alt/text gambar

Minggu, 17 Agustus 2025

Topik Pilihan:

Republik Topi Jerami


Oleh: Robertus Robert


TIAP bulan Agustus, langit Indonesia dipenuhi warna merah putih. Bendera dikibarkan di pagar rumah, mobil, bahkan tiang bambu yang menancap miring di lahan kosong. Parade dan pidato kenegaraan dipancarkan ke layar-layar kaca, dan jargon cinta Tanah Air diulang seperti mantra. Di tengah gegap gempita patriotisme itu, kita sering kali melupakan pertanyaan paling krusial: apa yang sesungguhnya sedang dirayakan?

Benarkah bangsa ini masih memiliki gairah republikan, atau kita sekadar sedang memperingati kemerdekaan dengan semacam ritual kosong yang telah menjadi fétiche, sekadar jimat kolektif untuk menutupi luka sejarah dan kekacauan politik kontemporer?

Slavoj Žižek, dalam The Sublime Object of Ideology, menyebut nasionalisme modern sebagai bentuk penyatuan yang tidak otentik. Ia bukan pengikat substansial, melainkan ideologeme yang merayap dari kekosongan, “The nation is the empty signifier par excellence.” Ia mengikat individu bukan lewat substansi, tetapi melalui trauma, fiksi sejarah, dan penyangkalan terhadap antagonisme sosial yang riil.

Di Indonesia kini, nasionalisme dipeluk dengan cara yang aneh. Ia bukan lagi semangat kritis dan pemberontakan emansipatif, melainkan moralitas upacara. Ia menjadi gaya hidup emosional, bukan posisi etis. Yang penting bukan substansi republik—keadilan sosial, deliberasi, partisipasi warganegara—melainkan performativitas: menyanyikan lagu-lagu wajib dengan khidmat, menggunakan batik setiap Kamis, atau sekadar menyematkan lambang Garuda di profil akun media sosial.

Inilah nasionalisme yang sudah merosot menjadi fetish object, bukan gagasan. Ia dikultuskan, bukan direfleksikan. Ia menjadi seperti abyeksi dalam konsep filsuf Julia Kristeva, yakni sesuatu yang dibutuhkan untuk membentuk identitas tetapi sekaligus ditolak karena terlalu dekat dengan sisi gelap diri. Nasionalisme Indonesia mencintai imajinasi “Indonesia” tapi membenci keragaman faktual yang justru membentuknya: etnis, bahasa, agama, bahkan memori sejarah.

Subjek modern selalu dibentuk oleh ambivalensi terhadap apa yang ditolak tapi dibutuhkan, kata Kristeva. Abyeksi itu, kata Kristeva, menjadi hal-hal yang dibuang untuk memurnikan identitas, namun terus menghantui. Dalam konteks republik Indonesia, abject-nya adalah rakyat.

Secara retorik, “rakyat” diagungkan. Namun dalam praktik, rakyat selalu disingkirkan dari arena deliberasi politik. Oleh karenanya, demokrasi kita selama ini adalah demokrasi pura-pura, republica simulata: tampaknya rakyat berdaulat, padahal mereka hanya alat legitimasi. Lebih ironis lagi, republik ini bahkan takut dengan rakyat.

Demonstrasi mahasiswa dituduh makar, petani yang menolak tambang disebut anti-pembangunan, dan kritik terhadap penguasa dilabeli sebagai ujaran kebencian. Negara republik yang lahir dari rahim revolusi secara ironis menderita fobia terhadap energi revolusionernya sendiri.

Di sinilah kita berhadapan dengan salah satu fenomena kultural paling ironis dalam beberapa tahun terakhir: bendera Bajak Laut Topi Jerami dari manga One Piece. Barang kali, baru kali ini sebuah obyek dari anime dipikirkan sebagai horor yang demikian menakutkan oleh para pejabat dan pembesar. Pengibaran bendera lucu-lucuan itu diancam dengan tuduhan subversif dan kriminal. Tuduhan-tuduhan yang justru makin menunjukkan betapa kering kerontangnya imaji resmi nasionalisme kita.

Apa yang dilambangkan oleh bendera One Piece?

Persaudaraan antar kelas bawah, solidaritas lintas ras dan bangsa, semangat petualangan, dan perlawanan terhadap kekuasaan tiranik—semua nilai yang dulu subur di tangan Soekarno, Hatta dan Sjahrir, tapi kini makin dikosongkan dari nasionalisme kita.

Dengan kata lain, One Piece adalah peringatan betapa nasionalisme resmi Indonesia saat ini telah menjadi nostalgia tentang stabilitas, bukan impian tentang keadilan, kebebasan dan kesetaraan. Kata Žižek, dalam bukunya yang lain Welcome to the Desert of the Real, fiksi bisa lebih nyata daripada kenyataan, “Sometimes, in order to tell the truth, you must lie.” Bendera One Piece menjadi simbol bagi aspirasi yang tak tertampung dalam sistem: republik impian yang belum ada.

Maka kita kembali kepada pertanyaan awal: apa yang sebenarnya dirayakan dalam parade 17 Agustus? Apakah ini perayaan kedaulatan rakyat, atau sekadar mimikri dari identitas nasional yang telah dibekukan? Apakah ini ritual kenegaraan, atau drama simbolik untuk menutupi kenyataan bahwa republik kita makin kaku di bawah kaki para elite?

Melalui filsafat Julia Kristeva, kita bisa memandang republik Indonesia sebagai subjek yang terbelah: ia mendambakan keutuhan, tapi dibentuk oleh penolakan terhadap rakyatnya sendiri. Dalam soal bendera One Piece, kita melihat semacam manifesto bisu tentang kerinduan: bahwa rakyat sebenarnya tidak lagi percaya pada nasionalisme resmi, mereka justru mencari simbol alternatif untuk memproyeksikan impian—tentang kebebasan, solidaritas, dan petualangan kolektif yang absen dari realitas republik.

Sejarah republik Indonesia juga dihantui oleh warisan otoritarianisme. Kita menyebut negara ini lahir sebagai republik, namun sempat tergelincir ke dalam sistem yang mempersonalisasi kekuasaan sebagaimana kerajaan. Dari Orde Lama yang memusat pada populisme Sukarno hingga Orde Baru yang menindas melalui struktur birokrasi militeristik dan korporatisme. Republik ini belum pernah utuh sebagai republic deliberative, republic in one piece.

Maka di saat-saat seperti ini, saya selalu ingat Sutan Sjahrir. Ia ganas menentang kolonialisme, fasisme, keterbelakangan, bahkan mati sebagai tahanan oleh bangsanya sendiri, tapi ia tak pernah membiarkan jiwanya jatuh dalam noda dendam serta kebengisan. 

Kata Sjahrir, “Kita harus mencintai bangsa kita, tetapi cinta ini harus rasional dan bertanggung jawab, bukan emosi kosong”. Mengapa? Karena menurutnya, “Revolusi Indonesia bukanlah pemberontakan sosial atau sekadar kebencian terhadap orang asing. Ia adalah pernyataan hak-hak manusia untuk merdeka dan menentukan nasibnya”.

Sjahrir adalah ironis sejati dalam sejarah kita. Ia kokoh tapi tidak menggebu. Menjadi ironis terhadap republik bukan berarti membenci republik, tetapi menolak untuk mencintainya secara naif. Republik Indonesia tak bisa diselamatkan dengan nostalgia atau patriotisme pura-pura yang kosong, tetapi dengan keberanian untuk melihat luka-lukanya sendiri dan dengan itu memperjuangkan pemulihan sejati.

Buat apa ribuan bendera berkibar, tapi sendirian tanpa rakyat dengan jiwa merdeka. ***

Robertus Robert, Sosiolog Universitas Negeri Jakarta. Pidato pengukuhan guru besar bidang filsafat sosial pada 12 Juni 2025 berjudul "Dari Emansipasi ke Ekosipasi: Politik Ekologi dan Kewargaan Baru Indonesia". Ia salah satu anggota tim evaluator editorial Tempo

Sumber: Tempo.co 16 Agustus 2025


0 komentar:

Posting Komentar