlukan keluwesan untuk memilih metode, baik melalui perundang-undangan atau justru melawan perundang-undangan, baik melalui partai ataupun melawan partai.” 

Kutipan tersebut sejalan dengan pembelaan Ranciere terhadap demokrasi, dalam hal ini demokrasi oleh para demos/yang salah/Sang Antah untuk mempertanyakan atau mengganggu tatanan sosial dominan. Demokrasi sebagai dissensus yang mengganggu aneka konsensus yang dibuat oleh para oligark yang berkuasa dalam pemerintahan maupun tatanan masyarakat dominan. Di dalam tatanan demokrasi liberal, politik yang digerakkan Sang Antah untuk menguji atau mendesakkan kesetaraan, memungkinkan untuk terjadi tanpa harus takut ditumpas. 

“Kita hidup di dalam Negara hukum oligarkis, dengan kata lain, di Negara di mana kekuasaan oligarki dibatasi oleh pengakuan ganda terhadap kedaulatan umum dan kebebasan individual. Kita tahu keuntungan-keuntungan Negara seperti ini demikian pula keterbatasan-keterbatasannya. Mereka mengadakan pemilihan-pemilihan umum yang bebas. Pemilihan-pemilihan umum tersebut pada dasarnya memastikan bahwa personil dominan yang sama direproduksi, meskipun di bawah label-label dapat diganti, namun kotak-kotak suara secara umum tidak dicurangi dan seseorang dapat memverifikasinya tanpa risiko mempertaruhkan nyawa seseorang. Pemerintahannya tidak korup, kecuali dalam kontrak publik di mana administrasinya dikacaukan dengan kepentingan-kepentingan pihak-pihak yang dominan. Kebebasankebebasan individual dihormati, meskipun di sini ada pengecualian-pengecualian khusus untuk dilakukan dengan apapun yang berhubungan dengan perbatasan dan keamanan teritorial. Ada kebebasan pers: siapapun yang ingin memulai dengan koran atau stasiun-stasiun tanpa dukungan kekuatan finansial akan mengalami kesulitan yang serius, namun dia tidak akan dijebloskan ke penjara. Hak-hak untuk berserikat, berkumpul dan berdemonstrasi menjamin kehidupan demokrasi organisasi, yaitu, kehidupan yang independen dari arena Negara. 'Jaminan' sebenarnya adalah kata yang ambigu. Kebebasan-kebebasan tersebut bukanlah pemberian para oligark. Mereka dimenangkan melalui tindakan-tindakan demokratis dan hanya dijamin melalui tindakan seperti itu. Hak asasi manusia dan warga negara adalah hak bagi mereka yang memperjuangkannya menjadi sebuah kenyataan.”

Bagi penghuni tatanan sosial dominan, keberadaan Sang Antah sangat mengganggu. Menurut saya, ekstremnya begini, “kalau bisa disingkirkan kenapa tidak, ketiadaannya akan membuat tatanan menjadi adem ayem, tak lagi gaduh.” Untuk meredam kegaduhan dan ketegangan, tatanan dominan berusaha mengendalikannya. GM dalam artikel berjudul “Demos” menyebut rasa cemas untuk menggambarkan ketidaknyamanan para oligark terhadap potensi kemunculan Sang Antah (rakyat atau kerumunan yang lebih banyak dianggap pembuat gaduh itu--tambahan penulis), “Di abad ini kita bicara tentang ”rakyat” (kadang disebut sebagai ”massa”) dengan lebih hormat. Yang menarik ialah, ditutupi atau tidak, orang sebenarnya tetap cemas dalam memandang ”rakyat” yang terhormat itu.” 

Namun, harapan terhadap demokrasi adalah kabar gembira bagi Sang Antah. Saya ingin menambahkan tulisan Ranciere ini untuk sekadar menegaskan tafsir GM terhadap nuansa harapan pada demokrasi. 

“Demokrasi sama telanjangnya dalam hubungannya dengan kekuatan kekayaan seperti halnya kekuatan kekerabatan yang saat ini datang untuk membantu dan untuk menyainginya. Demokrasi tidak berdasarkan pada segala hal yang alamiah, bukan pula berdasarkan, pada jaminan bentuk kelembagaan. Demokrasi tidak ditanggung oleh segala hal yang berkaitan dengan keharusan sejarah dan tidak pula memikul apa pun. Demokrasi hanya dipercayakan pada keajegan tindakan khususnya. Demokrasi dapat memicu ketakutan dan juga kebencian, di antara mereka yang biasanya menggunakan kepakaran pemikiran. Namun, di antara mereka yang tahu bagaimana berbagi dengan setiap orang dan semua orang tentang kesetaraan kekuatan akal budi, demokrasi sebaliknya dapat menginspirasi keberanian, dan oleh karenanya menjadi suka cita.” 

Di dalam tafsiran GM terhadap pemikiran Ranciere tentang politik, saya menangkap ada dua hal yang terasa kurang tepat penggambarannya, yaitu pada penekanan GM bahwa laku adalah, "tindakan yang terus-menerus merebut monopoli atas kehidupan publik dari pemerintahan yang oligarkis.” Yang saya cermati adalah, pertama, pada frasa “terus-menerus” di dalam kalimat tersebut. Hal ini saya kaitkan dengan penafsiran saya terhadap makna kontingensi dalam politik dan kehendak Sang Antah/the wrong/yang salah. Karena keduanya kontingen atau tidak ajeg, maka kekuatan kehendak dari para Sang Antah tersebut juga tidak ajeg. Kehendak bisa terpicu kapan saja ketika diri Sang Antah merasa teremansipasi yang membawanya pada sebuah kesadaran bahwa dirinya setara dengan orang lain yang berada di tatanan dominan. Atau sebaliknya, kehendaknya tidak terpicu untuk bergerak mempertanyakan logika ketidaksetaraan dari tatanan dominan. 

Kedua, pada frasa “merebut monopoli atas kehidupan publik dari pemerintahan yang oligarkis.” Saya menafsirkan frasa ini sebagai Sang Antah “mengambil alih” monopoli atas kehidupan publik dari para oligark. Menurut saya, frasa ini dekat dengan makna “revolusi”. Sementara itu kondisi pasca-demokrasi yang diakibatkan oleh gangguan Sang Antah terhadap tatanan dominan adalah “transformasi” tatanan, artinya tatanan yang terdahulu masih ada di dalamnya dan berubah karena penyisipan atau suplemen keberadaan Sang Antah yang kini telah berubah menjadi oligark, menjadi bagian dari tatanan dominan. Dari bacaan saya terhadap pemikiran para anggota Manifes Kebudayaan pada tahun 60-an, yang di dalamnya termasuk GM, mereka bukan penganut pemikiran revolusi yang merombak semua tatatan menjadi tatanan yang sama sekali baru. Namun khusus untuk frasa ini, menurut saya terlalu kiri dalam konteks tafsir terhadap pemikiran Ranciere. 


Daftar Pustaka 


Bowman, Paul & Stamp, Richard, eds. Reading Ranciere: Critical Dissensus. London & New York: Continuum International Publishing, 2011.

Mohamad, Goenawan. “Demokrasi dan Kekecewaan. ” PUSAD, 2009

Mohamad, Goenawan. Marxisme, Seni, Pembebasan 

Mohamad, Goenawan. “Representasi.” Catatan Pinggir, Tempo 10 

Mohamad, Goenawan. “Kemudian.” Catatan Pinggir, Tempo 10

Mohamad, Goenawan. “Demos.” Tempo, 28 September 1984 

Mohamad, Goenawan. “Subaltern” Catatan Pinggir 12

Indiyastutik, Sri. Disensus: Demokrasi sebagai Perselisihan menurut Jacques Ranciere. Penerbit Buku Kompas (PBK), 2019. 

Jacques Ranciere, Disagreement: Politics and Philosophy. Terj. Rose, Julie. Minneapolis: the University of Minnesota Press, 1999.

-----------------------------. Hatred of Democracy. Terj. Corcoran, Steve. London: Verso, 2006

-----------------------------. Dissensus: on Politics and Aesthetics. Terj. Corcoran, Steven. London & New York: Continuum International — Publishing Group, 2010.


Sri Indiyastutik, alumnus pascasarjana STF Driyarkara, Jakarta 2016, dengan tesis tentang filsafat politik Jacques Ranciere. Bekerja di YAPPIKA-ActionAid sebagai Direktur Fundraising. 

Sumber tulisan: Sri Indiyastutik, "Harapan di Tengah Kelesuan Gerakan Sosial", dalam Ayu Utami [ed], Membaca Goenawan Mohamad, Jakarta: Penerbit KPG, 2022 h. 346-360).


0 komentar:

Posting Komentar