alt/text gambar

Selasa, 19 Agustus 2025

Topik Pilihan:

Karakter-Karakter Penulis

Pertama, penulis karena panggilan jiwa, seperti halnya para sastrawan, cerpenis, esais, budayawan, dramawan, atau penyair. Mereka menulis bukan untuk tujuan mencari uang, tapi untuk mengekspresikan jiwa mereka. Sebelum ada proyek buku mereka tetap menulis dan ketika ada proyek buku mereka tetap tidak bergeming, tetap sebagai pengarang independen, tidak mau terlibat dalam tender-tender penulisan buku-buku pelajaran atau bacaan anak-anak di sekolah. Mereka tetap menulis sesuatu yang mereka inginkan untuk ditulis. Semua hasil karya mereka diterbitkan oleh penerbit konvensional, tidak peduli apakah hasil karyanya itu laku di pasaran atau tidak. Dengan kata lain pengarang itu konsisten dengan minat dan idealisme kepengarannya. 

Kedua, pengarang yang tetap menulis buku-buku sesuai dengan minat untuk menjaga idealismenya, tetapi mereka kompromi pada kepentingan penerbit untuk mengikutsertakan karyanya dalam tender yang dibiayai oleh pemerintah. Harapan mereka adalah dengan adanya honor mengarang yang cukup besar mereka dapat menulis lebih produktif lagi. Pengarang ini menyadari sepenuhnya bahwa royalti penulisan buku di Indonesia sangat kecil sehingga jangankan untuk membeli buku-buku yang lainnya, untuk mengembalikan biaya penulisan saja kurang, maka mereka kompromi terhadap tuntutan penerbit, yang penting substansi tetap tidak berubah. 

Ketiga, pengarang yang tetap konsisten menulis sesuai dengan minat untuk menjaga idealismenya, tapi mereka juga menerima pesanan dari penerbit untuk menjawab kebutuhan survival mereka. Atau dengan kata lain kombinasi antara kepentingan idealisme dan tuntutan praktis pragmatis. Perbedaannya dengan tipe yang kedua adalah pada tipe penulis yang ketiga ini yang bersangkutan proaktif, tidak hanya menunggu kehendak penerbit saja. 

Keempat, pengarang yang lahir karena adanya proyek buku dari pemerintah. Sebelumnya mereka tidak pernah menulis karena menganggap tidak memiliki bakat menulis. Tapi setelah mengetahui adanya honor yang lumayan besar dari proyek buku-buku yang dibiayai oleh pemerintah, maka minat dan bakat kepenulisannya itu mereka perlihatkan. Penulis ini umumnya hanya menulis sesuai dengan pesanan dan mereka bisa menulis apa saja sesuai dengan kebutuhan proyek. Penulis tipe keempat ini umumnya juga memiliki relasi yang baik dengan penerbit yang memenangkan tender. Oleh sebab itu, kita pun tidak dapat berharap banyak dari buku-buku yang ditulis oleh penulis semacam itu sebab pengabdian mereka bukan pada bagusnya karya, melainkan untuk memenangkan tender. Dan kita tahu bahwa di negeri ini tulisan yang mencerdaskan dan kritis atau bagus kualitasnya belum tentu dapat keluar sebagai pemenang dalam tender untuk penyediaan buku-buku bacaan yang bermutu bagi masyarakat. Sebaliknya, tulisan-tulisan yang biasa-biasa saja tapi sesuai dengan selera pemberi tender, itulah yang akan keluar sebagai juru pemenangnya. 

Baik penerbit maupun pengarang yang tumbuh selama dua puluh tahun terakhir dan melayani kebutuhan bacaan murid-murid sekolah di seluruh Indonesia itu terkonsentrasi di Jawa khususnya Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Solo, dan Klaten. Tidak mengherankan bila kemudian seluruh isi buku pelajaran di sekolah dari tingkat Taman Kanak-kanak sampai Perguruan Tinggi sangat bias Jawa, bias gender, bias kota, dan bias kelas menengah. 

Karena penerbit dan pengarang itu lahir di Jawa, di kota, laki-laki, dan dari kelas mapan. Sedikit penulis yang lahir dari golongan miskin, perempuan, dan di luar Jawa. Sulit bagi orang miskin yang minim fasilitas akan tumbuh menjadi pengarang, kecuali hanya keajiban belaka. Atau kalau ada mungkin hanya satu orang di antara satu juta manusia saja. Dan itu tidak akan mampu mewarnai belantara buku-buku pelajaran yang amat bias Jawa, bias kota, bias gender, dan bias kelas menengah tadi. 

Jadi berdasarkan uraian di atas jelas, bahwa buku yang seharusnya mencerdaskan dan membuat kita lebih bijak, ternyata justru hanya memperbodoh masyarakat, mencerabut murid dari lingkungan geografis, ekonomi, sosial, budaya, dan agamanya, dan sekaligus juga memiskinkan masyarakat karena setiap saat dipaksa untuk membeli buku-buku yang tidak bermutu dengan harga amat mahal dan setelah itu hanya dibuang di keranjang sampah. 

(Darmaningtyas, Pendidikan yang Memiskinkan, Yogyakarta: Galang Press, 2004, h. 272-175) 



0 komentar:

Posting Komentar