alt/text gambar

Kamis, 27 Maret 2025

Topik Pilihan:

Seputar Amien Rais

“Citra Saya Bukan Ulama, tapi Cendekiawan": Tentang Latar Belakang Keluarga, Cita-cita, dan Cinta


Oleh: M. Amien Rais

Pada kesempatan ini saya ingin sedikit berkisah tentang pribadi dan keluarga saya. Kemudian tentang latar lingkungan keluarga seperti apa yang telah membesarkan saya. Saya juga akan menyampaikan kesan saya setelah menjadi Ketua PP Muhammadiyah dan citra saya yang lebih sebagai cendekiawan ketimbang ulama. Kemudian saya juga akan mengutarakan obsesi saya dalam membawa Muhammadiyah memasuki abad ke-21, tentang krisis ulama, dan konsep ukhuwah Islamiyah yang harus kita kembangkan. 

Saya adalah produk budaya Muhammadiyah. Karena akar saya adalah Muhammadiyah. Saya lahir dan dibesarkan di lingkungan keluarga Muhammadiyah. Ayah saya lulusan Muallimin Muhammadiyah, sedikit banyak ada warna ulama jugalah. Ibu saya lulusan HIK Muhammadiyah (Hogere Inlandsche Kweekschool—Sekolah Menengah Kesejahteraan Keluarga zaman Belanda) Muhammadiyah Batavia. Semacam sekolah guru tingkat atas di Jakarta zaman Batavia dulu. Sebagai lulusan HIK Muhammadiyah, Ibu saya sangat bangga karena kepala sekolahnya Ir. Djuanda. Jadi, dia sering menunjukkan ijazahnya, “Nih, lihat, kepala sekolah saya Pak Djuanda.” 

Rumah saya di Kepatihan Solo, satu lingkungan yang sebenarnya waktu dulu dominan dengan Islam “abangan” di mana PNI maupun PKI juga cukup kuat. Jadi, kami yang dari Muhammmadiyah sebenarnya minoritas saja waktu masa kecil saya dulu. Tapi ibu saya itu seorang yang, dalam tanda petik, sangat fanatik terhadap Muhammadiyah sehingga warna sikapnya ikut mempengaruhi sikap anak-anaknya. 

Hidup adalah Ibadah 

Dengan latar keluarga orang tua saya yang merupakan keluarga pendidik, saya tumbuh dan mereguk masa kanak-kanak saya di kampung Kepatihan Kulon. Saya kira lingkungan itu dalam bahasa awamnya Islam Abangan. Walaupun saya tidak suka dengan istilah itu, tetapi sampai tahun 60-an memang ada istilah itu. Ada istilah Santri Putihan dan Santri Abangan. 

Tapi di situ ada juga ranting Muhammadiyah Kepatihan, kira-kira ada 32 keluarga dan empat pengajian. Kami juga berhubungan sangat baik dengan semua orang di lingkungan kami tinggal tersebut. Memang di Kelurahan Kepatihan Kulon itu yang aktif adalah Muhammadiyah. 

Ayah dan ibu saya sangat moderat dalam hal mendidik. Hanya setelah saya lulus SMA, ibu saya meminta saya melanjutkan sekolah di Al-Azhar, Mesir. 

Sementara ayah cenderung ke Gadjah Mada saja. Waktu itu saya diterima di Fakultas Ekonomi dan Fisipol di Gadjah Mada. Lalu saya tanya ayah, mana yang lebih bagus. Beliau hanya mengatakan, terserah. Akhirnya saya ikut-ikutan teman, memilih jurusan sosial politik. 

Seiring dengan pertumbuhan usia ternyata tumbuh pula benih cita-cita dalam diri saya. Sejak kecil sebenarnya saya justru tidak punya cita-cita jadi dokter atau apalah istilahnya. Tetapi yang membekas di dalam pertumbuhan kepribadian saya adalah ajaran ibu sejak kecil hingga kuliah di Gadjah Mada, bahwa hidup adalah ibadah. 

Saya masih ingat, ibu berkata, “Ingat Mien, berkemah pun ibadah.” Saya mau latihan pencak silat juga beribadah. Jadi, menurut saya semuanya baik, asalkan ingat tujuan hidup. Tidak pernah ada tuntutan macam-macam, walaupun saya tahu keinginan ibu adalah menjadi ulama.

Ibu saya memproyeksikan saya menjadi seorang ulama. Ketika saya masih di SMA, ibu mengharapkan saya bisa sekolah di Al-Azhar, Mesir, agar kalau pulang bisa menjadi ulama. 

Cita-cita ibu itu tak pernah saya tolak. Namun, takdir menentukan lain, saya sekolah di Universitas Gadjah Mada, kemudian menjadi ilmuwan politik. Meskipun harapan ibu untuk sekolah di Al-Azhar terpenuhi juga. Saya kan pernah setahun menjadi mahasiswa luar biasa di Departemen Bahasa Universitas Al-Azhar. 

Saya menuruti hidup ini apa adanya saja. Saya pernah belajar di madrasah dengan semangat tinggi. Belajar di SMA juga dengan semangat yang sama. Dan jadilah seperti ini. Memang teman-teman mengatakan bahwa citra intelektual lebih kuat daripada kiai pada diri saya. Mungkin itu betul. Dalam hidup, saya tidak ada target untuk menjadi ini, atau menjadi itu.

Anak Muhammadiyah yang Ideal: Intelektual Kial, Kiai Intelektual

Kalau disimak sepintas, sepertinya ada perbedaan harapan antara Bapak dan Ibu saya. Tapi sebetulnya tidak harus berarti bertentangan. Karena Bapak dan Ibu saya sebagai aktivis Muhammadiyah juga selalu mengingatkan (Ayah Amien Rais adalah Ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah Kotamadya Surakarta, sedangkan ibunya penggerak Aisyiyah, red.), dulu Haji Ahmad Dahlan sering berceramah bahwa anak Muhammadiyah yang ideal itu yang menjadi intelektual kyai atau kyai intelektual. 

Jadi, alam pikiran orang tua saya yang aktivis Muhammadiyah dan Aisyiyah itu pokoknya anak sekolah di umum asal mereka berusaha mempelajari agama juga. Dalam keyakinan mereka, kita perlu punya wawasan keagamaan yang luas. Tapi sebaliknya, kalau sekolah ilmu-ilmu agama, hendaknya juga baca pengetahuan umum seluas mungkin. Pokoknya punya wawasan seluas mungkin. (Amien Rais, Membangun Politik Adiluhung: Membumikan Tauhid Sosial, Menegakkan Amar Ma'ruf Nahi Munkar, Bandung: Penerbit Zaman Wacana Mulia, 1998, hlm. 45-50

**

ARTI KECENDEKIAWANAN BAGI AMIEN RAIS

Bagi saya sendiri arti kecendekiawanan seseorang itu kembali kepada referensi yang paling saya sukai yaitu al Quran. Nabi Muhammad atau Rasulullah itu kan panutan, baik sebagai cendekiawan, ulama maupun sebagai negarawan, bahkan sebagai bapak rumah tangga. Maka sebagai orang Islam, Muhammad itu adalah sebua khasanah. Teladan hidup yang tiada tandingan. 

Di dalam al Quran dikatakan bahwa, Allah itu membangkitkan rasul dari tengah-tengah massa, rakyat yang banyak. Di tengah-tengah massa itu rasul berjuang untuk mendidik mereka, kemudian mengeluarkan dari kegelapan ke terang benderang. Jadi ciri pokok cendekiawan itu adalah komitmen kerakyatan. 

Jika cendekiawan itu hanya ingin menjadi kelompok elitis, kemudian berpikir rumah yang besar dan sedan mengkilap, perabotan mewah, tanah yang luas, dan setiap tahun berbelanja ke Paris dan Hongkong itu cendekiawan gadungan. Cendekiawan itu sesungguhnya punya komitmen kerakyatan. Jadi, ada kesederhanaan, komitmen, kejujuran, juga tidak pernah menengadah ke atas tapi melihat ke bawah. Cendekiawan elitis, atau salon, memang ada dalam masyarakat. 

Kalau kita melihat ada istilah budayawan, sastrawan, dan seniman, itu kan pengelompokan profesi, bidang kegiatan, dan lain-lain. Saya setuju, bila cendekiawan menyebut dirinya seperti itu akan-terasa angkuh, terasa agak arogan. Tapi, ketika mereka mengelompokkan diri dalam suatu wadah, mereka harus mencari kata-kata yang bisa menjadi simbol untuk mobilisasi tersebut, untuk rekruitmen. hlm. 119-120

***

Kekuasaan Presiden Itu Tidak Sakral

"Sekarang ini ada indikasi sangat kuat bahwa sebagian masyarakat mengidap syirik politik. Benar apa yang dikatakan seorang penulis muda, bahwa langkah saya itu punya nilai desakralisasi kekuasaan. Selama ini orang melihat kekuasaan itu sangat sakral, tak bisa dipertanyakan, tak boleh diutak-atik. Sehingga ketika saya mengatakan insya Allah berani jadi presiden, itu sudah membuat guncangan besar pada perpolitikan negeri ini. Mengapa? Karena kekuasaan presiden begitu sakral, tidak bisa dijangkau dan tak tersentuh. Bagi saya, kekuasaan itu sesuatu yang sifatnya keduniaan, hanya bedanya eselon rendah dan tinggi. Tapi jangan sampai disakralkan karena bisa menimbulkan syirik sosial, syirik politik." (M. Amien Rais, Membangun Politik Adiluhung, Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998, hlm. 161-162) 

***

Amien Rais: Saya lebih banyak aktif di HMI dan Pemuda Muhammadiyah

Semasa masih kuliah di Gadjah Mada, saya juga mengambil kuliah di IAIN Yogya. Saya ambil jurusan Tarbiyah. Kan waktu itu studinya liberal sekali. Jadi, tidak masuk kuliah pun, asalkan ujian lulus, ya lulus. Waktu itu saya malah jarang masuk, hanya kuliah-kuliah yang saya minati saja saya datangi. Saya lebih banyak aktif di HMI dan Pemuda Muhammadiyah, kemudian setiap ujian saya datang dan lulus. Hasilnya baik. Saya kira saya lulus S1 untuk angkatan saya yang terbaik. Tetapi tidak berarti saya tidak belajar. Saya belajar keras. Saya tidak disiplin dalam kuliah saja. Buku-buku wajib dalam kuliah saya baca semua.

Skripsi S-1 saya berjudul Mengapa Politik Luar Negeri Israel Berorientasi Pro Barat. Saya dapat nilai A. Mau tahu yudisiumnya dapat apa? Saya lulus dengan predikat senang hati ha...ha...ha... Mungkin kalau sekarang saya...wah ndak tahu he..he. Lulus saja mungkin sudah bagus. Waktu itu kan yang paling rendah lulus sangat ragu-ragu, kemudian seterusnya lulus dengan agak ragu-ragu, kemudian lulus dengan tidak keberatan, lulus dengan tidak keberatan sama sekali, dan lulus dengan senang hati ha...ha...ha....

Mendalami Ikhwanul Muslimin hingga Marxisme 

Mengenai minat saya terhadap persoalan Timur Tengah memang sudah sejak dulu muncul. Saya sudah punya minat dengan Studi Timur Tengah sejak di Gadjah Mada. Sekalipun ketika mengambil gelar MA (Master of Art) di Notre Dame saya mengambil tesis tentang Soviet. Di samping itu, saya punya sertifikat studi tentang Soviet dan Eropa Timur. Jadi, selain ijazah MA dari Notre Dame, saya juga punya sertifikat dari universitas tersebut sebagai tambahan spesialisasi. Karena itu saya cukup lama juga belajar Marxisme.

Tesis master saya mengenai politik luar negeri Anwar Sadat yang waktu itu sangat dekat dengan Moskow. Sedang disertasi doktornya mengenai Ikhwanul Muslimin. (Amien Rais, Membangun Politik Adiluhung: Membumikan Tauhid Sosial, Menegakkan Amar Ma'ruf Nahi Munkar, Bandung: Penerbit Zaman Wacana Mulia, 1998, hlm. 66-67) 


AMIEN RAIS: INTELEKTUAL ITU TAK HANYA DI KAMPUS SAJA


Saya mengartikan seorang intelektual itu sebagai seorang yang tidak berhenti berpikir dan yang senantiasa punya kepedulian terhadap masyarakatnya. Sehingga dia punya kewajiban moral untuk selalu menegakkan kebenaran dan keadilan. Nah, sekarang masalahnya, selama intelektual itu punya prinsip seperti yang saya katakan tadi, dia tidak pernah berpikir jadi intelektual, apakah dia di dalam kekuasaan atau di luar kekuasaan. Dia di dalam kampus atau di luar kampus. Biar dia jadi karyawan di sebuah perusahaan konglomerat sekalipun, kalau dia punya komitmen kerakyatan dan keadilan, dia intelektual. Saya tidak setuju dengan pendapat intelektual itu hanya di kampus saja. Atau mereka yang punya atribut-atribut tertentu. (Amien Rais, Membangun Politik Adiluhung: Membumikan Tauhid Sosial, Menegakkan Amar Ma'ruf Nahi Munkar, Bandung: Penerbit Zaman Wacana Mulia, 1998, hlm. 76) 

**

Lantas dengan keyakinan seperti ada juga yang sempat bertanya dalam hubungan dengan Nahdlatul Ulama (NU), betulkah dengan bangkitnya intelektual di Muhammadiyah tidak lagi berpikir sempit mementingkan satu kelompok saja. Saya hanya akan menceritakan satu cerita imajiner. Suatu sore seorang Muhammadiyah sedang menghirup udara segar, menikmati pemandangan indah di surga. Tiba-tiba dari jauh kelihatan seorang NU. Si Muhammadiyah terkejut. Kemudian dia menyapa ingin tahu, “Sampeyan di dunia kan NU, kok bisa masuk surga?” Lantas si NU juga sama herannya, “Justru saya heran seperti sampeyan itu. Sampeyan Muhammadiyah kok masuk surga? Kan tidak pernah salawatan, berzanji, tahlilan, atau dan lain-lain. Tapi kok masuk surga?” Si Muhammadiyah ini bilang, “Justru kami ini menganggap Anda ahli kitab, suka takhayul, suka berzanji, dan lain-lain.” ' 

Kemudian, ketika orang ini saling heran muncul orang pakai baju kuning. Dari MDI Golkar ha...ha...ha... Iya, dari Golkar, dia juga masuk surga. Dia merasa, kalau sudah bicara pembangunan dan berbuat baik, maka orang Muhammadiyah atau NU kalah. Ketika mereka sedang saling heran begitu, datang pula orang Persia masuk surga. Bahkan kemudian orang Iran, orang Irak, orang Brunai, orang Australia, orang Amerika dan lain-lain. Lantas mereka saling bertanya-tanya, kok bisa masuk surga? Kemudian ada orang Muhammadiyah usul, untuk memecahkan permasalahan ini, maka perlu dibuat seminar sehari di surga. Topik seminarnya adalah "Mengapa Kita-kita ini Masuk Surga". Lantas para pakar-pakar NU, Muhammadiyah, MDI Golkar dan berbagai mazhab di Timur Tengah dan Timur Jauh membuka al-Quran, Hadis Nabi, serta kitab-kitab kuningnya.

Setelah itu apa yang terjadi. Sehabis seminar sehari itu, ternyata ketemunya sederhana sekali. Semua hamba Allah itu masuk surga karena selama di dunia mereka itu termasuk orang-orang yang "Alladzina Amaanu wa Amilussholihat. Yaitu beriman dan beramal saleh". Sehingga kadang-kadang sering berkelakar, “Besok di akhirat itu malaikat tidak tertarik untuk menanyakan dahulu kalau shalat pakai jubah atau songkok, berapa rakaat. Yang penting kalau kita baca al-Quran ratusan ayat, itu kan berat artinya. Itu sudah beriman dan beramal saleh. (Amien Rais, dalam Membangun Politik Adiluhung: Membumikan Tauhid Sosial, Menegakkan Amar Ma'ruf Nahi Munkar, Bandung: Penerbit Zaman Wacana Mulia, 1998, hlm. 76-77).

Amien Rais: Mengisi Hari Tua dengan Pengajian dan Menulis 


Setiap orang tentu saja punya rencana dalam mengisi hari tuanya. Kalau Allah memberi umur panjang, saya ingin bisa melihat anak-anak selesai dengan pendidikan masing-masing. Kemudian saya bisa memanfaatkan hari tua dengan kesibukan-kesibukan yang positif. Taruhlah seperti Pak A.R. Fachrudin, yang di usia senjanya terus memberikan pengajian-pengajian. Kemudian kalau pikiran saya masih cukup jelas, menulis begitu. Itu cita-cita saya. Artinya saya ingin tetap aktif. Seperti Ibu saya, sekalipun sudah berusia lebih 70 tahun, masih tetap menjadi Ketua Sekolah Pendidikan Keperawatan Muhammadiyah di Solo. 

Sebagai akademisi tentu saya juga punya rencana. Tapi agaknya di bidang akademis ini saya agak seret. Saya kira sampai sudah sepuluh tahun misalnya saya baru golongan IV A. Itu kekeliruan saya. Jadi saya berpisah dengan teman-teman yang sangat sensitif, yang sangat memperhatikan ihwal kepangkatan itu. Seharusnya sejak beberapa tahun yang lalu saya sudah IV C, hampir profesor. Bahkan mungkin sudah mengusulkan profesoriat saya. Tetapi mungkin karena keteledoran dan kemalasan, sehingga saya tidak pernah memperhatikan itu. Sehingga dekan saya uring-uringan terus mengapa saya tidak lekas mengajukan. Padahal sudah memenuhi syarat untuk ke IV B atau bahkan IV C. 

Kemudian ada juga orang yang bertanya apakah saya khawatir dengan jarak usia saya yang terlalu jauh dengan anak-anak saya. Saya mengatakan bahwa saya tidak pernah merasa khawatir dengan masa depan saya. Artinya Allah Swt. itu sudah punya garis untuk masing-masing. Jadi, saya tidak pernah khawatir dengan masa depan si kecil. (Amien Rais, Membangun Politik Adiluhung: Membumikan Tauhid Sosial, Menegakkan Amar Ma'ruf Nahi Munkar, Bandung: Penerbit Zaman Wacana Mulia, 1998, hlm. 79).

Amien Rais: Saya lebih banyak aktif di HMI dan Pemuda Muhammadiyah

Semasa masih kuliah di Gadjah Mada, saya juga mengambil kuliah di IAIN Yogya. Saya ambil jurusan Tarbiyah. Kan waktu itu studinya liberal sekali. Jadi, tidak masuk kuliah pun, asalkan ujian lulus, ya lulus. Waktu itu saya malah jarang masuk, hanya kuliah-kuliah yang saya minati saja saya datangi. Saya lebih banyak aktif di HMI dan Pemuda Muhammadiyah, kemudian setiap ujian saya datang dan lulus. Hasilnya baik. Saya kira saya lulus S1 untuk angkatan saya yang terbaik. Tetapi tidak berarti saya tidak belajar. Saya belajar keras. Saya tidak disiplin dalam kuliah saja. Buku-buku wajib dalam kuliah saya baca semua.

Skripsi S-1 saya berjudul "Mengapa Politik Luar Negeri Israel Berorientasi Pro Barat". Saya dapat nilai A. Mau tahu yudisiumnya dapat apa? Saya lulus dengan predikat senang hati ha...ha...ha... Mungkin kalau sekarang saya...wah ndak tahu he..he. Lulus saja mungkin sudah bagus. Waktu itu kan yang paling rendah lulus sangat ragu-ragu, kemudian seterusnya lulus dengan agak ragu-ragu, kemudian lulus dengan tidak keberatan, lulus dengan tidak keberatan sama sekali, dan lulus dengan senang hati ha...ha...ha....

Mendalami Ikhwanul Muslimin hingga Marxisme 

Mengenai minat saya terhadap persoalan Timur Tengah memang sudah sejak dulu muncul. Saya sudah punya minat dengan Studi Timur Tengah sejak di Gadjah Mada. Sekalipun ketika mengambil gelar MA (Master of Art) di Notre Dame saya mengambil tesis tentang Soviet. Di samping itu, saya punya sertifikat studi tentang Soviet dan Eropa Timur. Jadi, selain ijazah MA dari Notre Dame, saya juga punya sertifikat dari universitas tersebut sebagai tambahan spesialisasi. Karena itu saya cukup lama juga belajar Marxisme.

Tesis master saya mengenai politik luar negeri Anwar Sadat yang waktu itu sangat dekat dengan Moskow. Sedang disertasi doktornya mengenai Ikhwanul Muslimin. (Amien Rais, Membangun Politik Adiluhung: Membumikan Tauhid Sosial, Menegakkan Amar Ma'ruf Nahi Munkar, Bandung: Penerbit Zaman Wacana Mulia, 1998, hlm. 66-67) 

***

Amien Rais: ICMI Itu Bukan Kumpulan Malaikat, Saya Berharap Gus Dur Tak Usah Masuk ICMI

Kalau ada harapan pertemuan saya dengan Gus Dur bisa menjadi starting point bagi rekonsiliasi antara ICMI dengan Gus Dur, mudah-mudahan begitu. Tapi saya juga mengharapkan Gus Dur tetap tidak usah masuk ICMI. 

Kenapa? Sebaiknya Gus Dur tetap di luar seperti sekarang ini untuk tetap selalu, katakanlah, bicara vokal tentang kelemahan-kelemahan ICMI. Karena ICMI itu kumpulan orang-orang, bukan kumpulan malaikat. Kalau tidak ada yang ngoprak-ngoprak nanti bisa lupa juga. Jadi memang di antara umat Islam itu harus ada yang di luar ICMI. Jangan semuanya di ICMI. (Amien Rais, Membangun Politik Adiluhung: Membumikan Tauhid Sosial, Menegakkan Amar Ma'ruf Nahi Munkar, Bandung: Penerbit Zaman Wacana Mulia, 1998, hlm. 249).

***

Berpolitik secara Otentik: Belajar dari Amien Rais

Nabi Muhammad mengajarkan, jika melihat kemunkaran, ubahlah dengan tangan. Jika tidak mampu dengan tangan, ya dengan lisan. Dan, mengubah dengan bisikan hati merupakan selemah-lemah iman. Ajaran inilah yang menjadi missi Muhammadiyah yang lazim disebut amar ma'ruf nahi munkar

Bagi saya sendiri, hidup tidak hanya mengajak pada kebajikan, tapi juga untuk melawan kemunkaran atau kezaliman. Maka dari awal sampai akhir, saya tidak punya kalkulasi politik apalagi punya kepentingan dengan setiap lontaran pendapat dan sikap saya. Tidak ada sedikit pun yang mendorong-dorong, memanasi atau mempengaruhi saya. I have no interest, whatever. Betul-betul dari lubuk hati yang paling dalam. 

Saya yakin, sebagian besar orang berbicara tentang hati nurani. Tahun 1993, ketika saya melontarkan isu suksesi, banyak teman yang mengatakan, saya membawa kartu mati. Mereka katakan, saya pasti habis pada Muktamar Muhammadiyah di Banda Aceh, tahun 1996. Ternyata, di luar dugaan, saya malah dipilih oleh 97,5% dari peserta muktamar. Kemudian, waktu Muktamar ICMI, suara saya termasuk big three atau big four. Artinya, teman-teman ICMI itu bicara hati nurani. 

Muhammadiyah bagi saya adalah sebuah stasiun. Saya tidak punya potongan jadi birokrat, atau ingin posisi keduniawian di Jakarta. Kalau saya punya perhitungan, tentu tidak seperti sekarang ini. Saya akan menimbang bagaimana reaksi kelompok A, B, atau C, lalu saya akan menjadi super hati-hati. (Amien Rais, Membangun Politik Adiluhung: Membumikan Tauhid Sosial, Menegakkan Amar Ma'ruf Nahi Munkar, Bandung: Penerbit Zaman Wacana Mulia, 1998, hlm. 218-219).

***

High Politics Itu Muatannya Moral dan Etik 

Kami memang menggunakan keberadaan fisik, sosiokultural, bahkan sosio-politiknya Muhammadiyah itu untuk membendung hal-hal yang negatif dan mengarahkan kepada yang positif. Dalam bahasa Muhammadiyah atau bahasa Islamnya adalah amar ma'ruf nahy munkar. Sedangkan low politics itu memang politik praktis yang memperebutkan kursi di DPR, eksekutif atau jatah HPH. Yang disebut terakhir ini juga perlu, tetapi Muhammadiyah tidak bergerak ke sana. 

Kalau kita kembali melihat contoh ICMI. Saya melihat spektrum ICMI itu memang sangat luas. ICMI itu punya pikiran. Orang-orang ICMI yang dari Muhammadiyah tentu mirip dengan saya, tapi orang ICMI dari berbagai kelompok yang lain tentu mempunyai aspirasi yang lain lagi. Tapi sampai sejauh ini saya kira setiap keputusan yang diambil ICMI itu selalu berusaha moderat dan representatif untuk mewakili aneka pelangi umat Islam yang luas. 

Ketika saya masih di ICMI, saya melihat dalam ICMI selalu terjadi aksi yang cukup intensif dari berbagai kelompok dalam ICMI sendiri. Dalam ICMI itu ada yang dari Muhammadiyah, Golkar, Purnawirawan, LSM, kiai-kiai pesantren NU seperti diwakili oleh K.H. Yusuf Hasyim. K.H. Ali Yafie, atau Muhammmad Thohir. Meski orang-orang ini bukan mainstream dari ormas berbasiskan massa pesantren tersebut. Selain itu juga ada birokrat. Jadi, ICMI memang manjadi wadah dari segala macam keinginan. Sehingga saya tahu kenapa anak muda tidak tahan dengan kelambanan ICMI, yang tidak sanggup segera bereaksi setiap ada masalah. 

Terlepas dari adanya oknum-oknum ICMI yang seringkali menjadi beban berat karena tindakan korup dan kolutifnya, saya melihat tubuh ICMI masih cukup sehat. Artinya, di samping benalu-benalu itu sesungguhnya pohonnya masih cukup sehat. Aspirasi di berbagai orwil dan orsat masih segar. Memang kadang-kadang saya menyayangkan mengapa Abdurrahman Wahid dan teman-teman lain yang potensial tidak mau masuk ICMI. Namun, tampaknya kita harus sadar bahwa tidak mungkin mengharapkan 88 persen penduduk bangsa ini kor bersama mendukung ICMI. Tentu, di antara mereka ada kelompok-kelompok yang punya pendirian sendiri. Dan yang demikian ini, tetap baik sebagai penyeimbang yang menyehatkan dalam kehidupan demokrasi. (Amien Rais, Membangun Politik Adiluhung: Membumikan Tauhid Sosial, Menegakkan Amar Ma'ruf Nahi Munkar, Bandung: Penerbit Zaman Wacana Mulia, 1998, hlm. 104).

***

"Sikap politik Muhammadiyah itu independen. Posisinya moderat. Jadi, tak pernah menjilat dan membungkuk-bungkuk di depan pemerintah, tidak pula berkacak pinggang dan konfrontatif." (M. Amien Rais, Membangun Politik Adiluhung, hlm. 154) 

"Pejabat itu sesungguhnya civil servant, mengabdi kepentingan masyarakat. Sekarang yang namanya pejabat digotong sangat tinggi dan menimbulkan feodalisme gaya baru." Amien Rais, hlm. 161

***

Amar Ma'ruf Nahi Munkar: Spirit Politik Amien Rais

Sebagai orang yang ditugasi memimpin organisasi Islam (Muhammadiyah) yang memiliki anggota lebih dari duapuluh empat juta orang dan puluhan juta orang simpatisan, maka saya punya kewajiban moral untuk ikut berusaha meluruskan hal-hal yang bengkok dan menjernihkan hal-hal yang keruh. Dengan berniat amar ma'ruf nahi munkar maka saya akan tetap melakukan imbauan moral. 

Saya bersama Muhammadiyah tidak akan melakukan politik praktis. Karena hal itu bukan merupakan wilayah kerja Muhammadiyah. Namun, kalau saya melihat ada berbagai kemunkaran, seperti korupsi, kolusi atau tindakan yang merugikan bangsa dan negara, maka Muhammadiyah harus mengumandangkan imbauan moral.

Tapi kalau Lukman Harun menyatakan Muhammadiyah jangan dibawa ke politik, terus terang saya terkejut. Karena di antara anak buah saya ternyata ada yang agak lupa pada tugas pokok Muhammadiyah. Lukman Harun sebagai anak buah saya di Pengurus Pusat Muhammadiyah sedikit alpa dan khilaf. hlm. 262

"Politik itu rekayasa. Dalam ungkapan bahasa asing, politik itu 'art, to make possible what seems impossible'. Membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin." (M. Amien Rais, Membangun Politik Adiluhung, h. 226).

"Satu doktrin kecendekiawanan yang tidak bisa dihilangkan, bahwa cendekiawan itu harus berpikiran bebas dan berpegang teguh pada kebenaran yang diyakininya." (M. Amien Rais, Membangun Politik Adiluhung, h. 235).

***

Perbedaan Gus Dur dan Amien Rais

Mengenai peluang konvergensi antara model politik representasi saya dengan model politik kultural-etis Gus Dur, saya kira mungkin saja ada titik temu. Memang secara umum ada perbedaan antara saya dan Gus Dur. Tetapi saya tetap yakin ibarat lingkaran yang berbeda. Kemungkinan besar ada interseksinya. Dia kan memperjuangkan demokrasi, saya juga memperjuangkan demokrasi. Cuma mungkin metodologinya berbeda. Lain kalau satu memperjuangkan demokrasi dan satu memperjuangkan otoritarianisme, titik temu atau interseksi tidak akan ada. Tapi kalau sama-sama ingin memperjuangkan demokrasi, perbedaan metodologi tidak akan menjadi masalah. Kalau kemudian figur semacam Gus Dur terkesan kurang memperjuangkan umat Islam melainkan lebih memperjuangkan seluruh umat, bahkan dia dekat dengan kalangan non-Islam, itu haknya. Dalam keadaan seperti itu kita harus menghargai metode perjuangan masing. masing. Asal-muasalnya itu sebenarnya sama. Muaranya itu adalah mengangkat kaum dhu'afa yang jumlahnya berjuta-juta ini. Mereka yang mengalami deprivasi sosial, ketidakadilan sosial dan lain-lain. Jadi saya kira sah-sah saja orang mengambil beragam metode. Sekalipun kalau ditanya pada saya tentu pertama-tama saya lebih dekat dulu dengan umat IsIam sekalipun saya menghargai tidak saja keberadaan tetapi juga jaminan masa depan umat non-muslim, karena ini memang ajaran Islam. (M. Amien Rais, Membangun Politik Adiluhung, h.  247-248) 

***

Kalau kita ingat ketika ICMI berumur tiga tahun (1993), saya sudah dengan jelas dan tegas mengatakan perlunya pembicaraan tentang suksesi kepemimpinan nasional. Pada saat itu, gagasan saya menimbulkan reaksi cukup ramai. Dari contoh itu, sejak tahun-tahun awal usia ICMI, saya telah menunjukkan dengan tegas pandangan-pandangan politik saya. Di samping itu, saya juga vokal menyuarakan perlunya rekonstruksi mental untuk memberantas penyakit korupsi dan kolusi pada para pejabat kita. Itu semua menunjukkan adanya benang merah, yang menunjukkan konsistensi posisi saya. Tidak pernah saya merasa bahwa, karena menjadi orang ICMI, lantas saya harus memakai topeng, apalagi berhenti melakukan amar ma'ruf nahi munkar. (M Amien Rais, Membangun Politik Adiluhung, h. 258) 

***

Tentang cara penyampaian kritik, saya tidak bisa didikte oleh siapa pun di muka bumi, yang bisa mengarahkan saya untuk harus begini-begitu. Saya adalah orang yang mandiri dan independen, yang hanya takut kepada Allah. Kalau ada yang menyarankan agar saya harus begini-begitu lewat jalur birokrasi, itu merupakan pandangan yang naif dan ingusan. (M. Amien Rais, Membangun Politik Adiluhung, h. 259) 

Saya memang tak pernah tahan melihat eksploitasi, ketidakadilan, lantaran saya memang punya pembawaan kodrati yang selalu resah kalau melihat ketimpangan. Inilah saya, I am what I am. Saya tidak usah memakai topeng dalam mengatakan kritik-kritik apa adanya. Mengkritik itu kewajiban saya sebagai cendekiawan. (M. Amien Rais, Membangun Politik Adiluhung, H. 264 dan 265) 

***

Bagi saya sendiri arti kecendekiawanan seseorang itu kembali kepada referensi yang paling saya sukai yaitu al Quran. Nabi Muhammad atau Rasulullah itu kan panutan, baik sebagai cendekiawan, ulama, maupun sebagai negarawan bahkan sebagai bapak rumah tangga. Maka sebagai orang Islam, Muhammad itu adalah sebuah khasanah. Teladan hidup yang tiada tandingan. 

Di dalam al Quran dikatakan bahwa, Allah itu membangkitkan rasul dari tengah-tengah massa, rakyat yang banyak. Di tengah-tengah massa itu rasul berjuang untuk mendidik mereka, kemudian mengeluarkan dari kegelapan ke terang benderang. Jadi, ciri pokok cendekiawan itu adalah komitmen kerakyatan. 

Jika cendekiawan itu hanya ingin menjadi kelompok elitis, kemudian berpikir rumah yang besar dan sedan mengkilap, perabotan mewah, tanah yang luas, dan setiap tahun berbelanja ke Paris dan Hongkong itu cendekiawan gadungan: Cendekiawan itu sesungguhnya punya komitmen kerakyatan: Jadi ada kesederhanaan, komitmen, kejujuran, juga tidak pernah menengadah ke atas tapi melihat ke-bawah. Cendekiawan elitis, atau salon, memang ada dalam masyarakat.

Kalau kita melihat ada istilah budayawan, sastrawan, dan seniman, itu kan pengelompokan profesi, bidang kegiatan, dan lain-lain. Saya setuju bila cendekiawan menyebut dirinya seperti itu akan-terasa angkuh, terasa.... (M Amien Rais, Membangun Politik Adiluhung, h. 119) 

****

0 komentar:

Posting Komentar