![]() |
Kolom Tempo |
Oleh: Abdurrahman Wahid
Sebagaimana banyak terjadi pada kiai pesantren, Kiai Sahal Kajen adalah perokok kelas berat. Itu tidak hanya tampak pada rokok yang selalu dipegang dan diisapnya, tapi juga pada keadaan fisiknya: kurus kering dan tenggorokan yang acap terkena penyakit batuk.
Kebiasaan merugikan itu mungkin dari ‘kebiasaan kiai’ untuk sedikit tidur dan berlama-lama dalam keadaan bangun. Kalau tidak untuk membaca kitab-kitab agama sendirian hingga larut malam, tentu untuk menemani tamu yang mengajak berbincang tentang berbagai hal. Belum lagi kedudukan sebagai sekretaris Syuriah NU Wilayah Jawa Tengah, yang membawa tambahan kerja rutin menerima tamu atau mengikuti rapat yang menghabiskan waktu.
Lahir, dibesarkan dan juga akhirnya menetap di ‘desa pondok’ Kajen di Kabupaten Pati–sebuah desa dengan belasan pesantren yang hidup terpisah satu dari yang lain–Kiai Sahal dididik dalam semangat memelihara derajat penguasaan ilmu-ilmu keagamaan tradisional. Apalagi di bawah bimbingan ayahnya sendiri sewaktu kecil, Kiai Mahfudz, yang juga ‘kiai ampuh’, adik sepupu almarhum Ra’is ‘Am NU Kiai Bisri Syansuri.
Kemudian ia melanjutkan pelajaran dengan bimbingan ‘kiai ampuh’ lain, seperti almarhum Kiai Zubair Sarang. Pada dirinya terdapat tradisi ketundukan mutlak pada ketentuan hukum dalam kitab-kitab fiqh, dan keserasian total dengan akhlak ideal yang dituntut dari ulama tradisional. Atau dalam istilah pesantren, ada semangat tafaqquh (memperdalam pengetahuan hukum agama) dan warru’ (bermoral luhur).
Tidak heran kalau Kiai Sahal lalu ‘menjadi jago’ dalam usia muda. Belum lagi berusia empat puluh tahun ia telah menunjukkan kemampuan tinggi dalam forum-forum fiqh. Ini terbukti pada pelbagai sidang bahtsul masa’il tiga bulanan yang diadakan Syuriah NU Jawa Tengah secara teratur–sidang yang menampung masalah yang muncul dari masyarakat.
Bulan lalu di Moga, Pemalang, misalnya, Kiai Sahal muncul kembali dengan cemerlang. Sekian ratus kiai membahas sebuah masalah pelik: kawin lari. Haramkah, atau halal? Bagaimana dengan kedudukan ayah atau wali yang, menurut Mazhab Syafi’i, memiliki wewenang menetapkan jodoh seorang anak gadis?
Bergiliran para kiai berbicara. Berbagai pendapat dengan argumennya kemudian diserahkan kepada sebuah team perumus untuk memberikan keputusan redaksional di ujung pertemuan dua hari itu.
Sementara menunggu, Kiai Sahal diminta berbicara sekitar masalah itu kepada mereka yang tidak turut bersidang dengan panitia perumus. Dalam pidato tanpa persiapan itulah tampak kebolehan kiai. Ia berkali-kali menyebutkan kutipan panjang dalam bahasa Arab dari Kitab Syarqawi, salah satu kitab utama Mazhab Syafi’i, tanpa melihat catatan sekali pun.
Pendeknya, masalah kawin lari harus dilihat dari berbagai sudut pandangan. Kompleksitas hukum fiqh, dan berbagai jawaban yang diberikannya terhadap kasus yang berlainan satu dari yang lain, menjadi menonjol dalam penyajian Kiai Sahal itu.
Gambaran sepintas tentang ‘cara kerja’ dan orientasi yang serba legal-formalistik yang dianut Kiai Sahal itu secara sepihak tentu terasa kaku. Tidak tanggap terhadap kehidupan secara umum, hanya mengambil pendekatan kasuistik. Tidak memiliki ‘filsafat kehidupan’ yang luas, atau ‘kerangka humanistik’ yang besar. Tidak jelas kerangka kemasyarakatam (societal frameworks, al-manhaj al-ijtima’i) yang dicoba dikembangkannya.
Anehnya, kia berambut penuh uban pada usia yang belum tua itu, bersikap cukup ‘aneh’ bagi kalangan pesantren tradisional. Apalagi pesantren daerah pesisir utara Jawa.
Mula-mula menerima ‘masukan baru’ berupa proyek pengembangan masyarakat, dibawakan oleh LP3ES dari Jakarta. Perhatiannya diminta untuk memimpin kerja yang dahulunya tidak pernah dipikirkan kiai pesantren, seperti pelestarian lingkungan (karena ada pencemaran oleh mata pencaharian utama di Desa Kajen itu, yaitu pembuatan tepung tapioka), memperkenalkan teknologi terap bagi penduduk desa (tungku Lorena yang menghemat energi dan sebangsanya) dan memulai usaha merintis pengembangan organisasi ekonomi yang lebih mandiri di kalangan rakyat pedesaan.
Usaha bersama sebagai wadah prakoperasi, diprakarsainya dalam usaha membuat dan kemudian memasarkan ‘krupuk tayammum’ (digoreng dengan pasir) dari bahan tapioka. Cukup lumayan, mampu menyerap tenaga kerja sekian kepala keluarga yang tadinya menganggur di desa miskin itu.
What Makes Sammy Run? Apa yang membuat Sammy berlari? Dan apa yang menggerakkan Kiai Sahal? Bagaimana kiai yang sering dibuat bingung oleh istilah Inggris atau Belanda itu mencapai “kearifan” di atas? Dan berani mempertaruhkan wibawanya di kalangan sesama ulama pesantren dengan menerima kehadiran seorang ‘bule’ Amerika, beragama Katolik, untuk tinggal dan mengajar Bahasa Inggris di pesantrennya?
Jawabannya: fiqh itu sendiri. Keputusan-keputusan hukum agama di masa lampau, diperlakukan secara menyeluruh (bahasa sekarangnya komprehensif) dan seimbang. Bukankah dalam Ihya’ Imam Ghazali banyak mutiara yang berhubungan dengan masalah gizi? Bukankah kitab-kitab fiqh cukup mengatur hubungan dengan ‘orang dzimmi’ (non-muslim)?
Bukankah kewajiban mengatur kehidupan bermasyarakat dalam totalitasnya, bukan hanya aspek legal dan politiknya, sudah begitu banyak dimuat kitab-kitab lama? Mengapa tidak diperlakukan keputusan-keputusan lepas dalam fiqh itu sebagai untaian mutiara, yang memunculkan kerangka kemasyarakatan yang dikehendaki?
Toh Kiai Sahal tidak pula kehilangan hubungan dengan sesama kiai pesantren. Terbukti dari pengayoman oleh sesepuh para kiai di desanya sendiri, Kiai Abdullah Salam. Kiai ini pemimpin pesantren hafalan Al Quran dengan keluhuran akhlaknya (yang takut menerima bantuan uang dari orang kaya maupun pemerintah, karena takut ‘kecampuran barang haram’, dan begitu dihormati tokoh legendaris Embah Mangli di Jawa Tengah) memberikan persetujuan penuh atas kerja-kerja yang dilakukan Kiai Sahal.
Itu memang bukti kuatnya akar ‘rangkaian mutiara’ seperti yang dipungut Kiai sahal itu, untuk masa lampau maupun masa depan.
Abdurrahman Wahid, cendekiawan Muslim
Sumber: TEMPO, No. 33, Thn. XII, 16 Oktober 1982
0 komentar:
Posting Komentar