Oleh: Abdurrahman Wahid
MENGIKUTI perkembangan yang terjadi atas Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) menjelang, selama dan setelah kongresnya di Medan baru-baru ini, timbul berbagai kesan yang bercampur-baur dalam diri penulis. Kesan itu akhirnya berujung pada rasa tidak menentu dan rasa khawatir akan perkembangan kehidupan kita semua di masa depan. Dari rasa tidak menentunya keadaan dan kekhawatiran atasnya itu, mau tidak mau lalu muncul sebuah rasa lain, yaitu semacam praduga (premonisi) akan terjadinya sebuah pergolakan hebat. Sesuatu yang tidak kita kehendaki bersama seolah-olah akan memaksakan kehendaknya atas diri kita, dan inilah yang menggelisahkan.
Penulis diminta oleh KAHMI (Korps Alumni HMI) Jakarta, dalam bulan Februari, untuk menulis sebuah makalah untuk mereka diskusikan. Permintaan tertulis itu disertai keterangan, bahwa diskusi itu dimaksudkan untuk mencari bahan masukan bagi persiapan Kongres HMI di Medan "beberapa bulan lagi' (menurut bunyi surat KAHMI Jaya itu).
Penulis tidak menolak, karena merasa bahwa membantu teman-teman yang terhimpun dalam KAHMI Jaya itu adalah kewajiban, apalagi dalam proses menyusun pendapat tentang masalah sepenting apa yang dimintakan, yaitu 'pembinaan internal umat Islam'. Walaupun penulis sendiri merasa adanya pertentangan kepentingan untuk menggarap 'tema Kopkamtib' (waktu itu) di atas. Masalahnya, penulis pernah membantu pihak Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Agama, sebuah lembaga pemerintah, untuk mengajukan pikiran tentang hal yang sama. Bukankah tidak etis, menjual barang yang sama dua kali?
Akhirnya, makalah tidak jadi tertulis, bukan hanya karena pertentangan kepentingan di atas, melainkan oleh sebuah sebab lain. Pantaskah penulis ikut serta mencampuri urusan intern HMI? Bukankah tidak seharusnya pihak KAHMI (yang mana pun) terus- menerus mengurusi HMI, sebuah organisasi yang tidak lagi menjadi tanggungjawab organisatoris mereka Bukankah sikap seperti itu yang sebenarnya merupakan inti krisis identitas HMI dewasa ini, yaitu besarnya campur tangan para ‘senioren’ dalam masalah intern HMI sendiri? Makalah tidak jadi dibuat, penulis hanya berpangku tangan melihat perkembangan yang terjadi, dan hasilnya sungguh-sungguh mengejutkan. Betapa tidak, karena organisasi mahasiswa yang satu ini lalu terdorong untuk mengambil sikap konfrontatif terhadap pemerintah (dalam hal ini Menpora Abdul Gafur, yang nota bene adalah aktivis HMI juga di masa lampau).
Disenangi atau tidak, itulah posisi yang dimiliki HMI saat ini. Berpolitik atau tidak, atau bahkan. jika HMI menjauhi politik sekali pun dalam mengambil sikapnya. la kini telah menjadi isyu politik. Seperti juga halnya kalau Nahdlatul Ulama memutuskan untuk memisahkan dari dari Partai Persatuan Pembangunan karena alasan keagamaan, sikap itu sendiri akan menjadi isyu politik (sebuah pengalaman berharga bagi penulis dari waktu sebelum Pemilihan Umum 1982, ketika penulis mengupayakan hal itu). Dan isyu politik itu adalah isyu yang paling 'gawat' dewasa ini: menentang Pancasila. Walaupun sangat ironis jika isyu seperti itu muncul dan mengenai HMI, organisasi yang secara kosisten 'paling Pancasilais' di lingkungan gerakan Islam di negeri kita selama ini.
Politik senerti kata pepatah, adalah ‘seni merakit hal yang paling muingkin dilakukan’ (the art of the possible). Kebenaran diktum ini menyembunyikan sebuah persyaratan utama, yaitu kesediaan pihak-pihak yang terlibat untuk mencari ‘yang mungkin’ tersebut. Dalam keadaan persyaratan itu tidak tercapai, yang dihasilkan seringkali adalah 'the tension of the impossible' (tegangnya sesuatu yang tak terwujudkan). Dan ini yang menimpa HMI saat ini : ketegangan eksternal dengan pihak 'sponsor' gagasan berasas tunggal Pancasila, di samping ketegangan internal antara. pendukung dan penentang gagasan itu di dalam batang tubuh organisasi mereka sendiri.
Penulis akan mengajukan pengamatannya sendiri atas perkembangan tersebut, dengan tujuan dapat turut memperjelas situasi, guna memungkinkan tercapainya. posisi 'seni merakit apa yang paling mungkin dihasilkan’ bagi HMI.
Dua kecenderungan
Dalam dasa warsa terakhir ini, HMI mengalami berkembangnya dua kecenderungan berlawanan dalam dirinya. Di satu pihak, sebagai hasil upaya melakukan pemikiran ulang atas 'ajaran Islam', muncul kecenderungan un- tuk melakukan modernisasi tuntas dalam pemikiran keagamaan warga HMI. Terkenal dalam hal ini adalah isyu 'sekularisasi’ yang dibawakan oleh Drs Nurcholis Madjid, salah seorang 'dedengkot’ HMI dengan karisma dan kemampuan intelektualnya sendiri. Alur umum dari kecenderungan ini adalah keinginan untuk merumuskan 'perjuangan Islam' dari sudut kepentingan nasional bangsa kita. Dengan kata lain, kiprah kaum muslimin harus dicegah sejauh mungkin dari kecenderungan eksklusivistis, memisahkan ‘yang Islam' dari 'yang nasional'. Kecenderungan ini terutama berkembang di kalangan alumni HMI yang memasuki dunia birokrasi pemerintahan dan yang memasuki profesi yang menjadi klien pemerintah. Muncullah dari proses ini 'seri pertama' dari KAHMI di mana-mana.
Dengan cepat, kecenderungan tersebut ditandingi oleh kecenderungan lain, yang justru menampilkan Islam sebagai fokus perjuangan total yang seharusnya dilakukan HMI. Kalau identitas politik Islam tidak sepenuhnya dapat diwujudkan, maka Islam haruslah diperjuangkan secara konsisten di bidang-bidang lain. Ujung dari kiprah seperti itu adalah konsep 'Al-Islam’, yaitu Islam sebagai jalan hidup total. Kalau ada sengketa antara Islam sebagai jalan hidup dan negara dalam sesuatu persoalan, maka sikap negaralah yang harus diluruskan, agar sesuai dengan ajaran Islam. Konsep ini menghendaki penciptaan 'pribadi muslim' yang tidak goyang dalam keyakinan keagamaan oleh apa pun, yang mampu mejelmakan’ke-Islam-an’ (the Islamicity) mereka secara total.Manifestasi sikap ini dapat dilihat di kampus-kampus, dari penolakan formal atas apa yang mereka rumuskan sebagai ‘bertentangan dengan ajaran Islam’ hingga kepadapenggunaan kerudung (jilbab) penutup kepala di kalangan sejumlah mahasiswi.
Perbedaan antara kedua kecen- derungan di atas pertama kali dilambangkan oleh perdebatan yang tidak berlangsung lama antara Nurcholis Madjid dengan Prof Rasjidi (yang diikuti oleh kritik-kritik Endang Saifuddin Anshori terhadap gagasan 'sekularisasi'). Namun, segera ia diikuti oleh perkembangan lain, yang lebih massif lingkupnya namun tersembunyi dari pandangan orang luar. Pihak ‘pembaru' dengan cepat mengembangkan jaringan kegiatan yang berkulminasi pada keterlibatan semakin banyak warga HMI (termasuk alumninya) dalam 'kiprah nasional' bangsa, dan tanpa ragu-ragu menceburkan diri dalam ‘arena’ baru tersebut.
Akbar Tanjung, bekas ketua umum HMI, menjadi 'dedengkot Komite Nasional Pemuda Indonesia, dan diikuti Abdul Gafur yang menjadi menteri muda beberapa tahun kemudian. Beberapa departemen dan lembaga pemerintah sampai-sampai memperoleh predikat 'departemen HMI' dan 'kantor HMI' oleh besarnya arus 'HMI Masuk Pemerintahan' itu. Bukan hanya itu, 'kiprah' tersebut diikuti oleh aktivis dan eks-aktivis HMI yang berjuang dalam kegiatan profesional yang berintikan ketergantungan kepada status rekanan pemerintah dalam bidang usaha.
Pihak ‘Al-Islam' menandingi kiprah di atas dengan kegiatan internal yang sangat intensif. Latihan-latihan pembinaan kader dan pimpinan dilakukan secara tidak kenal lelah, untuk menempa calon-calon 'mujahidin dakwah’ untuk meminjam istilah Imaduddin Abdurrahim, itu 'dedengkot' Masjid Salman ITB yang kini bermukim di Amerika Serikat. Islam sebagai totalitas jalan hidup harus dimulai dari diri sendiri, dan keseluruhan sistem latihan dan perkaderan di dalam HMI dengan cepat mengambil orientasi di atas. Kegiatan tidak berhenti hanya pada latihan, melainkan bercabang dan berlanjut pada banyak hal lain, termasuk bidang penerbitan dan dakwah. Di kedua bidang ini tampak jelas sekali warna tegar dari pendirian keagamaan total itu. Buku-buku yang memuat orientasi legal-formalistis Islam, yang ditulis tokoh-tokoh Dunia Islam seperti Sayyid Qutb dan Al-Maududi, diterjemahkan dengan frekuensi mengagumkan. Materi dakwah kepada publik juga tidak kalah garang dan tegarnya, yang dilakukan oleh kelompok ini, sebagaimana dapat disaksikan di lingkungan sekian banyak organisasi remaja masjid.
Dikhotomi
Dikhotomi tajam dalam tubuh HMI tidak dapat dihindarkan lagi, kedua belah pihak telah memasang kuda-kuda, tanpa ada kekuatan ketiga yang mampu secara efektif melerai sengketa mendasar itu. Keadaan semacam itu hanya menunggu waktu saja untuk meledak, dan Kongres HMI di Medan adalah wahana untuk itu.
Apa yang terjadi di Medan, sebenarnya adalah adu kekuatan antara dua kecenderungan yang disebutkan di atas. Dikhotomi intern HMI mungkin tidak akan berkulminasi dalam sebuah adu kekuatan, jika seandainya tidak ada sekian 'sponsor' yang menyorongkan dua kutub berlawanan ke muka para peserta kongres. 'Sponsor' pertama adalah Menpora Abdul Gafur, yang mensyaratkan kepada Ketua Umum (waktu itu) asas tunggal Pancasila sebagai 'imbalan' pemberian izin kongres. 'Sponsor' tandingan adalah sejumlah KAHMI (terutama Jakarta. Bandung dan Yogyakarta) yang sepenuhnya mengikuti faham 'Al- Islam' di atas. Bagi mereka, asas tunggal Pancasila adalah masalah keyakinan akan kebenaran Islam, atau dengan kata lain, masalah keimanan. Pilihan dari sikap 'tidak membela Islam' dalam hal ini adalah membubarkan saja HMI, karena kata Islam di dalamnya tidak lagi mempunyai makna sama sekali.
Tragedi telah terjadi. Keputusan Kongres HMI untuk menunda permasalahan hingga ada kepastian undang-undang, yang dalam dirinya adalah kompromi yang sehat antara dua kekuatan yang saling beradu, justru menempatkan HMI pada posisi 'menentang Pancasila' di kalangan sejumlah pejabat tinggi pemerintahan. Sebagaimana biasa, dapat diperkirakan akan dilangsungkan 'penggarapan’ masalah itu secara intern, dengan menciptakan krisis yang akan mengundang campur tangan orang luar. Hal itu, kalau terjadi, tentu akan dihadapi dengan sikap lebih militan dan solidaritas lebih menyempit lagi antara warga HMI dan pihak-pihak yang 'sepaham' di luarnya. Prospek konfrontasi berkelanjutan seperti itu tentu saja tidak menggembirakan : pecahnya HMI menjadi dua 'HMI' yang berlawanan, atau HMI bubar sama sekali.
Stabilitas keadaan yang sangat kita perlukan tidak akan tertolong dengan prospek seperti itu. Karenanya, dituntut kearifan pihak ‘pengelola’ masalah kepemudaan dan kemahasiswaan dalam pemerintahan, untuk tidak memprovokasikan keadaan kepada titik akhir yang buruk itu, yang pada dirinya tidak lain akan menambahkesulitan yang dihadapi pemerintah sendiri. GBHN hanya menentukan bidang politik saja yang harus berasas tunggal Pancasila, pendekatan 'minimalis' yang sangat simpatik yang secara optimal dapat dicapai oleh konsensus nasional. Sikap mau berlebih dari itu hanyalah mencerminkan tidak adanya penghargaan kepada konsensus nasional, sesuatu yang dalam jangka panjang akan merugikan kewibawaan moral pemerintah.
Bagi HMI sendiri, tetap ada kewajiban untuk melakukan dialog internal yang sehat mengenai Pancasila. Secara formal, suatu ketika HMI masih harus mengakui Pancasila sebagai sebuah kenyataan yang tak dapat ditolak, karena ia merupakan bagian dari perjuangan Islam di negeri ini. Dialog bersahabat, walaupun berbeda pendirian, antara kedua kecenderungan intern HMI sendiri sangat diperlukan untuk mencapai rumusan yang dapat diterima semua pihak tentang tempat Pancasila dalam perjuangan Islam yang dilakukan organisasi mahasiswa yang sudah lama 'paling Pancasilais’ di antara gerakan Islam di Indonesia ini.
Abdurrahman Wahid, kolumnis, pimpinan Pondok Pesantren Ciganjur
Sumber: Kompas, 27 Juni 1983
0 komentar:
Posting Komentar