alt/text gambar

Rabu, 03 September 2025

Topik Pilihan: , ,

Hukum Agama: Problem Penerapannya dalam Kehidupan Bernegara


Jika dalam suatu tatanan sosial diberlakukan hukum agama, muncul beberapa pertimbangan yang sangat penting. Pertama, hukum agama kerap dimaksudkan hukum yang dilansir berdasarkan kitab suci agama. Dalam kenyataan, yang namanya kitab suci dari agama tidak pernah mengalami semacam penerimaan tunggal. Ada berbagai tafsir. 

Dari sebab itu, kalaupun mayoritas masyarakat dengan agama yang seragam menghendaki diberlakukan hukum agama, hal itu tidak menjamin kekisruhan karena perbedaan tafsir. Dan, karena hukum agama berkaitan langsung dengan realitas Ilahi, kewibawaannya sering kali dilebih-lebihkan, yang justru dalam kenyataan akan memunculkan penyalahgunaan-penyalahgunaan yang memiliki konsekuensi hebat. 

Penilaian berikutnya, hukum agama rentan positivisme. Artinya, hukum agama kerap diletakkan sedemikian berwibawa, sehingga hampir tidak dimungkinkan pertimbangan kekecualian. Hukum lantas lolos dari setiap pertimbangan akal budi manusia. Pemberlakuan hukum yang demikian rentan positivisme, artinya pokoknya harus ditaati sedemikian rupa. 

Karena itu, hukum agama tak pernah menjadi mungkin dalam masyarakat yang plural. Apabila dipaksakan, justru akan terjadi aneka kerancuan mengenai tata hidup bersama. Pluralitas manusia tak memungkinkan penyeragaman hukum dalam reduksi agama tertentu saja.

Memang benar, moralitas kita tunduk pada Tuhan, tapi, dalam hukum agama yang terjadi bukan ketaatan pada Tuhan, melainkan ketaatan pada salah satu tafsir mengenai Tuhan, mengenai firman-Nya, atau mengenai hukum-hukum-Nya. Hukum agama memang tak secara langsung bertentangan dengan hukum sebagaimana digagas oleh akal budi manusia, tapi, label “agama” mereduksi kewibawaan dan kewajiban hukum pada salah satu kemungkinan saja. 

Akal budi manusia sejauh manusia, ambil bagian dalam kesempurnaan akal budi Ilahi Allah. Tidak secara fisik, melainkan secara nyata dalam penegasan nilai-nilai yang berkaitan dengan kodrat kemanusiaannya. 

(lihat Dr. Agustinus W. Dewantara, Filsafat Moral: Pergumulan Etis Keseharian Hidup Manusia, Yogyakarta: Kanisius, 2023, h. 41) 



0 komentar:

Posting Komentar