alt/text gambar

Selasa, 10 Juni 2025

Topik Pilihan:

Bajak Laut Vs Negara: Apa Bedanya?

 

Aswab Mahasin, dalam artikelnya berjudul "Negara dan Kuasa", (Majalah Prisma, 1984), menjelaskan kira-kira sebagai berikut:

Seorang dedengkot bajak laut ditangkap. Barangkali karena kalibernya, maka kali ini Alexander the Great sendiri yang melakukan interogasi. Ketika ditanya apa haknya menjarah laut, dedengkot itu menjawab: “Hak hamba menjarah lautan sama saja dengan hak Tuan menjarah dunia. Hanya karena hamba melakukannya dengan sampan kecil, orang menyebut hamba 'bajak laut'. Sedangkan Tuan yang melakukannya dengan armada besar, disebut orang 'sang Maharaja'.”

Anekdot ini berasal dari St. Agustinus. Tapi sangat tepat menggambarkan tentang kuasa yang mengesahkan diri dengan kekuatan belaka. Negara imperial hadir dengan dalih ini, suatu argumentasi de facto. Kuasa dijaga dengan pedang, mesiu, senapan mesin, aparat negara, dan sejumlah alat pembasmi, untuk melenyapkan mereka yang menolaknya, atau untuk menerbitkan gentar. Pendeknya: kuasa ditegakkan dengan teror dan pengelolaan kengerian. 

Tapi kuasa demikian pada akhirnya termakan oleh logikanya sendiri: yang menang karena kekuatan, dikalahkan oleh kekuatan pula. Sebab kekuatan akan menerbitkan kekuatan tandingan, dan kekerasan akan melahirkan kekerasan balasan. Logika inilah yang mengakhiri para jagoan seperti Napoleon, Hitler, atau Mussolini. Logika ini pula yang mengakhiri kuasa imperial di Tanah Air kita. (Aswab Mahasin, Negara dan Kuasa, Majalah Prisma, 1984) 

**

Senada dengan tulisan di atas, pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, dalam tulisannya berjudul "(Harusnya) Bukan Negara Kekuasaan" (Kompas, 8 Juni 2023), menulis: 

Alkisah, Alexander Agung bertanya kepada seorang perompak, mengapa ia melakukan berbagai kejahatan. Sang perompak menjawab: yang saya lakukan sama saja dengan Anda yang merusak seluruh dunia. tapi karena saya melakukan itu semua dengan armada kecil, saya disebut "perompak" dan karena Anda melakukannya dengan armada besar, Anda disebut "penguasa". Demikian dikisahkan Santo Agustinus lebih 1.500 tahun yang lalu untuk menyoal kekuasaan.

Catatan Agustinus itu, lanjut Bivitri, masih berlanjut dengan pertanyaan sebaliknya: bukankah sarang penyamun sebenarnya adalah suatu kerajaan kecil? Gerombolan penyamun adalah organisasi, diperintah pemimpinnya, dan diikat perjanjian sehingga hasil perompakan dibagi menurut aturan main yang disepakati. Maka, yang seharusnya membedakan antara perompak dan penguasa adalah keadilan. Bukan hukum dalam arti peraturan dan aparat penegak hukum, melainkan keadilan dan etik. (Bivitri Susanti, Kompas, 8 Juni 2023) 

Demikian kira-kira perbedaan perompak (bajak laut) dan negara. Negara memperoleh pengakuan karena kekuatan yang dimilikinya. Karena kekuatan itu, terutama hukum dan peraturan perundang-undangan, maka negara—di mata rakyat—nampak absah melakukan apa saja. Hanya "keadilan"-lah yang bisa jadi pembeda. Artinya, jika negara tak berlaku adil, maka negara tak beda dengan bajak laut atau perompak. Perompak, hanya saja, tak punya legitimasi karena ia cuma kelompok kecil. 

0 komentar:

Posting Komentar