Kebahagiaan dalam hidup bersama menunjuk kepada makna the good life (hidup baik). Apakah elemen pengertian the good life?
Pertama, hidup baik menunjuk kepada self-sufficient, kebutuhan tercukupi. Aristoteles menggagas polis sebagai sistem hidup bersama memaksudkan pertama-tama agar kebutuhan para anggotanya tercukupi.
Sekurang-kurangnya kebutuhan fisik, ekonomi, keamanan, pendidikan, dan segala sesuatu untuk dapat hidup cukup.
Tapi, kedua, happiness tidak hanya berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan material. Happiness yang dimaksudkan oleh Aristoteles juga menunjuk pada realisasi prinsip-prinsip keadilan dalam tata hidup bersama.
Keadilan dalam Aristoteles sangat penting. Keadilan menunjuk kepada equality yang memiliki karakteristik proporsional, bukan sekadar asal sama. Proporsional artinya sesuai dengan porsinya masing-masing. Apabila seseorang telah melakukan jasa lebih dari yang lain, dia memiliki porsi pembagian lebih dari yang lain yang kurang berjasa. Itulah yang disebut dengan keadilan.
Ketiga, kebahagiaan juga menunjuk pada aktivitas yang menghasilkan apa-apa yang mengatasi sekadar pemenuhan kebutuhan material. Aktivitas semacam ini nyata dalam apa yang disebut leisure, waktu luang. Konsep the good life yang merupakan tujuan hidup bersama menyertakan pula realitas bahwa para anggota memiliki waktu luang. Leisure bukan waktu menganggur, juga bukan sekadar waktu istirahat (tidak berbuat apa-apa), melainkan saat di mana orang dapat membangun kedalaman—kemanusiaannya. Waktu luang adalah saat belajar, berkomunikasi, berdiskusi, berkontemplasi, mendulang kedalaman. Peradaban Yunani kuno pada waktu itu kaya dengan aneka aktivitas humanis, seperti sastra, puisi, retorika, filsafat, seni, dan seterusnya. Aneka aktivitas tersebut belum terealisasi dalam dunia seperti yang sekarang ini kita miliki, dalam buku, dalam majalah, dalam surat kabar, dan seterusnya. Aktivitas-aktivitas itu dihadirkan dalam suatu pertemuan-pertemuan di tempat-tempat terbuka, di taman-taman, di dekat kuil-kuil dan seterusnya. Leisure—yang dimaksudkan Aristoteles—menunjuk pada aktivitas-aktivitas itu, yang memang sangat membangun peradaban.
Keempat, kebahagiaan atau eudaemonia harus pula tampak dalam aktivitas yang merealisasi keutamaan (virtues). Aristoteles memandang bahwa kesempurnaan manusia terpenuhi dalam sistem/tata hidup bersama. Apa yang dimaksud dengan kesempurnaan manusia? Aristoteles tidak sedang menjelaskan kesempurnaan hidup rohani atau hidup spiritual, melainkan sosialitas hidup manusia. Natura manusia yang adalah makhluk politik mau tidak mau meminta manusia untuk memperdalam dan mengembangkan kapasitas-kapasitasnya. Yang dimaksud dengan kapasitas, di sini, ialah segala kemampuan manusia untuk menampilkan keutamaan-keutamaan manusiawinya. Kebahagiaan, dalam filsafat Aristoteles, bukan sesuatu yang statis, seperti menikmati, melainkan dinamis, seperti aktivitas mengusahakan dan menampilkan keutamaan-keutamaan kemanusiaan. Di sinilah kesempurnaan manusia terealisasi, yaitu dalam aktivitas mendulang sekaligus menjabarkan dalam hidup sehari-hari keutamaan-keutamaan hidupnya.
Negara ada untuk membangun kesejahteraan umum. Terminologi “kesejahteraan umum” adalah terminologi modern untuk apa yang disebut sebagai eudaemonia (kebahagiaan). Dewasa ini subjektivisme dalam peradaban manusia lebih menggiring manusia pada konsep kebahagiaan sebagai sesuatu yang bersifat subjektif. Target tata hidup bersama kerap diterminologikan dengan “kesejahteraan umum”. Kesejahteraan umum, apakah itu? Aristoteles mengajukan pemikiran bahwa kesejahteraan umum tidak menghantam kesejahteraan pribadi, justru mengandaikannya. Filsafat Aristotelian menegaskan keterkaitan antara kepentingan umum dan kepentingan pribadi. Meskipun bagi Aristoteles masyarakat lebih penting daripada individu (karena keseluruhan, lebih penting daripada bagian), dalam hubungannya dengan kesejahteraan polis, dia tidak membuat preferensi kepentingan.
Kebahagiaan sejati, apakah satu dua pengertian Aristotelian, Thomistis, Hobbesian, Machiavellian dan seterusnya di atas sudah memberikan gambaran kepada kita mengenai kurang lebih apa yang dimaksudkan dengan kebahagiaan sejati. Kebahagiaan sejati hanya terletak pada Sang Sumber Kebahagiaan itu sendiri, yaitu Tuhan.
Segala cetusan kebahagiaan yang temporal itu menyumbang, mengantisipasi, meneguhkan harapan tapi bukan merupakan kebahagiaan itu sendiri sejauh yang diberikan oleh Allah. Kebahagiaan bukan terletak pada pemilikan apa-apa yang ditawarkan dunia, juga tidak pada segala apa yang ditawarkan sebagai kenikmatan-kenikmatan sementara, pun tidak pada hubungan-hubungan yang mendulang sekadar kegembiraan pada taraf-taraf indrawi, fisik, temporal.
Kebahagiaan sejati langsung bertali-temali dengan Tuhan. (Catatan: Orang ateis, dalam melakukan diskusi dalam mempropagandakan konsep hidup manusia tidak, menyinggung kebahagiaan sejati. Ketika Bertrand Russell berdiskusi dengan Joseph Copleston, SJ (seorang filsuf), mereka tidak bicara tentang kebahagiaan pada waktu hendak membuktikan mengenai eksistensi Tuhan. Mengapa orang yang tidak percaya kepada Tuhan, tidak bisa menggagas kebahagiaan sejati? Salah satu alasannya karena makna kesejatian selalu direduksi dalam kehidupan temporal manusia. Allah yang langsung berkaitan dengan nuansa-nuansa keabadian, kekekalan, kesempurnaan hidup tersingkir. Dalam arti ini Allah masuk dan diskusi-diskusi penjelajahan etika hidup manusia.
Bagaimana hendak dijelaskan Tuhan adalah pemenuhan dari kebahagiaan sejati itu sendiri? Dalam hidup sehari-hari kebahagiaan berada dalam taraf hidup yang didasarkan dan diresapi oleh cinta. Atau, malahan kebahagiaan terletak pada kasih. Siapakah Tuhan? Ada adagium kuno yang menyebut bahwa: “God is love.” Dari sebab itu, barang siapa bersatu dengan sang Cinta itu sendiri, dia tidak akan mengalami kekurangan apa pun. Dia akan mengalami kebahagiaan yang berlimpah-limpah.
Gagasan "Tuhan adalah cinta" menegaskan kepada kita, bahwa investigasi kita pada akhirnya harus merupakan realisasi dari aktivitas cinta. Hidup baik yang merupakan target studi etika pada akhirnya harus bermuara dalam kegiatan mencintai. Cinta dengan demikian adalah tindakan etis paling lengkap.
(Dr. Agustinus W. Dewantara, Filsafat Moral: Pergumulan Etis Keseharian Hidup Manusia, Yogyakarta: Kanisius, 2023, h. 95-98).
0 komentar:
Posting Komentar