alt/text gambar

Kamis, 25 September 2025

Topik Pilihan: , ,

KURS RUPIAH YANG TETAP

 

Drs. Kwik Kian Gie

Oleh: Kwik Kian Gie


Di tengah silang pendapat tentang Currency Board System (CBS), rasanya ada kesepakatan tentang prioritas yang paling utama dalam menanggulangi badai ekonomi, yaitu bahwa nilai rupiah harus ditingkatkan. Betapapun rusaknya sendi-sendi ekonomi, nilai tukar Rp 10.000 per dolar AS jelas keterlaluan. 

Di antara negara-negara yang terlanda krisis moneter, Indonesia yang paling parah depresiasi mata uangnya. Depresiasi Filipina 52 persen, Malaysia 54 persen, Thailand 72 persen, Korea 89 persen. Indonesia 275 persen atas dasar Rp 9.000 dan 316 persen atas dasar Rp 10.000 per dolar AS. Maka, bila kita menargetkan kurs menjadi tetap Rp 5.000 per dolar berarti depresiasi sebesar 108 persen. Sudah yang terburuk. Bagaimana tidak realistis? 

Karena depresiasi yang hebat, ditambah kenyataan yang mencuat sekarang yaitu serba tergantungnya segala kebutuhan kita pada barang dan jasa impor, membuat kelangsungan hidup hampir semua perusahaan runyam. Jadi rasanya juga sudah ada kesepakatan, bahwa dengan kurs dolar AS yang bergejolak sekitar Rp 10.000 per dolar AS, perekonomian kita dalam empat sampai enam bulan pasti ambruk. 

Dalam keadaan seperti ini, obat sangat keras yang mengandung risiko dapat membunuh sang pasien, bukan pilihan lagi, tapi sebuah keharusan. Risiko memang sangat besar, tetapi masih ada harapan bisa sembuh. Membiarkan harga dolar AS bergejolak sekitar Rp 10.000 memastikan bahwa minimal 80 persen dari pabrik-pabrik akan tutup. 

Apa obatnya? Sederhana, bahkan lebih sederhana dari CBS yang dapat dipastikan akan memusnahkan perbankan nasional. Kita kembali pada sistem kurs tetap yang pernah kita praktekkan selama sekitar 25 tahun. Bagaimana skenarionya? 

Pemerintah mematok kurs Rp 5.000 per dolar. Angka ini tidak jatuh dari langit, tetapi hasil perhitungan oleh seluruh ahli pemerintah Indonesia dan seluruh ahli Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, dan Bank Pembangunan Asia. 

Dengan kurs Rp 5.000 per dolar pemerintah menjual dolar kepada siapa saja, untuk tujuan apa saja, kapan saja tanpa batas. Dapat dipastikan akan terjadi rush rame-rame mendolarkan rupiah. Mari kita hitung berapa besar? Jumlah uang beredar milik masyarakat sekitar Rp 300 trilyun. Berapa persenkah dari Rp 300 trilyun yang akan ditukarkan ke dolar? Tak mungkin semuanya, karena sebagian dari uang ini mutlak diperlukan untuk hidup sehari-hari. 

Konsultasi dengan banyak bankir dan mantan pejabat tinggi yang kompeten menyimpulkan, 50 persen realistis. Maka yang akan dijadikan dolar sekitar Rp 150 trilyun. Dengan kurs Rp 5.000 per dolar, cadangan devisa kita akan terkuras 30 milyar dolar AS. 

Cadangan yang kita miliki adalah 17 milyar dolar AS ditambah dengan standby loan 2 milyar dolar AS, dan foreign assets 5 milyar dolar AS, atau seluruhnya 24 milyar dolar AS. Kita kekurangan 6 milyar dolar AS. Ditambah lagi dengan kebutuhan cadangan untuk impor dan sebagainya, jadikanlah 20 milyar dolar AS. Jadi kita mencari pinjaman 20 milyar dolar AS. 

Kalau IMF mau memakai 20 milyar dolar AS untuk tujuan stabilisasi tanpa CBS, kita bersyukur, karena stabilisasi rupiah dapat dilaksanakan, dengan IMF tidak perlu tegang, dan tidak perlu cari-cari pinjaman lagi. Tetapi kalau tak bisa, kita cari dari Singapura, Cina (termasuk Hongkong), Brunei, Taiwan, Jepang, Australia, dan negara-negara lain yang simpati. 

IMF perlu disadarkan dengan baik-baik, bahwa kalau kurs dolar tidak dibuat Rp 5.000 secepatnya dan distabilkan pada angka ini, dalam waktu empat sampai enam bulan, ekonomi kita pasti mati. 

Apa beda skema itu dengan CBS? CBS mengatakan, untuk setiap Rp 5.000 dari M0 harus tersedia 1 dolar AS. Kalau sekarang M0 sekitar Rp 24 trilyun, maka yang harus tersedia adalah 4,8 milyar dolar AS. Cadangan kita 17 milyar dolar AS. Jadi sudah beres. Lantas dikatakan, hanya mempertahankan perbandingan 5000 : 1 dari M0 saja setiap harinya, semuanya menjadi beres, karena yang boleh ditukarkan ke dalam dolar tanpa batas juga hanya M0, yaitu hanya uang kartal atau notes dan koin. 

Memang makan waktu untuk mentunaikan tabungan dan deposito. Tetapi dengan kurs yang dijadikan Rp 5.000 per dolar, pasti terjadi pemborongan dolar yang jauh lebih besar jumlahnya dari sekadar M0 yang Rp 24 trilyun. Yang diperkirakan tadi, yang akan didolarkan 50 persen dari uang milik masyarakat atau sekitar Rp 150 trilyun. Maka yang akan terjadi adalah antrean panjang mengambil uang tunai, supaya bisa dibelikan dolar AS. 

Lantas beberapa (bank yang dikuras itu akan kekeringan likuiditas. Mereka ”merah”. Dalam keadaan seperti ini, BI tidak boleh memberi bantuan injeksi likuiditas, meski hanya untuk sementara. Bukankah Steve Hanke sendiri mengatakan, CBS membelenggu BI sambil menunjukkan tangannya yang diikat? 

***

Dalam hal sistem kurs tetap seperti yang pernah kita lakukan selama 25 tahun, BI mempunyai wewenang penuh mengemudikan dan mengendalikan. Dengan tambahan uang 20 milyar dolar, BI menantang siapa saja yang mau mendolarkan rupiahnya. Pasti akan ada bank-bank yang ”merah”. BI menginjeksinya.

Pinjaman bank dari BI ini sementara. Kalau kurs bertahan Rp 5.000 selama satu bulan saja, kepercayaan terhadap rupiah akan pulih, dan banyak dolar akan dirupiahkan lagi. Untuk itu kita bisa memicu dengan memberi bunga deposito yang cukup menarik dibanding dengan deposito dalam dolar di luar negeri. Ketika repatriasi dolar ke rupiah terjadi, struktur keuangan bank-bank akan normal kembali. 

Rangkumannya, kesepakatan dengan IMF tetap. Semua paket reformasi tetap dijalankan. Minta kepada IMF supaya 20 milyar dolar AS dipakai sesegera mungkin untuk mendukung ditetapkannya kurs Rp 5.000 per dolar sesegera mungkin. Semua guncangan dihadapi BI dari hari ke hari, kalau perlu dari jam ke jam. Untuk itu dibutuhkan independensi BI yang cocok sekali dengan paket IMF. IMF bahkan diminta untuk mendampingi BI mengemudikan dan mengendalikan guncangan yang akan terjadi. 

Dengan dukungan 20 milyar dolar AS sebagai cadangan, kita berlakukan kurs tetap Rp 5.000 per dolar. Setelah bertahan selama 1—2 bulan, kepercayaan terhadap rupiah akan kembali, dan banyak dolar kembali lagi menjadi rupiah. Repatriasi dolar ke rupiah kita picu dengan bunga deposito rupiah yang menarik. Kita kembalikan dolar yang masuk ini kepada IMF. 

Kwik Kian Gie, ekonom senior


Kompas, 23 Februari 1998


Sumber

Kwik Kian Gie, Gonjang-Ganjing Ekonomi Indonesia: Badai Belum Akan Segera Berlalu, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi IBII, 1998, h. 229-233.


0 komentar:

Posting Komentar