alt/text gambar

Kamis, 04 September 2025

Topik Pilihan:

Jangan Hanya Menyenangkan Bapak


Oleh: Ignas Kleden

(TEMPO, 4 September 1976, Th. VI, No. 27)


Tahun-tahun akhir ini baru, riset jadi sebuah kesibukan baru di Indonesia. Semenjak patokan-patokan kwantitatip menjadi penting, statistik mulai diutamakan, data dan angka dianggap hampir serba-benar, riset juga sekonyong-konyong tumbuh subur. Semenjak ilmu dianggap tidak hanya berurusan dengan perluasan dan pengembangan pengetahuan, dan aplikasinya dalam penentuan kebijaksanaan pemerintah sudah tak mungkin diabaikan, riset akhirnya menjadi urusan yang tak dapat tinggal diam. Pintu ilmu dibuka untuk kepentingan servis, dan yang ikut masuk adalah manipulasi.


Pesan Sumitro, Menteri Riset pada 29 Juli 1976 di depan rektor Universitas seluruh Indonesia di Jakarta, langsung atau tidak, berbicara tentang manipulasi tersebut. Yakni bahwa hasil riset jangan dipakai hanya untuk menyenangkan sang bapak. Tentu saja! Dan dapat dimaklumi. Urusan senang-menyenangkan tidak termasuk ruang-lingkup kepentingan ilmu, dan untuk menyenangkan hati seseorang, bukankah masih tersedia amat banyak cara lain?


Sumitro berbicara di tahun 1976. Di tahun 1938 seorang ahli sosiologi Robert K. Merton telah menerbitkan buku yang termasyur tentang etos ilmu pengetahuan. Bukunya itu diilhami oleh pengamatannya tentang soal bagaimana nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat puritan di Inggeris abad 17, telah menjadi iklim yang amat membantu perkembangan ilmu di negeri itu. Dan sibuklah Merton dengan penyelidikannya yang kemudian memberi bentuk tegas kepada sociology of science. Ketika terbit buku Science, Technology and Society in Seventeenth-Century England, maka persoalan tentang etos ilmu pengetahuan mendapat perumusan yang sungguh-sungguh.


TANPA PAMRIH

Konon etos itu penting karena mempunyai kepentingan yang cukup, bahkan amat fungsionil terhadap perkembangan ilmu itu sendiri. Maka apakah komponen-komponennya kalau begitu? Merton menjawab dengan menunjuk kepada empat macam nilai. Pertama adalah universalisme, yakni kepercayaan bahwa fenomena alam-semesta akan selalu sama di mana saja, dan bahwa benarnya pernyataan tentang serba-gejala itu tidak bergantung pada dan tidak ditentukan oleh siapa yang mengucapkannya. Nilai kedua dinamakannya komunalitas, yaitu prinsip bahwa pengetahuan harus bebas dipergunakan oleh siapa saja yang mampu menggunakannya, dan tidak menjadi monopoli kelompok yang satu atau yang lain. Komponen ketiga adalah ketanpapamrihan (disinterestedness), yang memberi kewajiban kepada ahli ilmu untuk tidak menggunakan pengetahuannya dan mengexploitir penemuan-penemuannya demi kepentingan, keuntungan atau kehormatan pribadi. Unsur keempat dengan nama skeptisisme teratur (organized skepticism) menunjuk tanggung jawab ahli ilmu untuk berani menilai karya rekan-rekannya yang lain dan kemudian mengumumkan penilaiannya.


Kalau Sumitro berbicara tentang penggunaan hasil-hasil riset secara tepat maka nampaknya prinsip ketanpapamrihan itulah yang hendak ditegaskannya kembali. Dan di sini persoalannya jadi mendua. Ilmu yang tanpapamrih sepertinya tidak halal menarik manfaat dan memberi keuntungan. Tetapi kalau begitu, bagaimana mungkin seorang ilmiahwan dapat menghabiskan masa-hidupnya dalam karier sebagai ahli ilmu? Kalau ilmu tak boleh ‘dimanfaatkan', bagaimana mungkin dia dapat dijadikan suatu sarana pelayanan, instansi bantuan dalam pengambilan keputusan, penentuan target, pilihan sarana bagi pelaksanaan suatu program dari, sebutlah, pemerintah misalnya?


KORUPSI 

Tapi di sinilah letak persoalannya. Kita perlu menarik garis perbedaan antara manfaat dan keuntungan, antara pragmatisme dan utilitarianisme, antara sikap teknokrat dan sikap tukang cari untung. Yang satu menunjuk kepada aplikasi ilmu pengetahuan, yang lain kepada manipulasinya. Yang satu memperhatikan kepentingan ilmu yang memang 'kebetulan' juga bisa mendatangkan manfaat bagi bidang-bidang kehidupan lainnya. Sampai sedemikian rupa sehingga dia misalnya lambat-laun makin diterima sebagai salah satu unsur dalam produksi, di samping modal dan tenaga kerja atau yang lain. Sementara itu, yang lain hanya memperhatikan kepentingan diri dan bagaimana ilmu dimanfaatkan untuk menunjang kepentingan itu.


Ilmu sebagai suatu yang murni dalam artian pure art tidak lagi merupakan jenis satu-satunya yang ada sekarang. Bukan karena sifatnya yang murni sudah terkelupas dari kodratnya, tetapi karena hasil dan penemuannya hampir senantiasa membuktikan diri sebagai dapat terpakai secara bermanfaat. Seperti juga dana, fasilitas atau kesempatan, ilmu membuka dirinya bagi penggunaan. Dan umum diketahui, bila pintu dibuka bagi kepentingan penggunaan, maka yang ikut-masuk adalah penyalahgunaan. Korupsi dan pembocoran hampir menjadi ingredient dalam penggunaan dana atau fasilitas serta kesempatan-kesempatan baik. Yang diharapkan ialah bahwa unsur-unsur buruk itu tidak menyusup masuk juga ke dalam kehidupan ilmu pengetahuan. Bukan hanya karena tuntutan moral atau apa. Tetapi nampaknya, bila suatu unsur asing menghalangi ilmu untuk bertumbuh menurut hukum dan kodratnya yang tanpapamrih, maka dengan itu dimulai juga keadaan takberdaya dari ilmu pengetahuan itu sendiri. Dia dikebiri menjadi suatu yang aneh dan asing bagi dirinya dan mandul pada akhirnya. Terang ini tidak hanya terbatas pada data-data ilmu eksak, tetapi juga kepada data sejarah, yang bisa diputar-balikkan untuk mempertahankan kepentingan fihak yang satu atau yang lain.


Penggunaan ilmu hanya berkembang bila dia masih tetap merupakan penggunaan yang ilmiah..


Sumber: TEMPO, 4 September 1976, Th. VI, No. 27

0 komentar:

Posting Komentar