Dua pembagian hukum menurut pemikiran filsuf Italia, Thomas Aquinas: (i) hukum abadi—yang terdiri dari hukum Ilahi dan hukum natural (ii) hukum manusiawi atau hukum positif.
Bagi Aquinas, keduanya saling berhubungan. Artinya, hukum manusiawi akan memiliki daya ikat sejauh dapat diverifikasi oleh akal budi manusia haruslah diderivasi (diturunkan) dari hukum abadi, yaitu hukum natural dan hukum Ilahi. Akal budi manusia berpartisipasi dalam akal budi Allah (manusia diciptakan secitra dengan Dia!). Maka, juga produk akal budi manusia haruslah melukiskan partisipasi pada rencana Ilahi.
Bagi Thomas Aquinas, akal budi manusia mampu mencetuskan sederetan peraturan yang dapat membimbing hidup manusia. Bagaimana kemampuan yang demikian itu dipahami? Dengan pemahaman bahwa kemampuan akal budi manusia itu mengalir dari kecerdasan akal budi Ilahi Tuhan sendiri. Dan sebab itu, keterkaitan antara hukum Ilahi dan hukum manusiawi sangatlah dekat dan nyata.
Hukum Natural, apakah itu? Dari distingsi hukum Thomas Aquinas, yang perlu digarisbawahi ialah hukum natural. Tema ini menduduki kepentingan yang sangat sentral dalam filsafat etika dan politik. Pemahaman hukum natural sangat penting untuk mengerti konsep-konsep tentang keadilan, hak asasi manusia, dan segala sesuatu yang berpartisipasi di dalamnya.
Apakah hukum natural? Hukum natural/hukum kodrat ialah soal perintah dan larangan yang daya ikatnya difondasikan pada ide/gagasan/ konsep tentang “natura”. Tentang natura artinya tentang natura manusia. Dengan kata lain, konsep tentang hukum kodrat adalah konsep tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan larangan/perintah didasarkan pada esensi/kodrat/universalitas manusia sebagai manusia.
Definisi hukum kodrat sering dituliskan sebagai suatu hukum yang karena berdasarkan pada “natura” memiliki daya ikat universal, tidak berubah (unchangeable), di mana saja, kapan saja (selalu). Jadi, hukum natura sangat mengandaikan pengertian apakah itu natura.
Apakah natura? “Natura” dalam bahasa sehari-hari berarti “alam". Arti ini belum sepenuhnya tepat dalam konteks etika. Tapi, sudah barang tentu diperlukan pengertian yang lebih mendalam mengenai alam.
Alam di sini tidak menunjuk pada realitas seperti gunung, sungai, tebing, laut, sawah, hutan, dan yang semacamnya sebagaimana kerap kita pikirkan dalam hidup sehari-hari. Apa yang natural menunjuk kepada apa yang alamiah. Apa yang alamiah memaksudkan apa yang orisinal, universal, autentik, asli, sejati.
Dalam hidup, sehari-hari, apa yang natural jelas memiliki karakter dan intensitas yang asli, autentik, sejati. Sedangkan apa yang konvensional ialah apa yang merupakan produk dari konvensi, kesepakatan, persetujuan. Yang konvensional berarti yang merupakan buatan, rekayasa, artifisial.
Terminologi “natura” dalam filsafat sangat penting, karena berurusan langsung dengan kesejatian dan realitas yang dipersoalkan. Dalam konteks perdebatan tentang natura manusia, makna natural menunjuk pada realitas kodrati yang dibawa sejak lahir, sejak adanya, sejak kehadirannya. Bukan barusan, sementara, buatan, artifisial, temporal, kesepakatan.
Dari mana konsep hukum kodrat dilansir/ditarik/diderivasi/dipikirkan? Dalam tata hidup bersama, akal budi kita dapat berpikir demikian. Hukum yang berlaku di dalam masyarakat kita mengatur hidup bersama, mengikat aneka kesepakatan, mewajibkan tindakan-tindakan yang merupakan penjabaran kesepakatan dan melarang setiap pelanggaran.
Hukum semacam ini adalah hukum sipil (civil law) atau hukum sipil positif (positive civil law), yaitu hukum yang berlaku dalam masyarakat sipil. Karena merupakan hukum sipil, ruang lingkup hukum tersebut dibatasi oleh masyarakat di mana hukum itu diberlakukan. Hukum semacam itu tidak pernah berlaku umum, universal, menyentuh manusia sejauh manusia.
Hukum semacam itu menjadi milik masyarakat yang bersangkutan. Soalnya: adakah hukum yang mengatasi aneka perbedaan bangsa/masyarakat? Atau, adakah hukum yang berlaku umum di mana saja, kapan saja, siapa saja sejauh manusia? Jawaban akal budi kita: ada. Hukum itu adalah hukum kodrat.
Hukum kodrat adalah hukum yang tidak didasarkan pada kesepakatan masyarakat manusia siapa pun, melainkan pada kodrat/ natura-nya manusia sebagai manusia. Karena hukum kodrat ditarik dari pengertian natura manusia sebagai manusia, hukum ini memiliki karakter universal, abadi, selalu aktual.
***
Thomas Aquinas menggagas hukum (yang adalah soal perintah dan larangan) sebagai:
1. Ordo rationis atau ordinance of reason (tatanan akal budi). Yang dimaksud dengan akal budi, oleh Aquinas, ialah recta ratio atau right reason. Manusia sejauh manusia memiliki akal budi sehat, artinya memiliki segala apa yang perlu untuk berpikir dan menghendaki yang benar bagi dirinya (kesadaran bahwa dirinya adalah makhluk Tuhan) dan bagi sesamanya yang lain (kesadaran akan kodrat sosialitasnya). Dari sebab itu, akal budi yang benar akan selalu mengantar manusia kepada Tuhannya. Hukum itu soal akal budi, apa artinya? Artinya, “daya ikat/wajib dari hukum didasarkan pada kebenaran sejauh akal budi manusia dapat memikirkannya (masuk akal). Konsekuensinya? Tidak setiap peraturan hukum yang diperintahkan mengikat/mewajibkan (secara moral); hanya perintah/larangan yang lolos dari verifikasi akal budi saja yang memiliki daya ikat. Misalnya, perintah untuk membunuh orang Yahudi pada waktu zaman Nazi Hitler, dalam jalan pikiran Aquinas, jelas tidak memiliki daya ikat apa pun (artinya, apabila dilanggar, orang tidak melakukan kesalahan/pelanggaran moral apa pun; bahwa dia akan dihukum oleh pemerintah Nazi Jerman, itu soal lain). Perintah untuk membunuh orang Yahudi itu jelas tidak masuk akal. Dalam hidup sehari-hari ada banyak perkara yang di-hukum-kan, tetapi tidak semua mengatakan kewajiban yang harus ditaati.
2. Tatanan akal budi ini dimaksudkan untuk mengejar bonum commune (atau the common good)—kesejahteraan umum. Aquinas mengatakan elemen kodrat hukum yang lain, yaitu bahwa hukum memiliki target untuk mengejar kesejahteraan umum. Hukum tak pernah untuk kepentingan pribadi atau penguasa atau golongan (beberapa orang), melainkan untuk kesejahteraan umum. Peraturan tidak pernah untuk peraturan. Peraturan itu untuk manusia. Peraturan harus menjadikan manusia baik, damai, sejahtera.
3. Sumber dan tatanan akal budi ini berasal dari instansi/pribadi yang bertindak sebagai penanggung jawab atas kesejahteraan umum. Dari mana hukum diasalkan? Dan sendirinya dan sang penguasa, atau dalam perumusan Aquinas—dari dia yang bertanggung jawab atas kesejahteraan umum seluruh komunitas. Thomas Aquinas belum mengenal pembagian kekuasaan yang secara praktis membedakan, antara pembuat hukum, pelaksana hukum, dan instansi yang mengadili kesalahan hukum. Tapi, apa pun namanya lembaga suatu pemerintahan, yang membuat undang-undang ialah pihak yang bertanggung jawab atas komunitas. Tidak setiap orang bisa bertindak sebagai pembuat hukum.
4. Sebagai hukum tatanan akal budi ini harus dipromulgasikan/diberlakukan. Bila mana hukum berlaku sebagai hukum? Bila hukum itu dipromulgasikan, diberlakukan oleh dia yang memegang tanggung jawab suatu pemerintahan. Jika belum dipromulgasikan, hukum hanyalah sebuah draf, rancangan, tulisan yang tidak memiliki daya ikat apapun.
Gagasan Thomas Aquinas berbeda dengan Thomas Hobbes. Jika Aquinas menggagas hukum sebagai produk dari akal budi (hukum: ordinance of reason), bagi Hobbes hukum adalah kehendak sang penguasa (the will of the sovereign).
Hubungan antara hukum kodrat dan hukum positif tidak sukar kita pahami. Bagi Thomas Aquinas, hukum kodrat harus meresapi hukum positif. Atau, hukum positif haruslah diinspirasikan hukum kodrat. Apa yang diberlakukan di dalam kehidupan komunitas haruslah merupakan penjabaran dari apa yang berlaku secara universal dalam hukum kodrat.
Hukum kodrat mengedepankan kodrat manusia sebagai manusia, maka hukum sipil/hukum positif yang diberlakukan dalam kehidupan bersama manusia tidak boleh melepaskan diri dan aneka imperatif hukum kodrat. Kodrat manusia memiliki keterarahan kepada yang baik, kepada sang kebaikan itu sendiri, yaitu Tuhan. Dan sebab itu, karena hukum yang digariskan haruslah mengantar manusia kepada kebaikan, hukum positif manusiawi harus diresapi oleh hukum kodrat.
Hukum adalah itu yang mengikat, yang memiliki daya perintah, daya larang, daya wajib. Hukum menampilkan kekuatan yang bukan dalam hubungan dengan kekuatan fisik tapi kekuatan melarang dan memerintah secara legal, juga secara moral (meskipun tidak bisa direduksi sebagai demikian).
Mengapa hukum memiliki daya wajib yang tak satu pun orang dapat meloloskan diri daripadanya (kecuali jika mau dihukum)? Thomas menjawab, karena hukum itu selaras dengan right reason, karena hukum itu dimaksudkan untuk mengejar bonum commune (kebaikan bersama; kesejahteraan umum). Maka, hukum itu untuk mengantar masyarakat menuju kepada kebaikan, kepada tatanan hidup baik. Di sinilah pentingnya hukum.
Karena karateristik komuniter hukum (hukum untuk hidup bersama), hukum harus memiliki kepastian. Mengenai kepastian, Thomas Aquinas menggagas kepastian delik perkara hukumnya yang harus selaras dengan akal budi yang baik dari manusia, Hobbes menyumbang dimensi voluntaristik-nya, yaitu hukum haruslah dikehendaki oleh instansi yang berkuasa. Instansi yang berkuasa—dalam filsafat Hobbesian—adalah dia yang lahir dari kesepakatan/kontrak sosial antara individu-individu.
Apa Hubungan Hukum dan Moral?
Hubungan "hukum" dan "moral" dapat dimengerti dalam skema hubungan antara "hukum positif" dan "hukum kodrat", yaitu: moral haruslah meresapi hukum. Moral itu pertama-tama soal baik-buruk (soal nilai-nilai normatif).
Hukum adalah soal perintah dan larangan. Hukum bukan soal nasihat, tapi soal perintah dan larangan, karena kalau tidak menjalankan perintah atau melanggar larangan akan dihukum.
Hukum haruslah tunduk pada moral. Artinya, apa yang diperintahkan haruslah merupakan kebaikan, dan apa yang dilarang haruslah merupakan keburukan.
Bukan sebaliknya, dilarang maka buruk, diperintahkan maka baik! Jika moral dipahami sebagai demikian (dilarang maka buruk, diperintahkan maka baik), maka moral tersebut sangat legalistis. Dan apabila hukum dipahami seperti itu, akan terjadi kemungkinan manipulasi positivisme hukum yang sangat hebat.
F Budi Hardiman, dalam bukunya, Melampaui Positivisme dan Modernitas, menjelaskan, hukum tidak identik dengan moralitas. Hukum merupakan hasil konsensus yang dapat dilampaui kesadaran moral. Martin Luther King, misalnya, menegaskan perlunya melanggar hukum yang tidak adil demi moralitas itu sendiri.
Sumber:
1. Dr. Agustinus W. Dewantara, Filsafat Moral: Pergumulan Etis Keseharian Hidup Manusia, Yogyakarta: Kanisius, 2023, h. 31-40)
2. Catatan kaki dalam F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas, Yogyakarta: Kanisius, 2003, h. 128.
0 komentar:
Posting Komentar