![]() |
Fachry Ali |
Oleh FACHRY ALI
Ketika Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) berdiri 5 Februari 1947, harapan-harapan apakah yang ditawarkannya bagi ummat Islam dan bangsa Indonesia?
Mungkin, kini, tidak terlalu banyak jawaban yang bisa diberikan untuk pertanyaan semacam itu. Kita ketahui bahwa pada masa itu, pergulatan yang paling nyata bukanlah di bidang intelektual. Medan yang paling nyata yang dihadapi masyarakat Indonesia secara keseluruhan adalah pertaruhan darah dan raga untuk mempertahankan kemerdekaan yang baru dua tahun diproklamirkan.
Selain itu, tentu saja, hiruk-pikuk kehidupan “baru” yang arus perjalanannya belum terbentuk dengan mapan—akibat revolusi—turut mempersulit bagi kita untuk menemukan jawabannya yang tepat. Perubahan dari masa kolonial ke masa kemerdekaan lebih merupakan bentuk kehidupan yang dipenuhi oleh harapan-harapan yang tidak terlalu pasti, bercampur-baur dengan keraguan tentang perkembangan masa depan.
Toh dalam situasi semacam itu, seperti pernah dikemukakan oleh Pak Lafran Pane, pendiri HMI, dalam Kongres HMI di Medan, nasionalisme Indonesia, termasuk salah satu pertimbangan utama bagi pendirian HMI. Dan, seperti juga diketahui bersama, banyak para aktivis HMI pada waktu itu, menceburkan dirinya ke dalam kancahpeperangan mempertahankan kemerdekaan. Suatu bentuk jawaban kongkret yang dibutuhkan pada masa itu.
Namun dengan pertanyaan di atas, kita bisa berefleksi diri untuk melihat perkembangan HMI di masa kini. Salah satu cara refleksi itu adalah dengan memberikan jawaban rekonstruksional atas pertanyaan di atas. Yakni menjembatani setting sosiologis-historis HMI pada waktu ia didirikan—berikut perkembangannya beberapa masa kemudian—dengan setting yang sama di masa kini. Lalu, mengaitkannya dengan makna keberadaan HMI untuk kedua masa itu.
Dengan cara ini, diharapkan kita bisa mempolakan perkembangan substansial ke-HMI-an, sejak awal hingga masa kini. Setidak-tidaknya, dengan usaha ini, HMI bisa merenungkan kembali arah dan orientasinya dalam menghadapi persoalan-persoalan kontemporer dewasa ini.
Guna mencapai tujuan tulisan ini, kita perlu sedikit memberikan konseptualisasi terhadap HMI pada masa itu, sekadar memberikan tempatnya yang agak “khas” dibandingkan dengan yang lainnya. Dengan itu pula, sosok HMI yang “tersendiri” serta makna keberadaannya di masa itu, relatif bisa dicandra. Sekaligus pula, sosoknya yang sekarang, bisa dibandingkan.
Konseptualisasi kita adalah bahwa anak-anak muda santri yang berkumpul di Universitas Islam Indonesia (kini) pada 1947 itu, yakni pada saat HMI dilahirkan, adalah pewaris sah yang paling awal dari tradisi intelektual “Islam kota” yang pernah berkembang beberapa dekade sebelumnya di masa kemerdekaan. Jika Masyumi yang didirikan pada 7 November 1945, sampai dengan 1947—yakni tahun keluarnya PSII dari Masyumi—merupakan pewaris sah dan pertama cita-cita politik Islam yang pernah dikembangkan Sarekat Islam (SI), maka HMI merupakan pelanjut dari cita-cita Jong Islamieten Bond (JIB) yang berkembang pada pertengahan dekade duapuluhan.
Capnya sebagai “pewaris yang sah” ini, terutama ditentukan oleh masa kebangkitannya yang paling awal sebagai organisasi mahasiswa, di dalam maupun di luar Islam. Dan di atas itu, adalah karena basis utamanya yang khas pada masa itu—yang tidak lagi terletak pada massa, di kota maupun di desa, melainkan di kampus-kampus. Suatu bentuk basis yang, bahkan untuk masyarakat Indonesia sekalipun, di masa itu, masih merupakan gejala baru.
Dua Ciri Utama
Dengan menyadari sosok—secara konseptual—kenyataan di atas, maka setting sosiologis-historis HMI di tengah-tengah ummat Islam dan masyarakat Indonesia, sedikit tergambar. Bahwa dalam konteks intelektual, ia secara langsung terkait dengan dinamika dan perkembangan pemikiran Islam terpelajar kota beberapa dekade sebelumnya, bahwa dalam formasi sosial masyarakat Indonesia dan ummat Islam pada waktu itu, anggota-anggotanya merupakan kelompok atau lapisan baru yang masih amat terbatas, di mana reproduksinya tidak lagi diproses dari sumber-sumber “lama” (massa desa, pesantren, kaum priyayi, dan lembaga-lembaga sosial-budaya lainnya), melainkan dari kampus. Dengan dua faktor yang menjadi ciri utamanya itu, maka tempatnya di dalam setting sosiologis-historis di masa itu, adalah lapisan atau kelompok masyarakat yang tergolong “terdepan”.
Lewat tempatnya yang strategis itulah kita bisa memberikan jawaban rekonstruksional terhadap pertanyaan di atas. Bahwa harapan-harapan yang ditawarkan HMI untuk masyarakat Indonesia dan ummat Islam pada masa itu, setidak-tidaknya terdiri dari dua hal besar. Pertama, sebagai “pewaris” tradisi intelektual dari generasi sebelumnya, HMI telah menjadi wadah yang sangat efektif untuk mengelaborasi dan mengembangkan lebih lanjut tradisi itu.
Sebagai suatu organisasi yang kehidupannya tidak bisa dipisahkan dengan kampus, usaha pengembangan lanjutan itu bisa dilaksanakan, baik dengan memanfaatkan elemen dasar internal HMI sendiri, maupun dengan memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang terdapat di dalam kampus. Lewat sistem perkaderan yang dimilikinya, lewat jumlah keanggotaannya yang besar, lewat kerja samanya dengan kampus-kampus, tradisi intelektual yang terwarisi itu, bukan saja tetap terpelihara, melainkan juga terkembangkan.
Kedua, secara generasional, HMI secara langsung telah berfungsi sebagai wadah yang mereproduksikan generasi-generasi terpelajar baru, yakni bisa berlangsung secara terus-menerus. Baik dalam hubungannya dalam masyarakat Islam, maupun dengan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Dalam arti kata lain dan dalam pengertian yang relatif lebih luas, HMI telah turut mempertebal dan memperluas lapisan menengah masyarakat Indonesia, baik dalam konteks sosial-budaya maupun sosial, ekonomi dan politik.
Dari perkembangan ini, ia secara langsung telah mengambil peranan dalam sistem kemasyarakatan baru yang terbentuk setelah Indonesia merdeka. Sebab, sebagaimana yang kita ketahui bersama, faktor tradisi intelektual dan kemunculan lapisan menengah merupakan elemen baru yang membentuk dan menunjang sistem kemasyarakatan modern. Dan memang, dalam kenyataannya, kedua faktor itu tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Keterpaduan kedua faktor tersebut di dalam tubuh HMl itulah, bersama-sama dengan kelompok-kelompok lainnya, menempatkan ia dalam posisi yang menawarkan sesuatu yang memiliki makna besar. Logikanya, perkembangan tradisi intelektual telah menjadi dasar orientasi baru bagi kaum menengah ini.
Lewat itu, ia bukan saja secara perlahan-lahan mulai menggeser orientasi lama, tetapi juga melahirkan tipe-tipe kepemimpinan baru yang lebih sesuai dengan perkembangan zaman. Sementara itu, kalangan menengah itu sendiri memberikan wadah, secara pasif maupun aktif, bagi semakin berkembangnya tradisi tersebut.
Dari sinilah pula HMI secara langsung berhubungan dengan perkembangan sistem kemasyarakatan Indonesia modern yang baru merdeka. Sebab lewat gabungan faktor-faktor di atas, dimungkinkan lahirnya tawaran tentang kehidupan yang lebih demokratis, tentang keadilan sosial, keterbukaan dan universalisme kemanusiaan. Sebab, sebagaimana terjadi di dalam masyarakat lainnya, kemunculan kaum menengah inilah yang menjadi penyangga utama sistem sosial-politik dan ekonomi yang terbuka dan modern di Indonesia.
Dan lebih dari itu, dari lapisan ini pula tersedia aneka tenaga yang diperlukan untuk merealisasikan gagasan-gagasan besar itu di dalam pola kehidupan masyarakat dan bangsa. Namun harus pula diakui bahwa terdapat kemungkinan besar, kalangan yang direproduksikan HMI belum menjadi elemen yang berarti dalam menyangga sistem sosial-politik dalam Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Terpimpin. Mengingat pada masa itu hasil reproduksinya masih sangat terbatas, maka penunjang utama kedua sistem itu, kemungkinan besar, adalah sisa-sisa elemen lama kota yang telah terbentuk sebelum kemerdekaan.
Meskipun demikian, sangat jelas pula, bahwa cikal-bakal elemen intelektual dan kaum menengah kota yang direproduksikannya sudah mulai berproses sejak dua masa di atas. Dan itulah yang secara lebih kongkret telah ditawarkan HMI di masa awal kebangkitan Orde Baru. Gelombang besar anak-anak muda santri yang memasuki universitas-universitas pada awal dan akhir dekade 50-an yang bergabung di dalam HMI, telah mengambil bagian, bersama dengan kekuatan-kekuatan lainnya, baik dalam menumbangkan Orde Lama maupun dalam merencanakan perubahan-perubahan sosial-ekonomi, politik dan budaya dalam struktur Orde Baru.
Reproduksi kaum terpelajar santri lewat organisasi ini, yang tampaknya semakin banyak pada awal dekade 70-an itu, memungkinkan bagi mereka untuk mengambil peran yang jauh lebih aktif dalam Indonesia merdeka ini, dibandingkan dengan masa kolonial—di mana sebagian besar dari mereka masih merupakan massa desa yang “pasif”.
Persoalan Pokok yang Dihadapi
Setelah Orde Baru berkembang lebih lanjut, tawaran signifikan apakah yang bisa diberikan HMI kini?
Pada hemat saya, inilah salah satu persoalan pokok yang dihadapi HMI dewasa ini. Tidak sebagaimana berdirinya, hingga awal dekade 70-an, tempat HMI dalam setting sosiologis Orde Baru tidaklah lagi sebagai kelompok “terdepan”, sebagaimana yang dinikmati oleh generasi HMI sebelumnya. Kecuali jumlah anggotanya yang masih dimitoskan besar dibandingkan dengan organisasi-organisasi mahasiswa lainnya, HMI bukan lagi satu-satunya lembaga reproduksi kaum menengah terpelajar.
Di samping HMI, banyak organisasi-organisasi sejenis yang secara perlahan-lahan telah menggeser posisinya yang dominan. Bahkan di kalangan ummat Islam sendiri posisi dominannya sedikit mulai tergeser. Di samping adanya Pelajar Islam Indonesia (organisasi yang hampir sama tuanya dengan HMI), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) serta lainnya, organisasi remaja dan pemuda masjid pun telah mulai mampu menandingi peran HMI di kampus-kampus. Di beberapa tempat, seperti terlihat di Bandung, Yogyakarta dan Jakarta, mutu perkaderan masjid-masjid kampus bahkan hampir sama tingkatannya, kalau tidak malah lebih, dibandingkan dengan mutu kader yang direproduksikan HMI.
Bersamaan dengan itu, posisinya sebagai “pewaris sah” tradisi intelektual Islam menengah kota pun mulai dipertanyakan. Walaupun tidak terlalu menonjol, secara intelektual IMM sebagai pewaris sah tradisi Muhammadiyah—salah satu eksponen yang paling dulu mengawali munculnya “Islam kota”—pun telah mulai memperlihatkan dirinya. Sementara itu, lewat PMII, kalangan Nahdliyin yang sebelumnya lebih mengakar di pedesaan, telah memunculkan dirinya sebagai bagian dari “Islam menengah kota”.
Dan masjid-masjid kampus, kini bergerak lebih otonom—terutama, karena semua eksponennya berasal dari kampus—dalam menimba dan mengembangkan pemikiran-pemikiran Islamnya yang tersendiri, tanpa harus terkait dengan HMI. Meskipun sebenarnya tokoh-tokoh masjid seperti di ITB Bandung, sebelumnya adalah kader HMI juga.
Jika di kalangan internal ummat Islam, sekalipun kedudukan HMI tidak lagi dominan, apatah lagi di kalangan masyarakat generasi muda nasional yang lebih luas. Sebagaimana yang kita ketahui, sejak Orde Baru berdiri, aneka bentuk organisasi yang didukung oleh elemen kampus dan generasi muda lainnya pun bermunculan.
Keadaan ini menyebabkan pula bahwa posisi HMI hanya merupakan salah satu elemen saja dari pertumbuhan organisasi-organisasi tersebut. Reproduksi kader yang dihasilkannya tidaklah lagi menjadi penyumbang terbesar—setidak-tidaknya memadai—bagi konfigurasi kepemimpinan generasi muda, yang justru kelak akan menjadi pemimpin bangsa di masa depan.
Dalam keadaan yang seperti ini, HMI juga dihadapkan dengan beberapa persoalan mendasar yang karena itu semua sangat mempengaruhi penampilan HMI dewasa ini. Persoalan-persoalan mendasar itu, sulit dikatakan tidak saling berhubungan. Pertama, sebagai bagian dari elemen generasi muda Orde Baru, HMI terkena proses politikisasi pemerintah. Keharusan menerima asas tunggal Pancasila, misalnya, telah menyebabkan terjadinya “keretakan” dan pengelompokan baru di dalam dirinya.
Kedua, sebagian karena politikisasi di atas, HMI terjebak dalam perdebatan-perdebatan mengenai hal-hal yang sesungguhnya bersifat “kontra-produktif”. Suatu bentuk perdebatan yang tidak menghasilkan apa-apa, kecuali kemandekan kegiatan organisasi. Ketiga, perdebatan yang bersifat “kontra-produktif” di atas telah mulai melahirkan gejala “kepicikan” dan semakin menyempitnya sikap keterbukaan. Dan pada akhirnya, tradisi intelektual, yang sebelumnya telah ditemukan kembali generasi HMI sebelumnya, relatif menjadi kurang terpelihara.
Antara lain karena ketiga faktor di ataslah yang menyebabkan penampilan HMI dewasa ini sangat terpengaruh. Semakin berkurangnya tradisi intelektual, misalnya, mungkin merupakan faktor yang paling utama yang menyebabkan ketidakcerahan penampilannya. Sebab dengan itu tidak ada lagi kerangka acuan pemikiran yang menjadi landasan bersama untuk mendialogkan aneka permasalahan—internal maupun eksternal. Pertumbuhan kelompok-kelompok studi mahasiswa, seperti terlihat saat ini, walau untuk sebagian mungkin merupakan mode, namun sekaligus juga menunjukkan ketidakmampuan HMI memenuhi hasrat intelektual mahasiswa dan generasi muda.
Dalam konteks semakin menyempitnya keterbukaan dan semakin kendurnya hasrat mempertahankan tradisi intelektual itu, sesungguhnya HMI sedang menghadapi krisis yang fundamental. Sebab keterbukaan dan tradisi intelektual itulah sisa andalan HMI untuk mempertautkan dirinya dalam perkembangan kaum menengah kota, yang kini, tidak lagi turut dibentuknya.
Merosotnya dominasi HMI, baik di kalangan generasi muda Islam maupun nasional, kini, merupakan salah satu indikator yang paling kuat dari krisis fundamental di atas. Krisis ini mungkin akan bertambah parah, karena pembentukan sistem kemasyarakatan yang kini dihirup olehnya, tidaklah lagi dibentuk oleh kekuatan-kekuatan yang ada di dalam masyarakat sendiri—seperti yang dihadapi oleh generasi HMI terdahulu—melainkan oleh kekuatan supra masyarakat (pemerintah) yang selama ini, begitu giat mengambil inisiatif.
Tanpa menyadari posisinya kini—lewat refleksi sosiologis-historis di atas—tanpa keinginan untuk menangkap dan mengembangkan kembali secara kreatif tradisi intelektual yang terwariskan kepadanya, HMI kini, dan di masa yang akan datang, mungkin hanya tinggal mitos. Dan mitos hanya berarti suatu bentuk kepercayaan berlebihan, tapi kosong, tanpa isi.
Fachry Ali, kolomnis dan intelektual Muslim Indonesia
(Sumber: Fachry Ali, Golongan Agama dan Etika Kekuasaan: Keharusan Demokratisasi dalam IsIam Indonesia, Surabaya: Risalah Gusti, 1996, hlm. 337-343)
0 komentar:
Posting Komentar