Oleh: Kwik Kian Gie
Currency Board System (CBS) sangat banyak dibicarakan dan ditulis. Namun, tetap saja sangat banyak orang kurang mengetahui CBS itu persisnya apa. Dan, juga tidak jelas mengapa kalau diterapkan di Indonesia dalam kondisi sekarang, seluruh ekonomi langsung ambruk. Mengapa banyak ekonom yang kompeten seperti Anwar Nasution dan Sri Mulyani tidak setuju, dan mengapa IMF mengatakan belum waktunya menerapkan CBS?
Halaman 9 Kompas tanggal 28 Februari 1998 menyajikan uraian panjang Menteri Keuangan kepada DPR tentang CBS. Setelah membacanya dengan sangat saksama, saya tetap tidak mengerti bagaimana CBS dapat diterapkan di Indonesia, tanpa ekonominya langsung ambruk.
Marilah kita coba menelusuri mengapa CBS dianggap banyak orang sebagai absurd dan fatal bila dijalankan. CBS bertitik tolak dari jumlah cadangan devisa yang dimiliki. Jumlah uang kartal, yaitu uang kertas dan uang logam (notes and coins) harus sama dengan kurs yang ditetapkan, atau di-peg, dikalikan dengan jumlah cadangan devisa. Maka, kalau kurs yang ditetapkan adalah Rp 5.000/dolar dan kira punya cadangan devisa 17 milyar dolar AS, jumlah keseluruhan uang logam dan uang kertas hanya boleh sebesar 17 milyar dikalikan 5.000 atau Rp 85 trilyun. Selanjutnya jumlah uang kartal ini berkembang dan menyusut sesuai dengan berkembang dan menyusutnya cadangan devisa. Maka Steve Hanke mengatakan bahwa CBS setiap hari mengumumkan neraca pembayaran, karena di dalamnya terdapat besarnya cadangan devisa. Jumlah cadangan devisa ini setiap harinya dikalikan dengan angka 5.000, dan hasilnya adalah uang kartal yang untuk hari itu boleh beredar. Dengan sendirinya Dewan Mata Uang (DMU) menarik dan memompa uang kartal setiap hari, supaya jumlah uang logam dan uang kertas senantiasa sebesar 5.000 kali cadangan devisa dalam dolar AS. Ketentuan selanjutnya, hanya uang kertas dan logam ini saja yang tanpa batas boleh ditukarkan dengan dolar AS.
Data terakhir yang terbuka untuk publik, yaitu per November 1997, uang kertas dan logam jumlahnya Rp 26,351 trilyun. Jumlah uang dalam bentuk rekening giro Rp 43,505 trilyun, dan dalam bentuk tabungan dan deposito Rp 260,703 trilyun. Jadi jumlah uang beredar Rp 330,559 trilyun. Jumlah cadangan devisa 17 milyar dolar AS.
Untuk mudah dimengerti, angka-angka kita bulatkan. Kita andaikan bahwa pada tanggal 1 April 1998 nanti CBS akan diterapkan, dan pada waktu itu nanti jumlah uang beredar: uang logam dan uang kertas Rp 26 trilyun, giro Rp 44 trilyun, dan tabungan plus deposito Rp 260 trilyun. Seluruh uang beredar Rp 330 trilyun.
Karena cadangan devisa pada 1 April diandaikan tidak berubah sebesar 17 milyar dolar AS, maka uang kertas dan logam dijadikan Rp 85 trilyun. Yang ada pada tanggal 1 April 1998 hanya Rp 26 trilyun. Jadi boleh menempa uang logam dan mencetak uang kertas lagi sebanyak Rp 59 trilyun. Kita andaikan bahwa dengan mengedarkan uang logam dan kertas tambahan sebesar Rp 59 trilyun ini, jumlah uang beredar seluruhnya tidak diubah. Kita andaikan seluruhnya disubstitusikan dengan tabungan dan deposito. Maka, susunan jumlah uang beredar pada 1 April 1998 menjadi: uang logam dan kertas Rp 85 trilyun, giro tetap Rp 44 trilyun, dan tabungan plus deposito menjadi Rp 201 trilyun. Jumlah seluruhnya tetap sama, yaitu Rp 330 trilyun.
Bagaimana kalau karena diturunkannya harga dolar menjadi Rp 5.000/dolar, jumlah rupiah yang didolarkan adalah 25,76 persen saja dari seluruh uang beredar yang Rp 330 trilyun? 25,76 persen dari Rp 330 trilyun berarti Rp 85,008 trilyun, atau bulatkanlah saja menjadi Rp 85 trilyun. Dengan demikian, persyaratan bahwa yang hanya boleh ditukarkan menjadi dolar hanya uang dalam bentuk logam dan kertas saja dipenuhi. Ternyata 100 persen dari cadangan devisa musnah dan 100 persen dari uang logam dan uang kertas juga musnah. Terus bagaimana? Ya DMU mengedarkan kembali uang logam dan kertas yang ada di tangannya. Dalam CBS tidak boleh, karena sudah tidak ada sepeser pun dolar AS yang tersisa untuk mendukung penerbitan uang logam dan uang kertas tersebut. Bayangkan masyarakat tanpa uang logam dan uang kertas sepeser pun. Jelas seluruh ekonominya langsung ambruk. Emil Salim menggunakan istilah ambles.
Masih banyak sekali permasalahan seperti langsung ambruknya sistem perbankan. Lantas bagaimana dengan seluruh rakyat yang masih mempunyai uang dalam bentuk rekening giro, tabungan, dan deposito sebesar Rp 245 trilyun? Bagaimana dengan jumlah uang beredar seluruhnya yang tidak cukup untuk menopang kegiatan ekonomi yang minimal saja, kalau cadangan dolarnya tidak mencukupi, dan sebagainya, dan seterusnya.
Apakah yang digambarkan di atas tidak keterlaluan? Saya hanya bertitik tolak dari penjelasan Steve Hanke dan Menteri Keuangan, dan meneruskan dengan skenarionya yang logis.
Masa, orang seperti Steve Hanke yang guru besar tidak mengerti ini? Pasti ada dasarnya. Bukankah CBS memang ada di negara lain, dan konsep itu memang ada? Saya ingin mencoba mengertinya sebagai berikut. Tetapi, perlu ditekankan bahwa ini hanya satu dugaan saja tentang kemungkinan jalan pikirannya Steve Hanke.
Dahulu kala yang berfungsi sebagai uang berbagai macam barang. Lambat laun yang menjadi baku adalah uang emas (gold coins). Emas ditempa menjadi uang. Karena berat, maka dititipkan pada sebuah lembaga, katakanlah Dewan Mata Uang (DMU). DMU ini mengeluarkan sertifikat yang setiap saat dapat ditukarkan dalam emas sebesar yang tercantum dalam sertifikat. Berfungsilah sertifikat itu sebagai uang, yang didukung 100 persen dengan emas. Lambat laun DMU merasa kalau dia mengeluarkan sertifikat lagi tanpa ada orang yang menitipkan uang emasnya, rasanya tidak apa-apa, karena praktis tidak pernah terjadi bahwa 100 persen dari sertifikat yang beredar ditukarkan ke dalam emas. Maka dukungan emas tidak 100 persen lagi. Mungkin Steve Hanke berpikir begitu juga, yaitu tidak mungkin akan terjadi bahwa pada tanggal 1 April 1998 nanti uang Rp 85 trilyun akan ditukarkan ke dalam dolar. Pasti jauh lebih kecil daripada ini. Maka, amanlah penerapan CBS. Semoga benar. Saya sangat ngeri, karena kita sedang hidup dalam suasana krisis kepercayaan.
dalam emas. Maka dukungan emas tidak 100 persen lagi. Mungkin Steve Hanke berpikir begitu juga, yaitu tidak mungkin akan terjadi bahwa pada tanggal 1 April 1998 nanti uang Rp 85 trilyun akan ditukarkan ke dalam dolar. Pasti jauh lebih kecil daripada ini. Maka, amanlah penerapan CBS. Semoga benar. Saya sangat ngeri, karena kita sedang hidup dalam suasana krisis kepercayaan.
Kompas, 3 Maret 1998
0 komentar:
Posting Komentar