alt/text gambar

Selasa, 18 Maret 2025

Topik Pilihan:

PEMIMPIN POLITIK


Oleh: Fachry Ali


Sumber pemimpin politik itu banyak adanya. Tapi potensi penciptaan para pemimpin riil tergantung kondisi kecenderungan sejarah. Masyarakat kita pernah mengalami kemunculan pemimpin politik dari “sawah”, ketika struktur kehidupan agraris masih dominan. Saat itu, setiap perubahan cepat yang menghancurkan struktur kehidupan agraris menimbulkan perlawanan dari para petani. Maka lahirlah pemimpin politik tingkat “sawah” seperti dilukiskan Sartono Kartodirdjo dalam gerakan mesianisme awal abad ke-20 di Jawa. 

Suasana urbanisasi dan revolusioner juga bisa menjadi sumber lahirnya pemimpin politik. Munculnya berbagai macam organisasi sosial-politik dan keagamaan pada “kota muda” Jawa, awal abad ini, misalnya, menjadi ajang efektif yang melahirkan pemimpin politik baru, seperti H.O.S. Tjokroaminoto, Wahidin Sudirohusodo, dan Semaun. Proses ini juga memberikan diversifikasi sumber pemimpin politik lainnya, yang tak lagi membatasi diri pada kalangan terpelajar, melainkan dari kalangan biasa. Ini terutama terjadi di dalam kondisi revolusioner, seperti terlihat pada diri Bung Tomo. 

Di Aceh, selain melahirkan kepemimpinan ulama, revolusi mengantarkan Pawang Leman, seorang nelayan, ke jenjang kekuasaan tingkat lokal, hanya karena keberaniannya memimpin perebutan senjata Jepang di Lok Nga pada 1945. 

Tapi makin “normal” keadaan, makin menyempit sumber penciptaan pemimpin politik. Sejak pengakuan kedaulatan, sumber pemimpin politik pada umumnya terkonsentrasi pada partai politik yang terdiri dari kalangan sipil terdidik, dan karenanya mempersempit akses ke kalangan biasa. Dominasi partai politik dan politisi sipil terdidik sebagai sumber utama pemimpin politik tingkat nasional mulai terhenti di akhir 1950-an, ketika kaum militer di bawah Nasution memperkenalkan konsep “jalan tengah” preseden bagi munculnya konsep dwifungsi ABRI. 

Krisis politik dan ekonomi negara di masa itu memberikan umpan terobosan bagi kalangan militer memperkukuh kehadirannya sebagai salah satu sumber penting pemimpin politik. Dan ketika Orde Lama tumbang, konsolidasi kekuatan internal sebelumnya membuka jalan untuk kaum militer tampil sebagai sumber utama penciptaan pemimpin politik. 

Demikianlah, sejak awal Orde Baru hingga kini, kita hanya mengenal dua sumber utama pemimpin politik nasional. Yang pertama dan dominan adalah kalangan militer. Sisanya, kaum sipil. Dominasi kaum militer terutama karena preseden krisis politik dan ekonomi yang mengguncangkan stabilitas politik dan keamanan di masa sebelum dan awal Orde Baru. Dalam krisis politik dan ekonomi ini, peranan pengontrol keamanan menjadi penting. Pelaksanaan pembangunan ekonomi menambah keabsahan nalar bagi dominasi kaum militer. 

Keberadaan kaum sipil sebagai sumber pemimpin politik nasional, di lain pihak, “sangat” diperlukan. Pertama, untuk mendemonstrasikan kepada dunia bahwa wujud politik Indonesia bukanlah militerisme, sebagaimana terkadang dituduhkan pengamat luar. Kedua, pembangunan ekonomi itu sendiri memerlukan teknokrat dan teknolog sipil. 

Tapi yang menarik, secara tak tertulis kaum sipil sebagai salah satu sumber pemimpin politik dipahami secara sempit: yaitu mereka yang terdidik secara teknokratik, yang status politiknya telah terintegrasi ke dalam negara. Kenyataan tak tertulis ini menarik: mereka yang kini dan pernah duduk sebagai menteri dengan serta-merta dihayati sebagai pemimpin politik sipil, dan lebih penting lagi bahwa para pemimpin partai politik tak dimasukan dalam kategori khusus ini.

Karena itu, ketika setiap orang berbicara tentang suksesi kepemimpinan nasional dan pencarian suksesornya dari kalangan sipil, perhatian akan terbatas pada kalangan dalam kategori di atas. 

Cara pandang semacam ini, pada hemat saya, mengabaikan realitas. Pengabaian pemimpin parpol—kecuali Golkar, karena akses kekuasaannya yang sangat khusus—sebagai calon pemimpin politik taraf nasional relatif bisa dipahami. Secara struktural, mereka di luar kalangan inti negara. 

Tapi pengabaian kaum pengusaha sebagai sumber pemimpin politik nasional dari faksi kaum sipil tak masuk akal. Potensi mereka sebagai pemimpin politik untuk sementara ditunjukkan oleh kehadiran Abdul Latief dan Siswono Yudohusodo di dalam kabinet. Tapi di atas itu, sejarah sedang berpihak kepada mereka. 

Pertama, kenyataan ini masuk akal karena pelaksanaan konsep masa mengambang telah melahirkan pengaruhnya: oligarkisme, yang menyebabkan artikulator politik berpindah dari pemimpin massa kepada pengusaha sektor strategis kota, di mana modal memegang peran utama. 

Kedua, posisi intelektual dan budaya para pengusaha besar—terutama dari kalangan pribumi—dewasa ini bukanlah sekadar transformasi kaum pedagang masa lalu. Mereka telah mendekati kualitas para teknokrat dan teknolog yang kini berada di dalam negara. Dengan latar belakang ini, mereka mampu berpartisipasi di kancah nasional, selain juga mempunyai keleluasaan memupuk kepemimpinan berdimensi dunia. 

Ekspansi bisnis para pengusaha muda ke luar negeri adalah artikulasi pemahaman politik mereka terhadap negara bersangkutan karena, di mana pun, bisnis dan politik selalu berkaitan. Dengan demikian, secara tak disadari, ekspansi kegiatan ini telah membawa mereka ke lingkaran pergaulan elite politik dunia. 

Kombinasi faktor struktural dan kualitas pribadi di ataslah yang menyorongkan kaum pengusaha ke pentas publik yang dibutuhkan seorang pemimpin politik. Keberpihakan sejarah kepada kaum pengusaha sebagai pemimpin politik ini akan makin terlihat jika periode liberalisasi perdagangan dunia terlaksana di awal abad depan. 

Dalam konteks ini akan terjadi keseimbangan baru kekuatan politik nasional karena negara “dipaksa” bersifat cekatan menyesuaikan diri dalam dinamika perdagangan dunia. Kekuatan intern negara yang biasanya bersifat formalistis, kaku dan lamban akan makin bergeser kepada tokoh yang telah terbiasa menangani peliknya bisnis dunia yang bersifat dingin dan impersonal itu. 

Maka secara alamiah dan oleh tuntutan untuk survive, para pemimpin tak berwawasan bisnis akan menyingkir. Yang muncul adalah para pemimpin baru yang berwawasan luas dan memahami dinamisme gerak perdagangan dunia. Dalam konteks inilah para usahawan yang gigih, liat, dan piawai akan dengan sendirinya muncul ke pentas politik dan, tak mustahil, akan “tersedot” ke dalam pengelolaan negara. Zaman yang berubah memang menghendaki perubahan tipe kepemimpinan.

Fachry Alikolomnis dan intelektual Muslim Indonesia


(Sumber: Fachry Ali, Golongan Agama dan Etika Kekuasaan: Keharusan Demokratisasi dalam IsIam Indonesia, Surabaya: Risalah Gusti, 1996, hlm. 20-22) 



0 komentar:

Posting Komentar