alt/text gambar

Rabu, 24 September 2025

Topik Pilihan: , ,

Mengapa Rupiah Tetap Lemah?

 

Drs. Kwik Kian Gie

Oleh: Kwik Kian Gie


Mengapa rupiah tetap tidak mau menguat nilainya, walaupun paket reformasi IMF sudah begitu dahsyat cakupannya? Penandatanganannya oleh Presiden Soeharto sendiri, dan disaksikan oleh Michel Camdessus sendiri, juga ditayangkan ke seluruh dunia. 

Jawabannya adalah bahwa penggunaan dana yang 43 milyar dolar AS dalam rangka menopang nilai rupiah tidak disinggung sama sekali oleh kesepakatan yang diperbarui dan dirinci dalam 50 butir itu.

Utang luar negeri swasta yang 65 milyar dolar AS, masalahnya belum terpecahkan sampai sekarang. Dalam kesepakatan baru yang 50 butir itu, bagaimana menyelesaikan masalah ini tidak disentuh sama sekali. Jelas bahwa keharusan pembayaran utang yang demikian besarnya merupakan tekanan luar biasa dalam bentuk permintaan akan dolar. 

Lebih parah lagi dari itu, banyak yang tetap saja memindahkan uang rupiahnya menjadi dolar, walaupun kursnya sudah sangat tinggi. Alasannya, mereka tetap takut uangnya akan diblokir untuk diganti paksa dengan obligasi. Mereka juga tetap saja takut bahwa sistem lalu lintas devisa bebas akan ditiadakan. Bantahan oleh pemerintah sudah tidak dipercaya lagi. Dampaknya adalah pelarian modal, yang sama saja dengan rakyat me-rush negaranya sendiri. 

Dengan pertumbuhan nol, inflasi 20 persen, bertambahnya angkatan kerja baru, ditutupnya perusahaan-perusahaan yang menggelembungkan jumlah pengangguran, gambaran banyak orang adalah akan terjadi kekalutan. Maka mereka merasa perlu berjaga-jaga lari ke luar negeri. Jadi harus sedia dolar yang cukup. Inilah sebabnya dolar tidak mau turun setelah ditandatanganinya letter of intent

***

Kesemuanya yang tersebut ini penyebab utama dan langsung, mengapa permintaan terhadap dolar masih tinggi, sehingga kurs tidak mau turun. 

Dekor yang ada di latar belakangnya bahkan sangat mengerikan. Kurs yang dinilai realistis untuk kepentingan RAPBN menjadi Rp 5.000 per dolar AS. Dalam wawancaranya dengan Inke Maris, Michel Camdessus mengatakan bahwa perkiraan Rp 4.000 memang realistis dua minggu yang lalu, ketika menyusun RAPBN. Tetapi sekarang tidak lagi. Maka dijadikan Rp 5.000 per dolar. Lantas perkiraan yang Rp 5.000 ini akan realistis sampai kapan, mengingat cakupan RAPBN 1998—1999 adalah sampai bulan Maret 1999? 

Taruhlah Rp 5.000 per dolar realistis dan akan stabil, walaupun sekarang sekitar Rp 9.000. Apa dampaknya pada sektor riil dan produktif? Artinya, dibandingkan dengan sebelum krisis, terjadi kenaikan 108 persen. Pada saat pabrik-pabrik harus memperbarui bahan bakunya yang sudah habis terpakai, bahan baku yang harus diimpor akan mengalami kenaikan 108 persen. 

Memang tidak semua industri menggunakan bahan baku impor yang tinggi. Tetapi banyak sekali yang minimal 60 persen. Maka katakanlah bahwa rata-rata akan meningkat dengan 80 persen. Harga jual produknya harus dijual dengan harga yang meningkat dengan sekitar 80 persen. Dapat dipastikan bahwa tidak akan laku, sehingga banyak pabrik memilih tutup, dengan akibat pemutusan hubungan kerja, dan membengkaknya pengangguran. 

Sektor perbankan kita sudah sakit parah sejak tahu 1992 yang tidak pernah dibenahi. Di dalamnya mengandung kredit macet yang besar. Dengan krisis yang masih berlangsung, para debitur tidak dapat membayar bunga dan utang pokoknya, sehingga pembayaran giro dan tabungan serta deposito yang sudah jatuh tempo tersendat. Nasabah menjadi takut, dan mereka ramai-ramai memindahkan uangnya ke bank asing. 

Kondisi perbankan swasta menjadi lebih parah lagi. Bank Indonesia terpaksa harus mengucurkan uang trilyunan rupiah secara diam-diam, supaya tidak terjadi ditutupnya bank-bank swasta, di antaranya bank-bank papan atas.

Yang lebih aneh lagi adalah perkiraan IMF bahwa di tahun 1999 ini juga, transaksi berjalan kita sudah akan menjadi surplus. Timbul pertanyaan, lantas dana yang 43 milyar dolar itu akan dipakai untuk apa? 

Masalah yang segera dan jangka pendek, bagaimana memulihkan nilai rupiah semaksimal mungkin dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, tidak disentuh sama sekali. 

Rakyat disuruh menderita sebagai harga yang harus dibayar untuk memperbaiki ekonomi dalam jangka panjangnya. Sekarang juga IMF sudah melihat bahwa transaksi berjalan akan surplus, sehingga dana yang 43 milyar dolar tidak akan perlu dipakai. Sementara itu, Presiden Republik Indonesia disuruh menandatangani letter of intent sambil diawasi dengan saksama oleh IMF. Presiden membentuk Dewan Pemantapan Ketahanan Ekonomi dan Keuangan yang diketuainya sendiri, dengan kandungan tangan kanan Michel Camdessus yang diperbantukan sebagai anggotanya. 

Gambaran yang kita peroleh dari letter of intent sebagai pembaruan dan perluasan paket reformasi IMF adalah sebagai berikut. Komitmen 43 milyar dolar tidak jelas artinya, bahkan dipersepsikan sebagai tidak ada gunanya untuk menopang nilai rupiah. Perbaikan ekonomi, termasuk dibalikkannya defisit transaksi berjalan menjadi surplus tidak dibiayai oleh dana yang ”disediakan” sebesar 43 milyar dolar AS, melainkan harus dibayar oleh penderitaan dan kesengsaraan rakyat Indonesia sendiri, karena harus mengencangkan ikat pinggang mati-matian. Itu menjadi gambaran akan ambruknya sistem perbankan swasta nasional. 

Tidak jelasnya bagaimana menutup kredit macet bank-bank BUMN yang akan dikeluarkan dan dihimpun di dalam persero khusus. Gambaran membengkaknya pengangguran yang tidak akan memperoleh santunan pengangguran seperti halnya di negara-negaranya para teknokrat IMF. Pengangguran menggelembung yang ditambah dengan angkatan kerja baru, dan meningkatnya harga-harga, karena inflasi diperkirakan 20 persen. 

Inilah yang lantas memberikan perasaan bahwa IMF ternyata hanya mau menjadi mandor tanpa mau keluar uang yang jumlahnya signifikan. Dukungan dana yang 43 Milyar dolar AS ternyata hanya iming-iming yang bersifat abstrak. Kesemua hal tersebut merupakan faktor-faktor sekunder, yang membuat rupiah tidak mau menguat nilainya, bahkan cenderung menurun. 

***

Apakah paket reformasi yang tertuang dalam letter of inten tidak ada manfaatnya sama sekali? Ada. Untuk jangka panjangnya, kalau memang benar-benar akan dilaksanakan secara konsisten. Semua pikiran IMF itu sudah lama disuarakan oleh putra-putra bangsa Indonesia sendiri yang cinta dan peduli kepada bangsanya. Tetapi elite kekuasaan tidak mau mendengarkannya. IMF didengar karena membawa uang banyak. Tetapi kalau skema pemakaiannya lantas menjadi begitu kaburnya, dan dikatakan bahwa di tahun 1999 juga kita sudah akan surplus transaksi berjalannya, timbul dugaan, bahwa jangan-jangan yang 43 milyar dolar AS itu memang direncanakan tidak akan dipakai. 

Bangsa Indonesia disuruh mencapai surplus tersebut dengan penderitaan dan kesengsaraan yang luar biasa, sampai mengandung kemungkinan kerusuhan sosial. Saya tadinya berpikir yang 43 milyar itu dipakai untuk memperbaiki keadaan tanpa kesengsaraan yang demikian dahsyatnya. Sengsara boleh, tetapi diperingan oleh 43 milyar dolar AS yang benar-benar dicairkan dan dipakai dengan skema yang jelas. 

Kalau benar apa yang baru saya utarakan tadi, alangkah menyedihkannya kalau ternyata keterlibatan IMF karena dibutuhkan mandor bule yang mendikte dan mengawasi bangsa Indonesia. Belum lagi kemungkinan besar perusahaan-perusahaan Indonesia yang bagus-bagus, yang akan berpindah tangan ke para pengusaha asing. 

Saya memang termasuk yang menganjurkan Pemerintah Indonesia minta bantuan dari IMF. Justru karena itulah saya yang harus terpanggil dan berkewajiban mengungkapkan adanya kecenderungan lihai-lihaian dan mau untungnya sendiri dari IMF. Jangan lupa bahwa kita anggota IMF yang memang berhak atas bantuan dalam keadaan sulit. Bukan minta-minta sedekah. 

Apa yang sebaiknya kita lakukan? Marilah kita tunggu sebentar lagi, sambil terus mengawasi sepak terjang IMF dengan saksama. Kalau perlu ya, ”go to hell with IMF ”, dan belajar dari Mahathir Mohamad. 


Kwik Kian Gie, ekonom senior

Kompas, 19 Januari 1998


Sumber: Kwik Kian Gie, Gonjang-Ganjing Ekonomi Indonesia: Badai Belum Akan Segera Berlalu, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi IBII, 1998, h. 216-221.



0 komentar:

Posting Komentar