alt/text gambar

Senin, 15 September 2025

Topik Pilihan:

Makan Tiga Kali Sehari: Apa Asal-usul Sejarahnya?

 

Kamu pernah mikir gak, kenapa kita terbiasa makan pagi, siang, dan malam? Seolah-olah itu aturan baku dari alam semesta. Padahal sebenarnya, pola makan tiga kali sehari itu bukan hukum alam, tapi hasil perjalanan budaya dan sejarah manusia. Kalau bayangin manusia prasejarah, mereka nggak kenal “sarapan sehat” atau “makan malam romantis”. Mereka makan ya kapan aja ada makanan sangat bergantung pada keberuntungan berburu atau mengumpulkan hasil alam.

Baru jauh kemudian, di Eropa abad pertengahan, pola makan mulai terbentuk. Saat itu, orang biasanya makan cuma dua kali sehari. Sarapan malah dianggap “kelas rendah” karena lebih identik dengan petani atau pekerja kasar yang butuh energi cepat. Kaum bangsawan justru makan besar di sekitar jam 10 pagi dan sekali lagi malam hari.

Namun, masuk abad ke-18 hingga 19, revolusi industri di Inggris mengubah segalanya. Para pekerja pabrik butuh tenaga untuk shift panjang, sehingga muncul pola tiga kali makan: sarapan sebelum kerja, makan siang singkat, lalu makan malam setelah pulang. Dari sinilah tradisi yang kita kenal sekarang perlahan jadi norma.

Menariknya, pola ini nggak universal. Di Jepang sebelum modernisasi, orang lebih sering makan dua kali sehari dengan porsi besar di pagi dan sore. Di wilayah Mediterania, tradisi siesta justru bikin makan siang jadi momen utama. Artinya, tubuh manusia sebenarnya fleksibel; bisa bertahan sehat dengan pola yang berbeda-beda. 

Pola tiga kali sehari ini menjadi semakin kokoh bukan hanya karena alasan nutrisi, tapi juga karena mudah dikomersialisasi bayangin aja industri makanan cepat saji, iklan sereal sarapan, hingga restoran dengan menu makan siang khusus. Kapitalisme ikut mengemasnya jadi “normal” dan “sehat”.

Kalau dipikir-pikir, ini memberi pelajaran penting. Apa yang kita anggap normal ternyata hanyalah hasil kebiasaan yang diwariskan sejarah dan diperkuat oleh sistem sosial. Bahkan sekarang, tren puasa intermiten membuat banyak orang kembali ke pola makan dua kali atau satu kali sehari, dan itu tetap bisa sehat. Jadi, normal itu relatif. Yang terpenting, kita tetap mendengar tubuh kita, menjaga keseimbangan, dan tidak terjebak pada label “benar” atau “salah” yang dibuat zaman.

“Jangan biarkan kebiasaan mendikte hidupmu. Dengarkan tubuhmu, pahami sejarahmu, lalu pilihlah jalan yang membuatmu lebih sehat dan lebih bahagia.”

Sumber: https://www.facebook.com/share/p/1a6NZvHPNR/

Baca juga: https://food.detik.com/info-kuliner/d-5105156/ini-sejarah-menarik-di-balik-pola-makan-3-kali-sehari

0 komentar:

Posting Komentar