alt/text gambar

Rabu, 27 Agustus 2025

Urgensi Bahasa dalam Kehidupan Manusia

 

Filsuf hermeneutika melihat fungsi esensial bahasa dalam kehidupan manusia. Bahasa tidak hanya dipahami sebagai struktur dan makna serta penggunaannya dalam kehidupan, melainkan fungsi bahasa yang melukiskan seluruh realitas hidup manusia.

Dalam perspektif hermeneutik, bahasa atau lebih tepat disebut die sprachlichkeit dilihat sebagai pusat gravitasi. Gadamer, misalnya, menyatakan bahwa ada yang bisa dimengerti adalah bahasa. Seperti halnya ungkapan Yunani bahwa manusia dipandang sebagai 'zoon logon echon', yang mengandung pengertian bahwa manusia adalah makhluk yang berbicara, makhluk yang memiliki 'logos', manusia adalah makhluk yang bercerita. 

Dalam pengertian ini bahasa bukanlah sekedar salah satu kemampuan manusia di samping kemampuan lainnya. Munculnya perkembangan manusia tidak dapat dianggap sekedar seperti ditemukannya sistem peralatan mekanis ataupun perubahan sistem hidup dari berburu sampai ke tingkat agraris misalnya.

Munculnya bahasa menampilkan suatu transformasi mendasar dan total dari taraf kebinatangan menuju ke tingkat dunia yang khas manusia, yaitu suatu keterpisahan yang mendasar dari kungkungan alam. Munculnya bahasa manusia adalah bersamaan dengan munculnya kemampuan reflektif. 

Berkat adanya bahasa, manusia menjadi objek yang potensial bagi dirinya sendiri. Ungkapan “kenalilah dirimu!”, adalah merupakan basis berkembangnya filsafat Yunani kuno. Ungkapan itu adalah ungkapan yang menunjukkan hakikat bahasa, terbitnya suatu kesadaran diri, yang sekaligus merupakan suatu potensi untuk mengatasi keterbatasan diri itu. 

Manusia bukanlah suatu makhluk yang sekedar natural belaka, melainkan lebih sebagai suatu produk kultural, yaitu suatu "konstruk linguistik”. Oleh sebab itu, bahasa memungkinkan manusia berpikir, sehingga bahasa tidak dapat hanya dilihat sebagai sekedar “medium” sebagaimana terdapat dalam pemikiran modern pada umumnya. 

Bahasa bukanlah sekedar medium atau sarana berpikir belaka. Bukan pula hanya sekedar “representasi” kenyataan. Secara hakiki, bahasa adalah dapat juga kita sebut sebagai manifestasi totalitas pikiran manusia. Sebab, tidak ada cara lain untuk berpikir tentang hakikat kenyataan itu selain melalui bahasa yang merupakan ungkapan kebudayaan manusia. (Rorty, 1982: xix). 

Berkaitan dengan upaya penelusuran ke arah realitas makna kehidupan melalui ungkapan bahasa itulah, maka para filsuf hermeneutik hadir dengan berbagai macam konsepnya, antara lain Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, Gadamer, Habermas, Ricoeur, dan Derrida. (Lihat Prof. Dr. Kaelan, Filsafat Bahasa: Hakikat dan Realitas Bahasa, Yogyakarta: Paradigma, 2017, h. 185-186).

***



Senin, 25 Agustus 2025

DIPELAJARI BOLEH, DISEBARKAN JANGAN


Marxisme

DIPELAJARI BOLEH, DISEBARKAN JANGAN


(TEMPO, No. 26, Tahun XIX, 26 Agustus 1989)


Komunisme boleh dipelajari setelah Pancasila mantap, sekadar untuk perbandingan dan mengetahui keburukannya. 

Inilah pertama kalinya pernyataan Presiden Soeharto mengenai komunisme boleh dipelajari – setelah 24 tahun usia Orde Baru. Minggu pekan lalu Presiden mengatakan kepada 114 kader KNPI peserta penataran P-4 yang meninjau peternakan Tapos di Bogor: pemuda boleh mempelajari ideologi lain, termasuk komunisme. 

Setelah mempelajari liberalisme, komunisme, sosialisme, atau ideologi lani yang berdasarkan agama, di satu pihak kita akan mengetahui kekurangan-kekurangannya. Di pihak lain kita akan benar-benar mengetahui kelebihan Pancasila. “Ideologi lain itu dipelajari sebagai bahan perbandingan,” ujar Pak Harto. 

Setelah keyakinan akan kebenaran Pancasila lebih besar dan diikuti penghayatan dan pengamalannya, kata Presiden, Pancasila tetap dipertahankan sebagai dasar negara, ideologi nasional, dan pandangan hidup rakyat Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 

Tahun 1966 MPRS melarang penyebaran atau pengembangan paham komunisme dalam segala bentuk dan manifestasinya. Dan setelah 23 tahun berlalu, menurut Menteri Sekretaris Negara Moerdiono, boleh dipelajari, tapi bukan disebarluaskan. Dan itu setelah ketahanan ideologis mantap, berkat adanya penataran P-4. 

“Aneh, kalau kita harus waspada terhadap bahasa komunis, tapi tak tahu persis komunisme, lantas apa yang kita waspadai?” kata Moerdiono. Dengan mempelajari komunisme, orang tahu komunisme tidak cocok dengan Pancasila. “Setelah membentengi diri dengan ideologi Pancasila, berkat adanya penataran, kita percaya akan kebenaran Pancasila,” katanya. 

Selama ini, tak ada satu pun lembaga ilmiah yang dibenarkan menyelenggarakan pengkajian komunisme, atau Marxisme dan Leninisme. Sementara itu, dalam TAP MPRS No. XXV/MPRS/966, pasal 3, komunisme itu boleh dipalajari secara ilmiah di universitas dalam rangka mengamankan Pancasila. Dan itu secara terpimpin, dengan ketentuan, “Pemerintah dan DPR harus mengadakan perundang-undangan untuk pengamanan.” 

Sedangkan menurut Moerdiono, pernyataan Presiden itu bersifat umum. Untuk pelaksanaan, ada tata caranya. RUU mengenai itu sedang disusun, dan bisa cepat selesai. Selama undang-undangnya belum ada, ideologi dilarang diajarkan di universitas. 

Tapi beberapa universitas ada yang memberikan kuliah Marxisme. Misalnya, Universitas Indonesia. “Sejauh itu sebagai ilmu, tak ada masalah untuk dipelajari. Kami mempercayakan ini di jurusan filsafat menyusun mata kuliah itu, termasuk pemikiran Marxis” kata Dr Tadjuddin M.K., Pembantu Rektor I UI. 

Selama ini yang boleh menyelenggarakan pengkajian Marxisme itu hanya Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas). Dalam kursus kewaspadaan nasional yang diikuti kalangan militer, pengkajian ini sangat intensif. Dan kursus untuk peserta dari luar hanya diberikan dasar-dasarnya, 6 unit, masing-masing 2,5 jam. 

Kajian Marxisme di Lemhanas dilihat dari sudut Pancasila. “Kita sorot keburukannya, bukan kebaikannya ditonjolkan,” kata Mayor Jenderal Soebijakto, Gubernur Lemhanas. Sedangkan pernyataan Presiden itu dilihatnya sebagai peringatan: saatnya komunisme dipelajari untuk mengetahui persisnya musuh-musuh Pancasila.

Apalagi ada kelompok yang meniru cara kaum komunis. Misalnya GPK Warsidi di Lampung yang membangun basis yang sulit dicapai pemerintah. Juga sebuah kelompok di Bima, Sumbawa. “Tipe strateginya seperti gerilya PKI di Blitar selatan tempo hari. Rupanya, mereka mempelajari strategi Mao Zedong,” ujarnya. 

Di Lemhanas ada perpustakaan khusus yang mengoleksi buku-buku komunisme. Ada karya Mao Zedong, ada juga karangan Lenin. “Buku-buku itu ndak boleh dibaca kecuali atas izin saya. Saya juga harus lihat dulu siapa orangnya,” kata Soebijakto. 

BSH, Linda Djalil, dan Priyono B. Sumbogo


Sumber: TEMPO, No. 26, Tahun XIX, 26 Agustus 1989

Seputar Filsafat Bahasa

George Edward Moore dan Filsafat Bahasa


George Edward Moore

Moore adalah seorang tokoh filsafat analitik (penguraian) kelahiran Upper Nortwood London. Sebagai seorang analis, Moore berpendapat bahwa tugas filsafat adalah memberikan analisis yang tepat tentang konsep atau proposisi, yaitu menyatakan dengan jelas dan tepat apa yang dimaksudkan dengan konsep-konsep atau proposisi-proposisi dalam ilmu filsafat. 

Karya Moore yang terkenal adalah Principia Ethica (1903) dan dalam bentuk yang populer adalah Ethics (1912). Ia tidak menolak etika normatif dan lebih menekankan pada analisis konse dan argumentasi-argumentasi yang dipakai dalam etika. 

Jadi, Moore lebih menekankan pada analisis “metaetika”. Buku yang berjudul Principia Ethica sebagian besar merupakan uraian-uraian yang menyangkut terminologi dalam etika, misalnya tentang arti kata “baik”. Suatu pembahasan Moore yang terkenal adalah kritik dan uraiannya tentang “kekeliruan naturalistis” (naturalistic fallacy). Dalam uraiannya, Moore menjelaskan arti kata “baik” dalam etika yang disamakan dengan ciri naturalistis. Misalnya kekeliruan yang dilakukan oleh para penganut paham "hedonisme”, yang menyamakan “baik” dengan sesuatu yang “menyenangkan”. 

Bagi mereka “X itu baik” sama artinya dengan “X itu menyenangkan”. Tapi hal itu tidak dapat dipertahankan terutama karena dua alasan sebagai berikut. 

Pertama, kalau seandainya “baik” dan “menyenangkan” itu sama artinya, maka akan timbul suatu masalah tentang bagaimana sesuatu yang menyenangkan tapi tidak baik, sebab dalam kenyataannya hal itu sering terjadi. 

Kedua, kalau seandainya pengertian “baik” dan “menyenangkan” sama artinya, maka pertanyaan “apakah yang menyenangkan itu baik?” seharusnya sama artinya juga dengan pertanyaan “apakah yang baik itu baik?” Namun demikian kita yakin bahwa pertanyaan pertama betul-betul mempunyai arti dan tidak boleh disetarafkan dengan pertanyaan yang kedua yang sederhana itu. Moore berpendapat bahwa kata “baik” memang tidak dapat didefinisikan sebab tidak mungkin diasalkan kepada suatu yang lebih jelas lagi. 

Moore memang tak menolak metafisika, tapi dalam berbagai macam uraiannya ia tidak mempraktekkan metafisika. Secara teoritis ia mengakui bahwa metafisika sebagai salah satu cabang filsafat yang penting, akan tetapi ia justru lebih tertarik untuk mengkritik pandangan metafisis dari filsuf lain. Dalam pengertian inilah Moore secara tidak langsung telah membangun tumbuhnya sikap skiptis dan kritis terhadap metafisika. Inilah sumbangan Moore terhadap tumbuhnya aliran baru di Inggris terutama atomisme logis yang mengkritik dan bahkan menolak metafisika (Bertens, 1981 :24). 

Atas dasar sikapnya yang konsisten tersebut maka tidaklah mengherankan jikalau Moore mengkritik kaum idealisme Inggris yang pada saat itu menguasai dunia pemikiran di Inggris. Kritik Moore terhadap aliran idealisme tersebut tertuang dalam karangannya yang berjudul “The Refutation of Idealism”, yang dimuat dalam majalah Mind (1903). Kaum idealisme terutama kaum Hegelian berpendapat bahwa “segala sesuatu itu bersifat spiritual”, “tidak ada dunia material di luar kita”, “waktu adalah tidak real” dan lain sebagainya. 

Menurut Moore pendapat kaum idealisme tersebut tidak berdasarkan pada logika sehingga tidak terpahami oleh akal sehat (common sense), dalam kaitan dengan pendapat Moore inilah maka atomisme logis mendapat inspirasi bahwa analisis bahasa harus mendasarkan pada logika, sehingga ungkapan-ungkapan bahasa yang melukiskan suatu realitas terwujud dalam bentuk proposisi-proposisi (lihat Bertens, 1981: 24; Charlesworth, 1959: 12). 

Formulasi pemikiran filsafat yang mendasarkan pada suatu analisis melalui bahasa dan didasarkan atas logika inilah yang merupakan jasa-jasa baik Moore terhadap lahirnya atomisme logis. Tapi hendaklah kita ingat bahwa memang dalam kenyataannya seluruh dasar-dasar logika atomisme logis tak didasarkan atas pemikiran Moore karena sebagaimana diketahui bahwa Moore bukanlah ahli di bidang logika. 

Dalam setiap sistem analisisnya Moore tidak mengakhiri dengan justifikasi benar atau salah melainkan apakah sesuatu itu bermakna atau tidak bermakna. 

Atas dasar ciri-ciri pemikiran Moore beserta metodenya maka tidaklah mengherankan bilamana Moore diberi gelar sebagai perintis gerakan baru dalam pemikiran filsafat di Inggris, yaitu sebagai perintis gerakan filsafat analitik yang dalam terminologi filsafat dikenal juga dengan istilah "filsafat analitika bahasa". 

Berdasarkan atas reputasinya itu maka Moore berpendapat bahwa tugas utama filsafat adalah memberikan analisis yang tepat atau yang memadai tentang konsep suatu proposisi, yaitu menguraikan dengan jelas dan memadai apa yang dimaksud dengan konsep atau proposisi itu (Moore, 1959: vii). 

Memberikan analisis secara pantas terhadap suatu konsep atau suatu proposisi itu sama dengan menggantikan perkataan atau kalimat yang digunakan untuk mengungkapkan hal itu dengan ungkapan-ungkapan lain yang sama benar nilainya (exactly equivalent) dengan kalimat atau ungkapan tadi tapi menjadi semakin jelas maknanya.

(lihat Prof. Dr. Kaelan, Filsafat Bahasa: Hakikat dan Realitas Bahasa, Yogyakarta: Paradigma, 2017, h. 90-92) 

***

Filsafat sebagai Analisis Bahasa

Bahasa adalah alat yang paling utama bagi seorang filsuf serta merupakan media untuk analisis dan refleksi. Oleh karena itu, bahasa sangat sensitif terhadap kekaburan serta kelemahan-kelemahan lainnya, sehingga banyak filsuf menaruh perhatian untuk menyempurnakannya. 

Hal ini terutama dengan timbulnya aliran filsafat analitika bahasa yang memandang bahwa problema-problema filosofis akan menjadi terjelaskan manakala menggunakan analisis terminologi gramatika, bahkan kalangan filsuf analitika bahasa menyadari banyak ungkapan-ungkapan filsafat yang sama sekali tidak menjelaskan apa-apa. 

Berdasarkan hal tersebut maka banyak kalangan filsuf terutama para tokoh filsafat analitika bahasa menyatakan bahwa tugas utama filsafat adalah analisis konsep-konsep. Sebagaimana kita ketahui misalnya banyak filsuf yang mengetengahkan konsepnya melalui analitika bahasa, misalnya “apakah keadilan itu", “apakah yang dimaksud dengan kebenaran”, “apakah yang dimaksud dengan kebaikan” dan lain sebagainya. Kegiatan yang semacam itu merupakan suatu permulaan dari suatu usaha pokok filsafat untuk mendapatkan kebenaran hakiki tentang segala sesuatu termasuk manusia sendiri. 

Namun demikian kegiatan para filsuf semacam itu dewasa ini dianggap tidak mencukupi karena tidak didukung dengan pengamatan dan pembuktian yang memadai untuk mendapatkan kesimpulan yang adekuat. Oleh karena itu, untuk menjawab pertanyaan yang fundamental tentang hakikat segala sesuatu para filsuf berupaya untuk memberikan suatu argumentasi yang didukung dengan analisis bahasa yang memenuhi syarat-syarat logis. Untuk itu, terdapat tiga cara untuk memformulasikan problema filsafat secara analitis misalnya masalah sebab-akibat, kebenaran, pengetahuan ataupun kewajiban moral, misalnya tentang hakikat pengetahuan sebagai berikut: 

(1) Kita menyelidiki pengetahuan itu. 

(2) Kita menganalisis konsep pengetahuan itu. 

(3) Kita ingin membuat eksplisit kebenaran pengetahuan itu. 

Untuk pemecahan yang pertama mustahil dapat dilaksanakan karena seakan-akan filsafat itu mencari dan meneliti suatu entitas (keberadaan) sesuatu yang disebut pengetahuan yang berada bebas dari pikiran manusia. 

Untuk yang kedua itu juga menyesatkan karena seakan-akan tugas filsafat untuk memeriksa,meneliti dan mengamati sesuatu yang disebut pengetahuan. Kemudian menentukan bagian-bagiannya, menentukan hubungan-hubungannya hingga menjadi suatu konsep yang disebut pengetahuan. 

Kiranya hanya kemungkinan alternatif yang ketiga saja yang layak dilakukan oleh filsafat, yaitu bahwa tugas utama filsafat adalah analisis konsep-konsep , dan dengan demikian maka tugas filsafat sebagai analisis konsep-konsep tersebut senantiasa melalui bahasa (Poerwowidagdo, tanpa tahun: 14). Memang filsafat sebagai analisis konsep-konsep tersebut senantiasa berkaitan dengan bahasa yang berkaitan dengan makna (semantik) dan tidak turut campur dalam bahasa itu sendiri.

(Prof. Dr. Kaelan, Filsafat Bahasa: Hakikat dan Realitas Bahasa, Yogyakarta: Paradigma, 2017, h. 80-81) 


***

Filsafat menurut Wittgenstein dan Bertrand Russell

Ludwig Wittgenstein sependapat dengan gurunya bahwa tugas utama filsafat adalah memberikan analisis logis dan disertai dengan sintesa logis. Dalam Tractatus ia menjelaskan bahwa filsafat bertujuan untuk penjelasan logis dari pikiran. 

Filsafat itu sebenarnya bukanlah merupakan suatu tubuh atau kumpulan ajaran-ajaran atau doktrin-doktrin, malainkan suatu kegiatan atau aktivitas. Sebuah karya filsafat pada pokoknya terdiri atas penjelasan-penjelasan serta urajan-urajan. Filsafat tidak menghasilkan keterangan-keterangan filsafati, namun lebih cenderung kepada penyelasanpenjelasan tentang proposisi. Tanpa filsafat pikiran itu akan mengawang dan tidak jelas, sehingga tugas filsafat ialah membuat jelas dan batas-batas pengertian yang jelas. 

Uraian Wittgenstein dalam pendahuluan tulisannya ia menyatakan bahwa persoalan filsafat itu timbul karena para filsuf terdahulu dalam memecahkan dan merumuskan problema-problema filsafat kurang memahami logika bahasa, yang digunakan ' dalam filsafat (Wittgenstein, 1963 : 27). Menurutnya uraian yang dilakukan oleh filsuf terdahulu tentang proposisi dan problema filsafat bukannya salah, melainkan tidak dapat dipahami. Oleh karena itu kita tidak dapat memberikan suatu jawaban terhadap persoalan semacam itu, kecuali hanya membiarkannya dalam . bentuk seperti semula yang tidak terpahami. Problema dan proposisi yang dikemukan oleh para filsuf terdahulu itu tidak dapat dipahami karena mereka tidak mengerti dengan logika bahasa. Oleh karena itu kita tidak dapat memikirkan sesuatu yang tidak logis karena hal itu akan membuat kita menjadi tidak logis juga (Wittgenstein, 1963 : 31,32). 

(Prof. Dr. Kaelan, Filsafat Bahasa: Hakikat dan Realitas Bahasa, Yogyakarta: Paradigma, 2017, h. 107-08) 


***


Thomas Aquinas, selain melalui analogi, juga mengangkat wacana teologi ke tingkat wacana ilmiah filosofis melalui metafor. Memang terdapat kendala yang bersifat dilematis yaitu di satu pihak keberadaan Tuhan yang bersifat transenden diungkapkan melalui bahasa yang acuannya adalah makhluk ciptaan Tuhan yang sifatnya adalah real dan terbatas. Melalui ungkapan bahasa metaforis persoalan-persoalan teologi dapat diklarifikasikan secara ilmiah filosofis. Hal ini dapat dilakukan dengan sendirinya melalui kelenturan bahasa. Dalam Summa Theologiae diungkapkan "Tangan Tuhan menciptakan keajaiban”. Yang dimaksud tangan dalam pengertian harfiah adalah mengacu pada anggota badan manusia. Namun demikian yang dimaksud dengan “Tangan Tuhan” adalah makna spiritual, sehinga pengertian makna “Tangan Tuhan" adalah kekuatan,kekuasaan dari Tuhan. Dengan melalui ungkapan bahasa metaforis ini Thomas mampu mengungkap makna spiritual teologis ke dataran ilmiah filosofis sekaligus menghilangkan kekaburan ungkapan teologis (Borgmann, 1974:63). 

Perkembangan pemikiran filosofis zaman abad pertengahan yang memuncak mencapai puncak keemasan pada karya dan konsep-konsep Skolastik terutama pemikiran filosofis Thomas Aquinas yang mengangkat dan menganalisis secara kritis karya-karya besar Aristoteles. Dalam kenyataannya metode yang digunakan dalam memecahkan dan menjelaskan problema-problema filosofis dengan menggunakan metode analisis bahasa dengan mendasarkan sistem logika Aristoteles. Kreativitas yang menonjol dari karya pemikiran Thomas ini melalui analisis bahasa terutama analogi dan metafor, mampu mengangkat persoalan-persoalan teologis ketingkat pemikiran yang berifat ilmiah filosofis. Analisis bahasa teologi tentang hakikat Tuhan yang transenden sulit diungkapkan melalui bahasa terutama yang mengacu pada realitas fakta ciptaan Tuhan. Dilema inilah yang kemudian dipecahkan oleh Thomas melalui karya besarnya dengan menggunakan analisis bahasanya terutama melalui analogi dan metafor. 

*** 


Moore adalah seorang tokoh filsafat analitik (penguraian) kelahiran Upper Nortwood London. Sebagai seorang analis, Moore berpendapat bahwa tugas filsafat adalah memberikan analisis yang tepat tentang konsep atau proposisi, yaitu menyatakan dengan jelas dan tepat apa yang dimaksudkan dengan konsep-konsep atau proposisi-proposisi dalam ilmu filsafat. 

Karya Moore yang terkenal adalah Principia Ethica (1903) dan dalam bentuk yang populer adalah Ethics (1912). Ia tidak menolak etika normatif dan lebih menekankan pada analisis konse dan argumentasi-argumentasi yang dipakai dalam etika. 

Jadi, Moore lebih menekankan pada analisis “metaetika”. Buku yang berjudul Principia Ethica sebagian besar merupakan uraian-uraian yang menyangkut terminologi dalam etika, misalnya tentang arti kata “baik”. Suatu pembahasan Moore yang terkenal adalah kritik dan uraiannya tentang “kekeliruan naturalistis” (naturalistic fallacy). Dalam uraiannya, Moore menjelaskan arti kata “baik” dalam etika yang disamakan dengan ciri naturalistis. Misalnya kekeliruan yang dilakukan oleh para penganut paham "hedonisme”, yang menyamakan “baik” dengan sesuatu yang “menyenangkan”. 

Bagi mereka “X itu baik” sama artinya dengan “X itu menyenangkan”. Tapi hal itu tidak dapat dipertahankan terutama karena dua alasan sebagai berikut. 

Pertama, kalau seandainya “baik” dan “menyenangkan” itu sama artinya, maka akan timbul suatu masalah tentang bagaimana sesuatu yang menyenangkan tapi tidak baik, sebab dalam kenyataannya hal itu sering terjadi. 

Kedua, kalau seandainya pengertian “baik” dan “menyenangkan” sama artinya, maka pertanyaan “apakah yang menyenangkan itu baik?” seharusnya sama artinya juga dengan pertanyaan “apakah yang baik itu baik?” Namun demikian kita yakin bahwa pertanyaan pertama betul-betul mempunyai arti dan tidak boleh disetarafkan dengan pertanyaan yang kedua yang sederhana itu. Moore berpendapat bahwa kata “baik” memang tidak dapat didefinisikan sebab tidak mungkin diasalkan kepada suatu yang lebih jelas lagi. 

Moore memang tak menolak metafisika, tapi dalam berbagai macam uraiannya ia tidak mempraktekkan metafisika. Secara teoritis ia mengakui bahwa metafisika sebagai salah satu cabang filsafat yang penting, akan tetapi ia justru lebih tertarik untuk mengkritik pandangan metafisis dari filsuf lain. Dalam pengertian inilah Moore secara tidak langsung telah membangun tumbuhnya sikap skiptis dan kritis terhadap metafisika. Inilah sumbangan Moore terhadap tumbuhnya aliran baru di Inggris terutama atomisme logis yang mengkritik dan bahkan menolak metafisika (Bertens, 1981 :24). 

Atas dasar sikapnya yang konsisten tersebut maka tidaklah mengherankan jikalau Moore mengkritik kaum idealisme Inggris yang pada saat itu menguasai dunia pemikiran di Inggris. Kritik Moore terhadap aliran idealisme tersebut tertuang dalam karangannya yang berjudul “The Refutation of Idealism”, yang dimuat dalam majalah Mind (1903). Kaum idealisme terutama kaum Hegelian berpendapat bahwa “segala sesuatu itu bersifat spiritual”, “tidak ada dunia material di luar kita”, “waktu adalah tidak real” dan lain sebagainya. 

Menurut Moore pendapat kaum idealisme tersebut tidak berdasarkan pada logika sehingga tidak terpahami oleh akal sehat (common sense), dalam kaitan dengan pendapat Moore inilah maka atomisme logis mendapat inspirasi bahwa analisis bahasa harus mendasarkan pada logika, sehingga ungkapan-ungkapan bahasa yang melukiskan suatu realitas terwujud dalam bentuk proposisi-proposisi (lihat Bertens, 1981: 24; Charlesworth, 1959: 12). 

Formulasi pemikiran filsafat yang mendasarkan pada suatu analisis melalui bahasa dan didasarkan atas logika inilah yang merupakan jasa-jasa baik Moore terhadap lahirnya atomisme logis. Tapi hendaklah kita ingat bahwa memang dalam kenyataannya seluruh dasar-dasar logika atomisme logis tak didasarkan atas pemikiran Moore karena sebagaimana diketahui bahwa Moore bukanlah ahli di bidang logika. 

Dalam setiap sistem analisisnya Moore tidak mengakhiri dengan justifikasi benar atau salah melainkan apakah sesuatu itu bermakna atau tidak bermakna. 

Atas dasar ciri-ciri pemikiran Moore beserta metodenya maka tidaklah mengherankan bilamana Moore diberi gelar sebagai perintis gerakan baru dalam pemikiran filsafat di Inggris, yaitu sebagai perintis gerakan filsafat analitik yang dalam terminologi filsafat dikenal juga dengan istilah "filsafat analitika bahasa". 

Berdasarkan atas reputasinya itu maka Moore berpendapat bahwa tugas utama filsafat adalah memberikan analisis yang tepat atau yang memadai tentang konsep suatu proposisi, yaitu menguraikan dengan jelas dan memadai apa yang dimaksud dengan konsep atau proposisi itu (Moore, 1959: vii). 

Memberikan analisis secara pantas terhadap suatu konsep atau suatu proposisi itu sama dengan menggantikan perkataan atau kalimat yang digunakan untuk mengungkapkan hal itu dengan ungkapan-ungkapan lain yang sama benar nilainya (exactly equivalent) dengan kalimat atau ungkapan tadi tapi menjadi semakin jelas maknanya.

(lihat Prof. Dr. Kaelan, Filsafat Bahasa: Hakikat dan Realitas Bahasa, Yogyakarta: Paradigma, 2017, h. 90-92) 


***

Filsafat sebagai Analisis Bahasa


Bahasa adalah alat yang paling utama bagi seorang filsuf serta merupakan media untuk analisis dan refleksi. Oleh karena itu, bahasa sangat sensitif terhadap kekaburan serta kelemahan-kelemahan lainnya, sehingga banyak filsuf menaruh perhatian untuk menyempurnakannya. 

Hal ini terutama dengan timbulnya aliran filsafat analitika bahasa yang memandang bahwa problema-problema filosofis akan menjadi terjelaskan manakala menggunakan analisis terminologi gramatika, bahkan kalangan filsuf analitika bahasa menyadari banyak ungkapan-ungkapan filsafat yang sama sekali tidak menjelaskan apa-apa. 

Berdasarkan hal tersebut maka banyak kalangan filsuf terutama para tokoh filsafat analitika bahasa menyatakan bahwa tugas utama filsafat adalah analisis konsep-konsep. Sebagaimana kita ketahui misalnya banyak filsuf yang mengetengahkan konsepnya melalui analitika bahasa, misalnya “apakah keadilan itu", “apakah yang dimaksud dengan kebenaran”, “apakah yang dimaksud dengan kebaikan” dan lain sebagainya. Kegiatan yang semacam itu merupakan suatu permulaan dari suatu usaha pokok filsafat untuk mendapatkan kebenaran hakiki tentang segala sesuatu termasuk manusia sendiri. 

Namun demikian kegiatan para filsuf semacam itu dewasa ini dianggap tidak mencukupi karena tidak didukung dengan pengamatan dan pembuktian yang memadai untuk mendapatkan kesimpulan yang adekuat. Oleh karena itu, untuk menjawab pertanyaan yang fundamental tentang hakikat segala sesuatu para filsuf berupaya untuk memberikan suatu argumentasi yang didukung dengan analisis bahasa yang memenuhi syarat-syarat logis. Untuk itu, terdapat tiga cara untuk memformulasikan problema filsafat secara analitis misalnya masalah sebab-akibat, kebenaran, pengetahuan ataupun kewajiban moral, misalnya tentang hakikat pengetahuan sebagai berikut: 

(1) Kita menyelidiki pengetahuan itu. 

(2) Kita menganalisis konsep pengetahuan itu. 

(3) Kita ingin membuat eksplisit kebenaran pengetahuan itu. 

Untuk pemecahan yang pertama mustahil dapat dilaksanakan karena seakan-akan filsafat itu mencari dan meneliti suatu entitas (keberadaan) sesuatu yang disebut pengetahuan yang berada bebas dari pikiran manusia. 

Untuk yang kedua itu juga menyesatkan karena seakan-akan tugas filsafat untuk memeriksa,meneliti dan mengamati sesuatu yang disebut pengetahuan. Kemudian menentukan bagian-bagiannya, menentukan hubungan-hubungannya hingga menjadi suatu konsep yang disebut pengetahuan. 

Kiranya hanya kemungkinan alternatif yang ketiga saja yang layak dilakukan oleh filsafat, yaitu bahwa tugas utama filsafat adalah analisis konsep-konsep , dan dengan demikian maka tugas filsafat sebagai analisis konsep-konsep tersebut senantiasa melalui bahasa (Poerwowidagdo, tanpa tahun: 14). Memang filsafat sebagai analisis konsep-konsep tersebut senantiasa berkaitan dengan bahasa yang berkaitan dengan makna (semantik) dan tidak turut campur dalam bahasa itu sendiri.

(Prof. Dr. Kaelan, Filsafat Bahasa: Hakikat dan Realitas Bahasa, Yogyakarta: Paradigma, 2017, h. 80-81) 


***


Filsafat menurut Wittgenstein dan Bertrand Russell

Ludwig Wittgenstein sependapat dengan gurunya bahwa tugas utama filsafat adalah memberikan analisis logis dan disertai dengan sintesa logis. Dalam Tractatus ia menjelaskan bahwa filsafat bertujuan untuk penjelasan logis dari pikiran. 

Filsafat itu sebenarnya bukanlah merupakan suatu tubuh atau kumpulan ajaran-ajaran atau doktrin-doktrin, malainkan suatu kegiatan atau aktivitas. Sebuah karya filsafat pada pokoknya terdiri atas penjelasan-penjelasan serta urajan-urajan. Filsafat tidak menghasilkan keterangan-keterangan filsafati, namun lebih cenderung kepada penyelasanpenjelasan tentang proposisi. Tanpa filsafat pikiran itu akan mengawang dan tidak jelas, sehingga tugas filsafat ialah membuat jelas dan batas-batas pengertian yang jelas. 

Uraian Wittgenstein dalam pendahuluan tulisannya ia menyatakan bahwa persoalan filsafat itu timbul karena para filsuf terdahulu dalam memecahkan dan merumuskan problema-problema filsafat kurang memahami logika bahasa, yang digunakan ' dalam filsafat (Wittgenstein, 1963 : 27). Menurutnya uraian yang dilakukan oleh filsuf terdahulu tentang proposisi dan problema filsafat bukannya salah, melainkan tidak dapat dipahami. Oleh karena itu kita tidak dapat memberikan suatu jawaban terhadap persoalan semacam itu, kecuali hanya membiarkannya dalam . bentuk seperti semula yang tidak terpahami. Problema dan proposisi yang dikemukan oleh para filsuf terdahulu itu tidak dapat dipahami karena mereka tidak mengerti dengan logika bahasa. Oleh karena itu kita tidak dapat memikirkan sesuatu yang tidak logis karena hal itu akan membuat kita menjadi tidak logis juga (Wittgenstein, 1963 : 31,32). 

(Prof. Dr. Kaelan, Filsafat Bahasa: Hakikat dan Realitas Bahasa, Yogyakarta: Paradigma, 2017, h. 107-08) 


***


bersifat dilematis yaitu di satu pihak keberadaan Tuhan an bersifat transenden diungkapkan melalui bahasa an acuannya adalah makhluk ciptaan Tuhan yang sifatnya adalah real dan terbatas. Melalui ungkapan bahasa metaforis persoalan-persoalan teologi dapat diklarifikasikan secara ilmiah filososfis. Hal ini dapat dila, kukan dengan sendirinya melalui kelenturan bahasa. Dalam Summa Theologiae diungkapkan Tangan Tuhan menciptakan kea, jaiban”. Yang dimaksud tangan dalam pengertian harafiah adalah mengacu pada anggota badan manusia . Namun demikian yang dimaksud dengan “Tangan Tuhan” adalah makna spiritual, sehingga pengertian makna “Tangan Tuhan' adalah kekuatan,kekuasaan dari Tuhan. Dengan melalui ungkapan bahasa metaforis ini Thomas mampu mengungkap makna spiritual teologis ke dataran ilmiah filosofis sekaligus menghilangkan kekaburan ungkapan teologis (Borgmann, 1974:63). 

Perkembangan pemikiran filosofis zaman abad pertengahan yang memuncak mencapai puncak keemasan pada karya dan konsep-konsep Skolastik terutama pemikiran filosofis Thomas Aquinas yang mengangkat dan menganalisis secara kritis karya-karya besar Aristoteles. Dalam kenyataannya metode yang digunakan dalam memecahkan dan menjelaskan problema-problema filosofis dengan menggunakan metode analisis bahasa dengan mendasarkan sistem logika Aristoteles. Kreativitas yang menonjol dari karya pemikiran Thomas ini melalui analisis bahasa terutama analogi dan metafor, mampu mengangkat persoalan-persoalan teologis ketingkat pemikiran yang berifat ilmiah filosofis. Analisis bahasa teologi tentang hakikat Tuhan yang transenden sulit diungkapkan melalui bahasa terutama yang mengacu pada realitas fakta ciptaan Tuhan. Dilema inilah yang kemudian dipecahkan oleh Thomas melalui karya besarnya dengan menggunakan analisis bahasanya terutama melalui analogi dan metafor. 

*** 

Thomas Aquinas: Analogi dan Metafor dalam Memahami Wacana Ketuhanan


Thomas Aquinas, selain melalui analogi, juga mengangkat wacana teologi ke tingkat wacana "ilmiah filosofis" melalui metafor. Memang terdapat kendala yang bersifat dilematis, yaitu di satu pihak keberadaan Tuhan yang bersifat transenden diungkapkan melalui bahasa yang acuannya adalah makhluk ciptaan Tuhan yang sifatnya adalah real dan terbatas. Melalui ungkapan bahasa metaforis, persoalan-persoalan teologi dapat diklarifikasikan secara ilmiah filosofis. 

Hal ini dapat dilakukan dengan sendirinya melalui kelenturan bahasa. Dalam Summa Theologiae diungkapkan "Tangan Tuhan menciptakan keajaiban”. Yang dimaksud tangan dalam pengertian harafiah adalah mengacu pada anggota badan manusia. Namun demikian yang dimaksud dengan “Tangan Tuhan” adalah makna spiritual, sehingga pengertian makna “Tangan Tuhan" adalah kekuatan, kekuasaan dari Tuhan. Dengan melalui ungkapan bahasa metaforis ini, Thomas mampu mengungkap makna spiritual teologis ke dataran ilmiah filosofis sekaligus menghilangkan kekaburan ungkapan teologis (Borgmamn, 1974: 63). 

Perkembangan pemikiran filosofis zaman abad pertengahan yang memuncak mencapai puncak keemasan pada karya dan konsep-konsep Skolastik terutama pemikiran filosofis Thomas Aquinas yang mengangkat dan menganalisis secara kritis karya-karya besar Aristoteles. Dalam kenyataannya metode yang digunakan dalam memecahkan dan menjelaskan problema-problema filosofis dengan menggunakan metode analisis bahasa dengan mendasarkan sistem logika Aristoteles. Kreativitas yang menonjol dari karya pemikiran Thomas ini melalui analisis bahasa terutama analogi dan metafor, mampu mengangkat persoalan-persoalan teologis ketingkat pemikiran yang berifat ilmiah filosofis. Analisis bahasa teologi tentang hakikat Tuhan yang transenden sulit diungkapkan melalui bahasa terutama yang mengacu pada realitas fakta ciptaan Tuhan. Dilema inilah yang kemudian dipecahkan oleh Thomas melalui karya besarnya dengan menggunakan analisis bahasanya terutama melalui analogi dan metafor. 

(Prof. Dr. Kaelan, Filsafat Bahasa: Hakikat dan Realitas Bahasa, Yogyakarta: Paradigma, 2017, h. 49-50) 

***

Proposisi merupakan suatu gambaran keberadaan suatu peristiwa, maka keberadaan suatu peristiwa itu tidak dapat benar atau salah. Proposisi sebagai sarana yang berupa suatu ungkapan bahasa yang menghadirkan bentuk peristiwa kepada kita itulah yang dapat dikenakan kualifikasi benar atau salah (Bertens, 1981: 44). Maka sebuah proposisi memiliki dua "macam kutub, yaitu suatu proposisi mengandung kebenaran jikalau bersesuaian dengan suatu keberadaan peristiwa, dan sebaliknya seebuah proposisi mengandung suatu kesalahan manakala tidak berkesesuaian dengan keberadaan suatu peristiwa (Wittgenstein, n 1969: 94). (Lihat Prof. Dr. Kaelan, Filsafat Bahasa: Hakikat dan Realitas Bahasa, Yogyakarta: Paradigma, 2017, h. 116) 

***

Problem-problem Filsafat Timbul karena Kekacauan para Filsuf dalam Penggunaan Bahasa

Problem-problem filsafat timbul karena kekacauan para filsuf dalam penggunaan bahasa, yaitu mencampuradukkan pemakaian ungkapan konsep nyata dengan konsep formal. Menurut Wittgenstein, struktur bahasa yang terdapat dalam konsep formal itu digunakan secara paksa untuk mengikuti struktur bahasa yang serupa dengan konsep nyata. Padahal, struktur ungkapan bahasa dalam konsep formal itu tidak memiliki struktur logis yang pasti sebagaimana terdapat dalam struktur bahasa dalam konsep nyata. Oleh karena tidak memiliki struktur logis maka, menurut Wittgenstein, sesuatu yang termasuk konsep formal itu sebenarnya tidak dapat diungkapkan ke dalam sebuah proposisi, melainkan hanya ditunjukkan oleh objek itu sendiri dalam bentuk simbol (misalnya “nama”, dipergunakan untuk mengatakan suatu objek, angka, dipergunakan untuk tanda bilangan, dan lain sebagainya). Konsep formal tidaklah sama dengan konsep nyata yang hadir melalui suatu fungsi yang dimilikinya. Keduanya memiliki ciri yang berbeda, sebab sifat-sifat formal tidak dapat menghadirkan fungsinya secara jelas, ia hanya dapat diungkapkan dalam bentuk simbol yang bersifat pasti (Wittgenstein, 1969: 126). (Lihat Prof. Dr. Kaelan, Filsafat Bahasa: Hakikat dan Realitas Bahasa, Yogyakarta: Paradigma, 2017, h. 117-118) 

***

Urgensi Bahasa dalam Kehidupan Manusia

Filsuf hermeneutika melihat fungsi esensial bahasa dalam kehidupan manusia. Bahasa tidak hanya dipahami sebagai struktur dan makna serta penggunaannya dalam kehidupan, melainkan fungsi bahasa yang melukiskan seluruh realitas hidup manusia. Dalam perspektif hermeneutik, bahasa atau lebih tepat disebut die sprachlichkeit dilihat sebagai pusat gravitasi. Gadamer, misalnya, menyatakan bahwa ada yang bisa dimengerti adalah bahasa. Seperti halnya ungkapan Yunani bahwa manusia dipandang sebagai 'zoon logon echon', yang mengandung pengertian bahwa manusia adalah makhluk yang berbicara, makhluk yang memiliki 'logos', manusia adalah makhluk yang bercerita. Dalam pengertian ini bahasa bukanlah sekedar salah satu kemampuan manusia di samping kemampuan lainnya. Munculnya perkembangan manusia tidak dapat dianggap sekedar seperti ditemukannya sistem peralatan mekanis ataupun perubahan sistem hidup dari berburu sampai ke tingkat agraris misalnya. Munculnya bahasa menampilkan suatu transformasi mendasar dan total dari taraf kebinatangan menuju ke tingkat dunia yang khas manusia, yaitu suatu keterpisahan yang mendasar dari kungkungan alam. Munculnya bahasa manusia adalah bersamaan dengan munculnya kemampuan reflektif. Berkat adanya bahasa, manusia menjadi objek yang potensial bagi dirinya sendiri. Ungkapan “kenalilah dirimu!”, adalah merupakan basis berkembangnya filsafat Yunani kuno. Ungkapan itu adalah ungkapan yang menunjukkan hakikat bahasa, terbitnya suatu kesadaran diri, yang sekaligus merupakan suatu potensi untuk mengatasi keterbatasan diri itu. 

Manusia bukanlah suatu makhluk yang sekedar natural belaka, melainkan lebih sebagai suatu produk kultural, yaitu suatu "konstruk linguistik”. Oleh sebab itu, bahasa memungkinkan manusia berpikir, sehingga bahasa tidak dapat hanya dilihat sebagai sekedar “medium” sebagaimana terdapat dalam pemikiran modern pada umumnya. 

Bahasa bukanlah sekedar medium atau sarana berpikir belaka. Bukan pula hanya sekedar “representasi” kenyataan. Secara hakiki, bahasa adalah dapat juga kita sebut sebagai manifestasi totalitas pikiran manusia. Sebab, tidak ada cara lain untuk berpikir tentang hakikat kenyataan itu selain melalui bahasa yang merupakan ungkapan kebudayaan manusia. (Rorty, 1982: xix). 

Berkaitan dengan upaya penelusuran ke arah realitas makna kehidupan melalui ungkapan bahasa itulah, maka para filsuf hermeneutik hadir dengan berbagai macam konsepnya, antara lain Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, Gadamer, Habermas, Ricoeur, dan Derrida. (Lihat Prof. Dr. Kaelan, Filsafat Bahasa: Hakikat dan Realitas Bahasa, Yogyakarta: Paradigma, 2017, h. 185-186).

***



Minggu, 24 Agustus 2025

Gelar Akademis dan Pendidikan


Gelar akademik memang bisa menjadi pintu, tetapi ia bukanlah jaminan kualitas seseorang. Pendidikan adalah perjalanan panjang untuk memahami diri, orang lain, dan dunia—membuka cakrawala berpikir yang membuat kita mampu hidup lebih arif.

Dalam realitas hari ini, banyak orang terjebak dalam obsesi pada simbol akademis: nilai, ijazah, atau jabatan. Ironisnya, tidak sedikit yang akhirnya berhenti belajar setelah gelar diperoleh, seakan proses pencarian pengetahuan telah usai. Padahal, justru di luar bangku sekolah atau universitas, tantangan kehidupan nyata menuntut kebijaksanaan yang tidak selalu bisa dipelajari dari buku teks. Tagore mengingatkan bahwa pendidikan adalah alat untuk memperkaya hidup, bukan sekadar dekorasi diri.

Pendidikan harus dipahami sebagai proses pembebasan: membebaskan kita dari kebodohan, dari cara pandang yang sempit, bahkan dari belenggu ego. Ia melatih kita untuk berpikir kritis, berempati, dan mampu mengambil keputusan dengan bijak. Gelar mungkin berhenti pada selembar kertas, tetapi pemahaman hidup akan terus berkembang sepanjang usia. Itulah yang membuat pendidikan selalu relevan, bahkan melampaui ruang kelas dan waktu.

TUBUH DAN KEBUDAYAAN


Oleh: Bre Redana


Lebaran masih menyisakan kenangan, dengan pertemuan serta keterhubungan kita dengan saudara, kerabat, teman, bekas pacar, atau siapa pun yang kadang tak terduga. Kali ini sebagai hadiah Lebaran saya menerima kiriman CD dari Abah Iwan Abdulrachman. Terangkum dalam tiga CD di situ terdapat lagu-lagu dahsyat dari “Angin November” sampai “Melati dari Jayagiri”, hasil rekaman live ketika Abah berpentas di Gedung Serbaguna Senayan, Jakarta, 28 April 2006.

Sebelumnya, kepada penggubah lagu hebat dari Bandung itu saya mengirim buku tentang guru dan perguruan silat saya. Abah yang juga dikenal sebagai pendekar, dengan rendah hati sembari mengucapkan terima kasih mengatakan bahwa buku tadi menarik sekali. 

“Saya menyebutnya ‘Amengan Aki Muhidin’. ‘Amengan’ itu bahasa Sunda artinya ‘permainan’ atau game. Sepertinya banyak hal yang mirip dan sangat bagus untuk ‘pembinaan sikap hidup’,” begitu pesan Abah yang dikirim ke saya. 

Sebagian orang menekuni olah tubuh, biasanya percaya bahwa pada akhirnya yang hendak dicapai lewat olah tubuh memang sikap hidup. Mengolah tubuh dengan sendirinya akan membawa seseorang pada pengalaman konkret bagaimana tubuh berelasi dengan semua hal. Tak ada yang lebih empirik dari tubuh. 

Terbentuknya masyarakat dan kebudayaan, menurut pandangan-pandangan neurologis yang kini populer kembali terutama di Barat, dianggap tak bisa dilepaskan dari evolusi biologis manusia. Itu berhubungan dengan regulasi internal makhluk hidup, sebutannya homeostasis. Urusannya dengan badan. Itu sebabnya ada istilah olah kanuragan. 

Berbeda dibandingkan makhluk-makhluk hidup lain seperti binatang, pada manusia, melalui proses panjang terjadi perkembangan menyangkut kemampuan memori, nalar (reasoning), dan bahasa. Inilah yang memicu dan membuka jalan pada perkembangan homeostasis tadi pada level masyarakat dan kebudayaan. 

Dengan itu, lagi-lagi melalui proses yang tidak pendek, homeostasis menemukan ruang perkembangan baru, sebutlah ruang sosiokultural tersebut. Regulasi yang tadinya sebatas di dalam tubuh, berkembang ke lingkup baru: lahir sistem hukum, organisasi politik dan ekonomi, seni, obat-obatan, teknologi, dan lain-lain. 

Merosotnya secara drastis kekerasan seiring makin berkembangya toleransi dalam sejarah perkembangan manusia, tak mungkin terjadi tanpa perkembangan homeostasis sosiokultural itu. Antonio Damasio menguraikan dengan jelas dalam buku Self Comes to Mind: Constructing the Conscious Brain

Yang ingin ditegaskan di sini, tak bisa diragukannya hubungan antara gejala tubuh seperti kesadaran dengan kebudayaan. Mengolah tubuh sejatinya adalah mengolah kesadaran. Mengolah kesadaran juga berarti mengolah kebudayaan. 

Di situlah aspek otonom, kemandirian dan kebebasan dari dunia olah tubuh. Mengolah disiplin tubuh adalah mengolah disiplin kehidupan. Bukan disiplin militer, melainkan disiplin kewajaran kehidupan. 

Aspek lain adalah respek terhadap alam. Novelis kenamaan Cile, Luis Sepulveda, yang juga dikenal sebagai pembela kebebasan dan lingkungan hidup, berucap: “...saya perlu berhadapan tatap muka dengan kekuatan-kekuatan elementer alam bebas, untuk membuktikan pada diri sendiri bahwa saya bisa bertahan hidup mandiri, bergantung hanya pada diri sendiri, dan juga membuktikan bahwa individu bisa hidup tanpa tergantung pada negara.” 

Kemandirian, kebebasan, kepercayaan , dan kepasrahan pada hukum alam merupakan semangat dunia olah tubuh. Di lain pihak, semuanya itu juga imperatif bagi dunia seni. Di situlah titik temu olah tubuh dan seni. Tak ketinggalan jurnalistik. 

Ketidak-harmonisan tubuh, ketidak-selarasan diri dengan hukum alam, melahirkan korupsi, kebohongan, ambisi tak terkendali terhadap kekuasaan, atau mungkin malah mencetak orang gila. Begitulah politik tubuh bekerja. 

Harmoni tubuh, harmoni alam, melahirkan hal sebaliknya. Antara lain, lagu-lagu yang tengah saya nikmati saat ini dari CD Iwan Abdulrachman: “Melati Putih”, “Bulan Merah”, “Sejuta Kabut”. 


Sumber: Kompas, 24 Agustus 2014



Sabtu, 23 Agustus 2025

Pandai Berpikir Harus Pandai Juga Bicara


Kepandaian retorika tidak selalu sejalan dengan kedalaman nalar. Ada orang yang mampu menyusun kata-kata dengan indah, memikat pendengar dengan kefasihan berbicara, tetapi gagasan yang disampaikan bisa kosong atau dangkal. Sebaliknya, ada pula pemikir besar yang gagasannya tajam dan dalam, namun kurang terampil menyampaikannya sehingga suaranya tak terdengar luas. Kedua hal ini menunjukkan bahwa berbicara dan berpikir adalah dua keterampilan berbeda yang idealnya saling melengkapi.

Dalam kehidupan sosial, politik, maupun akademik, kesenjangan antara kemampuan berbicara dan berpikir sering melahirkan problem. Pemimpin yang pandai bicara tapi miskin nalar bisa menyesatkan masyarakat dengan janji-janji tanpa dasar. Sementara itu, intelektual yang penuh gagasan tetapi tak mampu mengomunikasikan pikirannya, akan sulit memengaruhi arah kebijakan atau menggerakkan perubahan. Maka, kepandaian berbicara tanpa berpikir adalah retorika kosong, dan kepandaian berpikir tanpa berbicara adalah potensi yang terpendam.

Keseimbangan antara keduanya menjadi kunci. Pikiran yang matang perlu disampaikan dengan cara yang dapat dipahami orang banyak, dan keterampilan berbicara seharusnya dibangun di atas fondasi pemikiran yang jernih. Dengan begitu, kata-kata bukan hanya enak didengar, tetapi juga membawa pencerahan dan solusi nyata. Inilah yang seharusnya menjadi teladan bagi pemimpin, pendidik, maupun siapa saja yang ingin suaranya berarti bagi masyarakat.

Sumber: https://www.facebook.com/share/p/16uvchDT6W/

TERBARU

MAKALAH