Taufik Abdullah
(TEMPO, 27 Oktober 1973, Th. III, No. 34)
Tidak ada yang lebih menyegarkan daripada menyaksikan sukses demi sukses yang dicapai daerah-daerah. Begitulah perkunjungan saya ke beberapa daerah baru-baru ini sering memberi kesan yang menyenangkan. Jalan-jalan yang baru diselesaikan, jembatan-jembatan yang baru saja bisa dilalui, dan papan-papan pemberitahuan tentang proyek yang sedang dijalankan, dan seterusnya. Menyenangkan. Apalagi ditambah pula dengan kegairahan pejabat-pejabat berbicara tentang kemajuan-kemajuan yang mereka capai. Di Universitas-universitas demikian juga halnya. Dekan-dekan dan rektor-rektor bicara tentang keinginan-keinginan dan langkah-langkah yang akan dilakukan.
Namun, tak obahnya dengan kue yang enak, yang sering disuguhi, terasa juga bahwa rasanya sama sekali tak berobah. Bisa dimengerti. Resepnya sama dan yang membikinnya juga sama atau keluaran “pengajian” yang sama. Sama enak, tetapi sekali coba berarti sudah dicoba semuanya. Inilah hal yang aneh dari suksesnya pembangunan – terasa pula kemonotonannya.
Tetapi kemonotonan ini akan berobak corak bila situasi bawahan dari yang kelihatan diperhitungkan pula. Barulah setelah menjadikan sukses yang tampak dan lapisan bawah yang tersembunyi ke dalam suatu alam yang utuh, kita bisa melihat tidak saja romantik dari gerak ke arah pembangunan tetapi juga kegelisahan dalam usaha merobah dan memperbaiki hidup. Dan mengukur sukses, barangkali, haruslah setelah semua yang tampak dan tersembunyi dinilai. Inilah beberapa catatan lepas yang saya perdapat.
Universitas.
Apa yang kurang? Sudah boleh dipastikan semua akan berbicara kurang tenaga, baik dalam jumlah maupun dalam kwalitas. Dan semua juga tentu akan mengatakan kerdilnya biaya dan sebagainya. Semua sudah tahu. Tetapi di satu universitas di suatu kota yang agak besar, seorang dosen tanpa ragu-ragu berkata, “Kami tak kurang tenaga. Baik kwalitas maupun kwantitas cukup. Yang kurang di sini”. Dan ia meletakkan tangan di atas dadanya. Sedang temannya mengangguk, setuju. “Mental”, katanya. “Hubungan guru dan murid tak lebih dari hubungan jual beli. Guru menjual dan murid memberi. Setelah transaksi semua berjalan menurut jalan masing-masing”. Jika benar pernyataan ini, maka bisa diduga, setelah si murid membeli dan ingin jadi guru, ia tentu saja akan menjual ilmunya, kalau bisa dengan harga yang memuaskan. Bukankah apa yang didapatnya adalah bersumber dari modal? Demikian jauhkah melorotnya jiwa pendidikan kita?
Demokrasi Pancasila.
“Saya tahu tak semua kebijaksanaan saya bisa diterima rakyat. Tetapi saya harus pula memperhitungkan kecenderungan dan keinginan pejabat-pejabat lainnya”. Ini ucapan seorang pejabat penting. Ia mengatakan bahwa kadang-kadang kebijaksanaannya tak simpatik di mata rakyat, tetapi akan menguntungkan fihak-fihak tertentu dan, mungkin akan membawa akibat baik dalam perkembangan ekonomi. “Ya”, kata saya, “tetapi mungkin secara politis dan sosial nantinya menjadi sensitif”. Ia diam, kemudian berkata: “Sekarang saya sadar bahwa mencari dukungan politik tidak bisa dari bawah. Saya akan hancur. Kalau saya hancur, keinginan saya untuk membangun akan berantakan. Saya harus cari dukungan dari atas”.
Realisme politik ataukah sinisme seorang pejabat? Ataukah pula salah satu cara untuk menembus dualisme dari loyalitas kepegawaian dengan cita-cita untuk sekedarnya mengurangi tekanan politik terhadap rakyat yang tak berdaya?
Keadilan sosial dan ketertiban.
Sekali saya berjalan-jalan di pusat pasar dari sebuah ibu kota propinsi, yang lumayan juga kekayaan alamnya. Tiba-tiba, serentak wanita-wanita, tua dan muda, pada berlarian, sambil membawa ketiding ataupun nyiru. Mereka rupanya pedagang sayuran dan buah-buahan. Sambil berlari, ada yang senyum – lari rupanya telah jadi bagian dari “peraturan permainan” mereka – dan ada pula yang dengan air muka sedih dan kesal. Seorang setengah baya, liwat di hadapan saya. Dengan nafas terengah-engah ia mengeluh: “Aduh, payahnya cari hidup”. Saya ikuti ia dengan mata. Ia berhenti, melepaskan lelah. Dan saya dengar ia ngomel pada kusir sado. “Anak saya dua kecil-kecil. Coba fikir, pak”.
Dari tempat orang-orang berlarian tersebut saya lihat empat petugas Hansip, diiringi oleh seorang polisi, dengan gagah dan dengan mata mendelik berjalan di tengah-tengah keramaian. Di tangan mereka ada pemukul. Merekalah yang ditakuti rupanya. Mereka menjalankan perintah – mungkin dengan rasa kepuasan juga – untuk menjaga ketertiban. Pasar harus tertib. Tertib berarti modern. Wanita-wanita tadi tampaknya adalah anasir-anasir yang melanggar ketertiban. Mereka berjualan tidak di toko atau di warung, tetapi hanya dengan memakai ketiding. Kurang pantas. Tetapi mereka mencari rezeki untuk menyambung hidup. Saya hanya melihat saja.
Pembangunan daerah.
“Saya senang U bisa memangku jabatan ini”, kata seorang profesor tua dari pusat kepada bekas sejawatnya. “Yah, di negeri orang buta . . . .”, jawab temannya itu dalam bahasa Belanda yang tak diteruskan kalimatnya. Keduanya tersenyum. “Saya harus berkorban, kalau tidak siapa lagi”, kata teman sejawat profesor tersebut. Kemudian ia mulai dengan analisa sosialnya. “Daerah ini, tak kurang dari daerah-daerah lain, juga mengalami brain-dain. Tenaga yang baik baik ke pusat. Lihat saja PON yang lalu, lebih dari setengah medali yang tersedia diborong oleh anak-anaknya Bang Ali. Daerah ini cukup kaya. Tetapi tak satupun yang bisa kami kerjakan tanpa persetujuan dan restu pusat”. Ia diam.
“Ya”, kata Profesor pusat tersebut, “saya setuju dengan apa yang dikatakan oleh Gubernur Sumatera Barat, ‘pulanglah ke kampuang’.
“Bagus, tetapi bagaimana mungkin. Jika semua, politik, ekonomi, intellektuil, dan sebagainya harus dimonopoli oleh pusat. Anak-anak muda yang pintar dan gesit, demi masa depan mereka, demi karir, tentu akan mendekati pusat segala kekuasaan itu. Maka tinggalah di daerah yang kurang gesit atau yang benar-benar punya dedikasi. Sedangkan untuk mengeksploitasi daerah saja, harus ditentukan oleh pusat. Segalanya”. Ia ulangi lagi “Segalanya”.
Keduanya melihat pada saya, seakan-akan minta pendapat. Saya hanya tersenyum. Namun saya menyadari sedalam-dalamnya, betapa salahnya anggapan bahwa para terpelajar di daerah yang terpencil secara geografis dari pusat, juga terpencil pandangan. Di daerah saya menyadari bahwa sesuatu yang tak seimbang telah terjadi. Sementara orang-orang di pusat tahu banyak tentang strategi pembangunan yang mempunyai ruang lingkup nasional, mereka kurang sensitif terhadap nuansa-nuansa perasaan di daerah-daerah. Di daerah para terpelajar sering menyadari dengan baik problem mereka dan keinginan-keinginan daerah, tetapi mereka juga cukup sensitif betapa pentingnya membatasi diri demi terwujudnya integrasi nasional.
Maka dalam ketimpangan pada pengetahuan dan kesensitifan ini, saya kira, terjadilah salah pengertian yang tak perlu. Pusat kadang-kadang tampil sebagai Leviathan yang seram, daerah-daerah muncul seakan-akan liliput-liliput yang sedang menggerogoti Gulliver yang perkasa.
Pelita II.
Pasti sudah bahwa sketsa-sketsa di atas tak akan mendapat tempat dalam penyusunan Pelita II. Berisikan angka tidak, dan mempunyai data kwantitatif serta penyataan resmi para pejabat juga bukan. Tetapi sketsa-sketsa tersebut mungkin bisa memberikan segelintir cuplikan dari gambaran lain dari tanah air kita. Karena itu perlu juga direkam, walaupun hanya sebagai catatan saja.
Taufik Abdullah ▪
Sumber: TEMPO, 27 Oktober 1973, Th. III, No. 34

0 komentar:
Posting Komentar