alt/text gambar

Rabu, 29 Oktober 2025

Topik Pilihan: ,

KAPANKAH KITA BERHENTI MEMUSUHI PEMUDA KITA SENDIRI?

Arief Budiman, awal '90-an


Oleh: Arief Budiman


Di ITB, sembilan mahasiswa dipecat oleh rektor, di samping lainnya yang diskors. Sebabnya, mereka mengadakan demonstrasi ketika Menteri Dalam Rudini datang ke kampus tersebut. Demonstrasi ini dianggap telah menghina tamu yang diundang oleh pihak ITB, sehingga sangat mempermalukan pimpinan kampus tersebut. Sebagai pernyataan solidaritas, beberapa mahasiswa ITB lain melakukan aksi mogok makan.

Di Yogya, Bambang Subono ditangkap dan diadili atas tuduhan subversi, karena menjual novel Pramoedya Ananta Toer yang telah dilarang. Bersama Bambang Subono yang mahasiswa UGM, ikut ditangkap juga Isti Nugroho, karyawan UGM, yang meskipun hanya tamatan SMA (karena tidak mampu melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi) ternyata menjadi salah seorang pimpinan dari kelompok diskusi mahasiswa di mana Bambang Subono tergabung. Juga ditangkap seorang mahasiswa UGM lain, juga pimpinan kelompok diskusi yang sama, dengan tuduhan serupa.

Putusan pengadilan kepada dua orang yang terdahulu adalah pidana penjara 7 dan 8 tahun. Dalam pertimbangannya, hakim yang memberikan vonis itu pada dasarnya menyatakan bahwa kedua pemuda tersebut telah mengritik keberhasilan pembangunan pemerintah Orde Baru, menyebarkan ideologi lain, dan membahayakan kelestarian Pancasila dan kemantapan generasi Penerus. 

Semua ini dilakukan melalui diskusi. Tidak ada tindakan nyata yang dilakukan kedua pemuda ini, yang secara formal melanggar hukum, kecuali penjualan buku terlarang. Tapi, bila hanya ini yang dilanggar, hukumannya pasti tidak seberat itu, kecuali bila dihubungkan dengan kegiatan subversi. Karena itulah para pembelanya secara tepat menyatakan bahwa yang diadili di sini adalah kebebasan berdiskusi dan berbeda pendapat. 

Rekan-rekan mahasiswa dari beberapa kota kemudian juga mengadakan aksi solidaritas di Yogya. Yang menarik adalah reaksi Rektor UGM. Berbeda dengan ITB, rektor UGM menyatakan tidak akan memecat dan mahasiswa yang telah divonis tersebut dengan alasan proses peradilannya belum selesai (Subono dan Nugroho naik banding). Sikap ini tentunya sangat simpatik bagi para mahasiswa. 

Membaca berita-berita ini, saya jadi termenung. Ada kesan, bahwa bagi yang menghukum mereka, baik itu rektor maupun hakim, para pemuda ini musuh yang berbahaya, yang bisa merusak kelangsungan kehidupan negara. Karena itu, hukuman berat yang dijatuhkan dianggap pantas.

Meskipun tidak mengenal semua mahasiswa ini, saya mengenal beberapa di, antaranya, dan mengenal lingkungan teman-teman mereka secara baik. Kalau boleh saya lukiskan ciri mereka, maka secara singkat dapat saya catat hal-hal di bawah ini:

Mereka adalah orang-orang yang tinggi integritas kepribadiannya dan kepekaannya terhadap nasib orang kecil yang di bawah. Mereka sangat mendambakan terciptanya masyarakat Indonesia yang berkeadilan, demokratis, makmur, dan sejahtera. Mereka adalah minoritas di kalangan teman-teman, mahasiswa mereka, karena kebanyakan mahasiswa lain sibuk dengan proyek dirinya, yakni bagaimana meraih ilmu untuk bisa sukses (baca: kaya). Mereka memiliki keberanian untuk menyatakan apa yang mereka mereka anggap benar dengan segala risikonya. Padahal, kebanyakan mahasiswa lain, meski mengakui kebenaran perjuangan temannya, tidak berani bicara, apalagi berdemonstrasi.

Karena kepekaan yang disebutkan di atas, mahasiswa-mahasiswa ini meski sebenarnya memiliki kemampuan (banyak di antara mereka sangat cerdas) tidak berusaha meniti karier konvensional seperti mahasiswa mayoritas, yakni: lulus, kerja di perusahaan besar, kaya, kawin, dan live happily ever after. Kecerdasannya mereka pakai untuk memperluas pengetahuan mereka (antara lain mempelajari alternatif pembangunan yang lebih baik Indonesia), supaya mereka dapat, pada suatu saat, menciptakan sebuah bangsa yang kuat, makmur, dan adil. 

Tidak berlebihan kalau saya katakan bahwa mereka adalah kaum muda idealis yang patriotik, seperti juga pemuda Angkatan 45 di zaman revolusi. Mereka memang marah melihat kecurangan dan kemunafikan yang ada di sekitarnya. Tapi mereka sama sekali bukan tipe pembuat onar yang tidak bertanggung jawab. 

Mereka mungkin, sebagai pemuda, lebih emosional dan kadang lebih dramatis dalam mengemukakan pendapatnya. Ini sama sekali bukan masalah prinsipiil. Ini hanyalah proses menjadi dewasa. Yang mereka perlukan bukanlah pemecatan, atau menjebloskan mereka ke penjara, tapi bimbingan yang arif. Supaya idealisme mereka tidak musnah, kreativitas mereka tidak luka. 

Kepada beberapa perwira yang saya anggap bisa diajak bicara, saya membicarakan masalah ini. Saya katakan kepada mereka, bagi saya adanya pengaruh besar ABRI dalam kehidupan politik di Indonesia sudah merupakan kenyataan sejarah. Menghadapi kenyataan ini, bagi saya, yang paling penting adalah bertindak positif, yakni: bagaimana meningkatkan kualitas kepemimpinan ABRI di bidang politik. Ini bukan persoalan ABRI saja, tapi persoalan seluruh bangsa. 

Salah satu “kelemahan” begitu kata saya, adalah kurang luwesnya banyak perwira ABRI yang menduduki jabatan kepemimpinan sipil dalam mentransformasikan manajemen militer ke manajemen sipil. 

Manajemen militer didasarkan pada suatu kondisi perang yang bersifat darurat. Dalam keadaan ini, keputusan harus diambil cepat, karena ada bahaya besar mengancam. Peran komandan menjadi sangat penting. Disiplin dan kepatuhan anak buah menjadi utama. Musuh juga harus secara nyata diidentifikasikan, dan garis antara lawan dan kawan harus diperjelas. 

Masyarakat sipil sangat berbeda. Dalam keadaan damai, pada dasarnya tidak ada musuh. Semua warga negara pada prinsipnya adalah saudara. Kalau terjadi perbedaan pendapat, mereka tidak bisa lalu dikategorikan sebagai musuh yang sedang melakukan kegiatan subversif. (Kecuali kalau ada bukti yang sangat jelas bahwa seseorang sedang berkomplot untuk menggulingkan negara). Karena itu, yang sangat diperlukan adalah ilmu mengelola perbedaan pendapat secara damai, sehingga hasilnya menjadi positif bagi semua pihak. Perbedaan pendapat tidak boleh dikelola dengan metode konfrontatif untuk menghancurkan lawan secara represif, seperti halnya dalam perang. 

Saya akui bahwa militer di Indonesia dengan doktrin dwi-fungsi yang sudah dijalankan cukup lama, memang lebih canggih dibandingkan dengan militer di negara-negara lain yang hanya menjalankan fungsi perang saja. Tapi toh saya melihat, dalam banyak kasus, militer Indonesia belum berhasil benar dalam menjadikan dirinya pemimpin sipil yang handal. Prinsip manajemen perang pada dasarnya masih tetap berakar dalam diri banyak perwira yang menduduki jabatan birokrasi sipil. 

Bahkan prinsip manajemen perang ini mulai menular kepada para pemimpin sipil. Dia bisa menular kepada hakim, bahkan kepada rektor yang jenjang pendidikannya sangat tinggi.

Saya merasa kuatir bahwa kalau hal ini tidak dikoreksi maka apa yang terjadi adalah kita sedang membabat benih-benih terbaik bangsa ini. Para pemuda yang idealis, baik dia mahasiswa atau bukan, yang mau berpikir tentang nasib saudara-saudaranya yang tersisih dari perolehan hidup yang layak, yang berani bicara tentang ketimpangan yang ada dalam masyarakat, yang mengorbankan kesempatan untuk menjadi kaya dan hidup happily ever after, oleh suatu manajemen yang tidak tepat, lalu dianggap sebagai musuh berbahaya bangsa ini. 

Mereka dituduh subversif, dihukum, dipecat dari universitasnya, atau dimasukkan penjara sampai bertahun-tahun. Tindakan seperti ini bukan saja mematahkan yang terkena, tapi juga membuat layu kuncup-kuncup baru yang mau mekar. Apakah ini suatu tindakan yang bijaksana? Bagaimana masa depan bangsa ini, kalau dia dikelola oleh para pemuda yang lebih memikirkan kepentingan dirinya ketimbang nasib sesamanya, dan yang takut bicara benar demi keselamatan jenjang kariernya?

Kapankah kita sadar bahwa kita sedang membunuhi benih, benih kreatif dan unsur dinamis bangsa ini? Kapankah kita berhenti memusuhi pemuda kita sendiri?

Arief Budiman, dosen Universitas Kristen Satya Wacana


KOMPAS, SENIN, 18 SEPTEMBER 1989


Artikel Kompas


0 komentar:

Posting Komentar