Oleh: Kasiyan
Kita hidup di masa ketika pengetahuan—yang dulu dianggap sebagai cahaya—kini harus membeli listriknya. Bayangkan seorang peneliti muda di universitas negeri yang suram, dikelilingi buku-buku pinjaman, mengais dana penelitian yang nyaris fiktif, dan di ujung perjuangannya ia diminta membayar agar hasil pikirannya bisa ”terlihat” oleh dunia.
Sebuah makalah ilmiah yang ditulis dengan darah intelektualnya harus menebus tiket masuk ke panggung ”internasional” dengan dollar AS. Ilmu pengetahuan yang seharusnya bebas kini dikunci di balik paywall, diatur oleh para penerbit yang mengubah nalar menjadi saham.
Paradoksnya menyakitkan. Publikasi ilmiah, yang lahir dari idealisme keterbukaan, justru menjelma menjadi bisnis paling eksklusif dalam sejarah intelektual manusia. Kita diajarkan bahwa pengetahuan adalah milik publik, tetapi industri ilmiah global menulis catatan kaki yang berbunyi: ”Terms and conditions apply”.
Di abad pencerahan, Francis Bacon melalui Novum Organum (1620) pernah berkata ”Knowledge is power.” Namun, siapa yang kini memegang kuasa atas pengetahuan itu? Bukan lagi para pemikir, bukan pula universitas, melainkan korporasi penerbit yang mengatur siapa yang berhak berbicara, siapa yang berhak dibaca. Mereka menjual ”akses” seolah menjual udara dalam tabung oksigen—dan kita, para akademisi, membelinya dengan rasa bangga.
Ada sesuatu yang ironis dalam ritual akademik hari ini. Setiap dosen, di mana pun di dunia ini, tahu betul mantra itu: publish or perish. Sebuah ancaman lembut, seperti perintah agama. Memublikasikan berarti hidup; gagal melakukannya berarti terhapus dari sejarah akademik. Namun, publikasi di sini tak lagi berarti berbagi gagasan, melainkan mengumpulkan angka. Impact factor, H-index, quartile, Scopus, WoS—semacam kasta-kasta baru dalam agama pengetahuan modern.
Setiap tulisan kini harus melayani algoritma. Ia tidak lagi bernapas, tetapi berdetak sesuai logika mesin sitasi. Kata-kata ilmiah menjadi mata uang. Semakin sering dikutip, semakin tinggi nilainya. Dan para ilmuwan pun berlari, memproduksi artikel demi artikel seperti robot yang diberi target produksi. Ilmu pengetahuan, yang mestinya memerdekakan pikiran, kini justru mengekang dalam bentuk baru: birokrasi metrik.
Di balik itu semua, industri besar menunggu. Elsevier, Springer, Wiley, Taylor & Francis—nama-nama yang mungkin tak asing di dunia akademik, tetapi bagi sebagian besar pembayar pajak yang mendanai riset, nama-nama itu sama asingnya dengan konglomerat minyak. Mereka bukan sekadar penerbit. Mereka adalah bank pengetahuan. Para peneliti menyerahkan hasil kerja bertahun-tahun tanpa dibayar, para editor meninjau dengan sukarela, lalu institusi harus membayar mahal untuk mengakses karya yang mereka biayai sendiri. Sirkus kapitalisme yang nyaris sempurna.
Kadang kita bertanya-tanya, bagaimana sejarah akan menulis bab ini nanti. Mungkin sejarawan masa depan akan menertawakan kita, manusia abad ke-21, yang begitu percaya bahwa pengetahuan itu netral, obyektif, dan bebas. Bahwa universitas adalah benteng kebebasan berpikir. Bahwa jurnal ilmiah adalah forum bagi pertukaran ide. Betapa polosnya keyakinan itu, ketika di balik layar, setiap gagasan harus melewati mekanisme seleksi korporasi: bukan karena benar atau penting, tetapi karena ”layak jual”.
Absurdnya, bahkan kegelisahan atas sistem ini pun kini bisa dipublikasikan—tentu saja, dengan biaya yang tak murah. Kritik terhadap komodifikasi ilmu menjadi komoditas baru. Artikel yang menulis tentang ”eksploitasi penerbitan akademik” akan dimuat oleh jurnal-jurnal yang dimiliki oleh penerbit yang sama. Kapitalisme, seperti biasa, tak mengenal musuh yang sejati; ia hanya mengenal peluang pasar.
Barangkali di sinilah letak kegeniusan sistem ini: ia mengubah setiap bentuk perlawanan menjadi bagian dari dirinya sendiri. Para ilmuwan yang ingin melawan dengan membuat jurnal terbuka akhirnya terjebak juga dalam permainan indexing. Mereka butuh legitimasi, dan legitimasi itu diberikan oleh lembaga yang mereka lawan. Sebuah lingkaran setan yang halus, nyaris estetis.
Dalam absurditas itu, aku teringat pada Borges. Ia dalam The Library of Babel (1941) pernah menulis tentang sebuah perpustakaan tak berujung yang menyimpan semua kemungkinan kombinasi huruf, dan karenanya berisi semua buku yang pernah dan akan ditulis. Namun, di dalam labirin itu, manusia menjadi gila, sebab tak tahu lagi mana yang benar, mana yang salah, mana yang bermakna. Dunia publikasi ilmiah kita mungkin sudah seperti itu: terlalu banyak, terlalu cepat, terlalu hampa. Setiap tahun, jutaan artikel terbit, tetapi berapa yang sungguh mengubah cara kita melihat dunia?
Kita seakan menyembah kelimpahan data, tetapi kehilangan makna. Kebenaran kini bukan hasil refleksi, melainkan hasil statistik. Ilmu yang dahulu berangkat dari rasa ingin tahu kini tumbuh dari rasa takut tidak diakui. Ilmu yang semestinya memperluas cakrawala justru membuat kita sibuk menghitung angka dalam spreadsheet.
Dalam dunia seperti ini, seorang pemikir sejati mungkin tak lagi punya tempat. Mereka yang menulis perlahan, merenung, mempertimbangkan—akan tersisih oleh mereka yang menulis cepat, sering, dan efisien. Pengetahuan berubah dari kontemplasi menjadi produksi massal. Dunia akademik, yang dulu berjanji menyalakan obor akal, kini sibuk mengatur distribusi lampunya.
Namun, mungkin, di tengah absurditas itu, masih ada secercah ironi yang bisa kita cintai. Bahwa manusia, meskipun terjerat dalam sistem yang menindasnya, tetap memiliki hasrat untuk tahu. Di balik tumpukan birokrasi, di bawah bayang metrik, di sela deadline dan biaya publikasi, masih ada seseorang yang sungguh ingin mengerti: bagaimana dunia bekerja, apa arti hidup, bagaimana membuat sesuatu lebih baik. Itulah sisa kemanusiaan yang tak bisa sepenuhnya dikomodifikasi.
Mungkin kita tak bisa menghancurkan sistem ini seketika. Namun, kita bisa menertawakannya. Dan dalam tawa itu, ada perlawanan kecil: sejenis kesadaran bahwa ilmu bukan milik lembaga, bukan milik pasar, melainkan milik keingintahuan itu sendiri.
Ilmu pengetahuan, pada akhirnya, bukan sekadar apa yang tertulis di jurnal. Ia ada dalam percakapan, dalam keraguan, dalam keberanian untuk tidak ikut arus. Barangkali, suatu hari nanti, dunia ilmiah akan lelah dengan absurditasnya sendiri dan kembali pada asalnya: rasa ingin tahu yang sederhana, yang tak butuh kuota akses atau DOI untuk hidup.
Dan mungkin, seperti yang pernah ditulis Camus lewat The Myth of Sisyphus and Other Essays (1955), manusia yang terus mendorong batu ke puncak gunung meski tahu batu itu akan jatuh lagi. Dunia akademik hari ini barangkali tak jauh berbeda. Setiap ilmuwan adalah Sisyphus yang menulis demi terbit, terbit demi poin, poin demi insentif—sebuah siklus tanpa makna. Namun, seperti kata Camus, justru dalam absurditas itulah manusia diuji: apakah ia akan menyerah, atau terus berpikir dengan kepala tegak?
Absurditas bukan alasan untuk menyerah, melainkan justru undangan untuk terus berpikir. Karena yang paling berbahaya dari dunia akademik bukanlah mahalnya publikasi, melainkan ketika kita berhenti mempertanyakan mengapa pengetahuan harus dijual.
Di situlah, mungkin, titik kecil tempat ilmu bisa lahir kembali—bukan sebagai industri, melainkan sebagai percakapan panjang manusia dengan dirinya sendiri.
”Sebab, pengetahuan yang sejati,” tulis Montaigne dalam esai Of Experience (1595), ”bukanlah apa yang kita cetak di kertas, melainkan apa yang kita pahami dari diri kita sendiri.” Namun, hari ini, mungkin Montaigne akan menambahkan: asalkan pemahaman itu tidak berada di balik paywall.
Kasiyan, Guru Besar Fakultas Bahasa, Seni, dan Budaya, Universitas Negeri Yogyakarta
Sumber: https://www.kompas.id/artikel/harga-sebuah-pikiran?loc=hard_paywall
0 komentar:
Posting Komentar