Oleh: Haryatmoko
Ada penilaian terhadapa Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang menarik untuk disimak. ‘Komitmen Gus Dur terhadap demokrasi tak dapat diragukan tetapi lemah dalam perbaikan eknoomi”. Tanpa bermaksud mengecilkan arti kelemahan ini, harus diakui bahwa komitmen Abdurrahman Wahid terhadap demokrasi nampak serius diwujudkan. Dibubarkannya Bakostranas, Litsus, dan usulan Ketetapan (Tap) MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 (pembubaran PKI dan larangan penyebaran ajaran komunisme, marxisme dan leninisme) merupakan langkah ke arah demokratisasi. Inilah awal perubahan praktik sosial lama ke upaya perluasan lingkup kebebasan dan penciptaan institusi-institusi yang lebih adil.
Perubahan struktur-struktur sosial bisa terjadi bila ada diskontinuitas antara struktur-struktur tesebut dan pelaku, semakin banyak orang mengambil jarak terhadap praktik sosial tertentu akan mempercepat proses pengusangan struktur yang menjadi aturan praktik sosial tertentu, akan mempercepat pengusangan struktur yang menjadi aturan praktik sosial. Tumbangnya Orde Baru bisa terjadi karena banyak orang mengambil jarak melalui proses dan kritik terhadap praktik-praktik kekuasaannya. Akan tetapi, ternyata perubahan rezim tidak otomatis merubah praktik-praktik sosial lama. Pengambilan jarak terhadap praktik-praktik sosial lama sebagai kesadaran kolektif ternyata lebih bersifat insidental, artinya hentakan tidak akan menjadi suatu tindakan yang berlangsung lama.
Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dan premanisme masih sulit diberantas. Manipulasi agama yang dulu menjadi sarana penunjang manajemen dominasi masih dipraktikkan oleh elite politik tertentu. Kekerasan struktural dengan impunity yang dulu selalu dikaitkan dengan aparat, kini banyak dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat. Memang harus diakui di beberapa sektor, perubahan itu sudah terjadi. Kebebasan pers, kebebasan berpendapat, kebebasan berserikat, melemahnya dominasi militer, dan sebagainya. Idealnya perubahan-perubahan itu berimbas pada praktik-praktik sosial lama yang masih berlangsung. Akan tetapi, perubahan hanya bisa terwujud bila ada perubahan unsur-unsur tindakan kolektif tujuan tindakan, pola pikir baru, kemampuan baru para pelaku sosial dalam berelasi. Tujuan dan pola pikir baru terkait pada tujuan reformasi yaitu diterapkannya etika politik. Kemampuan baru berelas ditentukan oleh prinsip subsidiaritas dan kesediaan untuk menerima yang berbeda (pluralisme).
***
Etika politik bukan hanya masalah moral individual. Dalam moral individual hubungan antara visi seorang dan tindakannya langsung. Seseorang bisa langsung menerapkan di dalam tindakannya bila mempunyi pendapat tertentu. Bila tuntuan kesahihan norma terpenuhi, bisa langsung diterjemahkan ke tindakan. Sedangkan etika politik merupakan masalah etika sosial, tidak bisa diepaskan dari tindakan kolektif dan struktur sosia. Maka, tidak cukup bahwa premis normanya sahih. Masih harus ada syarat lain yang harus dipenuhi, yaitu diterima oleh sebagian besar anggota masyarakat. Meskipun seseorang mempunyai gagasan bagus belum tentu bisa diterapkan dalam tindakan kolektif. Perlu proses persuasi agar bisa diterima oleh sebanyak mungkin anggota masyaralat.
Jadi hubungan antara visi dan tindakan tidak langsung, harus melalui mediasi (perantara). Mediasi ini berupa simbol-simbol dan nilai-nilai, simbol-simbol agama, demokrasi, nilai-nilai keadilan, solidaritas, kebebasan. Nilai-nilai dan simbol-simbol itu mengantar kepada kesepakatan untuk bertindak. Etika politik erat terkait dengan motivasi, sarana dan tujuan tindakan kolektif (subyektif). Akan tetapi, ada faktor obyektif tindakan kolektif, yaitu struktur sosial. Struktur sosial mengkondisikan tindakan kolektif, mempermudah atau menghambat.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa etika politik mengandaikan pemahaman dialektika aktor dan struktur sosial, artinya stuktur-struktut sosial hanya ada karena diciptakan, dihidupi, dipelihara oleh pelaku-pelaku sosial, maka perubahan struktur sosial pun hanya bisa dilakukan oleh pelaku-pelaku sosial, sebaliknya, pelaku sosial, kendati bebas, dikondisikan oleh struktur sosial-struktur sosial tersebut. Dimensi moral berhadapan dengan struktur-struktur sosial tersebut terletak di dalam pilihan-pilihan orang akan tatanan sosial, politik atau ekonomi yang ingin diwujudkan dalam kehidupan bersama.
Paul Ricocur dengan tajam mendefinisikan etika politik. “Etika politik ialah upaya untuk semakin memperluas lingkup kebebasan dan menciptakan institusi-institusi yang lebih adil.” Definisi ini mengacu pada pada:
Pertama, lingkup kebebasan yang dimaksud tentu saja adalah kebebasan sosial-politik, artinya syarat-syarat fisik, sosial dan politik yang perlu untuk pelaksanaan kongkret kebebasan, termasuk jaminan terhadap hal-hak. Ini mencakup kebebasan pers, kebebasan bersrikat dan berkumpul, kebebasan mengeluarkan pendapat, dan sebagainya.
Kedua, menciptakan institusi-institusi yang lebih adil. Mengapa keadilan menjadi keutamaan terpenting dari institusi sosial? Ini tidak bisa dilepaskan dari struktur masyarakat.
Dalam struktur masyarakat sudah terkandung berbagai posisi sosial. Posisi dan harapan masa depan yang berbeda-beda itu sebagian ditentukan oleh sistem politik dan kondisi sosial sosial ekonomi. Institusi-institusi sosial tertentu mendefinisikan hak-hak dan kewajiban serta mempengaruhi masa depan hidup setiap orang. Jadi institusi-institusi itu sudah merupakan sumber kepincangan karena sudah merupakan titik awal keberuntungan bagi yang satu dan sumber kemalangan bagi yang lain. Maka, etika politik harus mengupayakan cara-cara yang memungkinkan institusi-institusi sosial mendistribusikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dasariah serta menentukan pembagian keuntungan hasil kerja sama sosial. Keadilan yang diarah bukan ingin menghapus ketidaksamaan, melainkan berusaha memastikan terjaminnya kesempatam sama sehingga kehidupan seseorang tidak ditentukan oleh keadaan tetapi ditentukan oleh pilihannya.
***
Upaya memperluas ruang lingkup kebebasan tidak bisa dilepaskan dari perjuangan membangun civil society. Konsep ini dimengerti sebagai “lingkup interaksi sosial antara ekonomi dan negara, yang pertama-tama terdiri dari lingkup intim (keluarga), lingkup asosiasi (yang sukarela), gerakan-gerakan sosial (LSM), dan bentuk-bentuk komunikasi publik lainnya” (Cohen & Arato, 1992). Definisi ini menunjuk pada lembaga atau organisasi non-politik, misalnya, lembaga sosial-keagamaan seperti NU, Muhammaditah, atau LSM. Civil society dibedakan dari masyarakat politik, lembaga politik, partai politik, organisasi politik, dan dari masyarakat ekonomi yang terdiri dari organisasi produksi dan distribusi. Civil society bertujuan melindungi individu terhadap kesewenang-wenangan negara dan berfungsi sebagai kekuatan moral yang mengimbangi praktik penyelenggara negara. Dalam perspektif ekonomi, civil society berusaha melindungi masyarakat dari ketidakpastian ekonomi global dengan menciptakan jaringan ekonomi mandiri untuk kebutuhan pokok, dalam bentuk koperasi, misalnya. Arahnya bukan pencapaian kekuasaan, tetapi diperlakukannya prinsip demokrasi.
Tekanan pada segi politik dan ekonomi itu karena masyarakat selalu berada dalam posisi di bawah belas kasih negara dan pasar. Kalau politik berarti kekuasaan untuk memutuskan di dalam masyarakat, politik hanya merupakan bidang beberapa orang saja. Beberapa orang itu adalah mereka yang menguasai masalah-masalah negara dan operasi pasar. Tugas utama negara adalah memerintah, biasanya dari atas ke bawah, bahkan di dalam sistem yang memungkin partisipasi demokratis. Sedangkan pasar dikendalikan melalui kompetisi bebas. Akan tetapi, dalam kenyataan sangat jarang ada kompetisi bebas. Yang biasanya terjadi ialah dimulai dengan kompetisi yang relatif bersih dan jujur, tetapi berakhir dengan dominasi oleh beberapa yang menang saja. Negara seharusnya berusaha agar aturan-aturan permainan itu adil, tetapi perlu disadari bahwa tidak pernah akan terwujud kesempatan yang terbuka dan setara untuk semua. Pola pembagian kekayaan dan keputusan yang ditentukan oleh kedua mekanisme kekuasaan itu tidak memungkinkan warganegara bisa berada dalam lingkungan pengambilan keputusan. Warganegara hanya akan bisa berpartisipasi bila mengorganisasi diri untuk menekan supaya diadakan perubahan dan pertanggungjawaban.
Civil society bisa berkembang bila hubungan individu-kelompok-negara diatur oleh prinsip subidiaritas. Prinsip ini menegaskan bahwa apa yang bisa diurus dan diselesaikan oleh kelompok yang lebih kecil dengan kemampuan dan sarana yang ada, kelompok yang lebih besar jangan campur tangan. Negara hanya boleh campur tangan sejauh membantu individu atau kelompok yang lebih kecil dalam mengupayakan kesejahteraan umum dan dalam mewujudkan keadilan distributif. Dengan demikian, akan tumbuh inisiatif dan partisipasi yang lebih aktif dari masyarakat dalam mengusahakan kesejahteraan bersama. Peran negara dalam kehidupan beragama dengan demikian perlu didefinsikan kembali. Organisasi politik yang sangat bias kepada negara diubah ke politik yang memihak warganegara. Maka, penting adanya penyadaran agar masyarakat mengefektifkan penggunaan jalur hukum. Selain agar terwujud apropriasi hukum oleh masyarakat, juga agar perjuangan keadilan mampu merubah secara struktural kondisi yang tidak adil melalui aturan permainan legal dan bukan dengan cara kekerasn.
* Dr Haryatmoko, Pengajar Universitas Sanata Dharma dan Program Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga, Yogyarta, serta UI Depok.
Sumber: Kompas, 5 Juni 2000
0 komentar:
Posting Komentar