alt/text gambar

Jumat, 27 Juni 2025

HMI, Islam dan Pancasila


Oleh: Abdurrahman Wahid


MENGIKUTI perkembangan yang terjadi atas Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) menjelang, selama dan setelah kongresnya di Medan baru-baru ini, timbul berbagai kesan yang bercampur-baur dalam diri penulis. Kesan itu akhirnya berujung pada rasa tidak menentu dan rasa khawatir akan perkembangan kehidupan kita semua di masa depan. Dari rasa tidak menentunya keadaan dan kekhawatiran atasnya itu, mau tidak mau lalu muncul sebuah rasa lain, yaitu semacam praduga (premonisi) akan terjadinya sebuah pergolakan hebat. Sesuatu yang tidak kita kehendaki bersama seolah-olah akan memaksakan kehendaknya atas diri kita, dan inilah yang menggelisahkan.

Penulis diminta oleh KAHMI (Korps Alumni HMI) Jakarta, dalam bulan Februari, untuk menulis sebuah makalah untuk mereka diskusikan. Permintaan tertulis itu disertai keterangan, bahwa diskusi itu dimaksudkan untuk mencari bahan masukan bagi persiapan Kongres HMI di Medan "beberapa bulan lagi' (menurut bunyi surat KAHMI Jaya itu).

Penulis tidak menolak, karena merasa bahwa membantu teman-teman yang terhimpun dalam KAHMI Jaya itu adalah kewajiban, apalagi dalam proses menyusun pendapat tentang masalah sepenting apa yang dimintakan, yaitu 'pembinaan internal umat Islam'. Walaupun penulis sendiri merasa adanya pertentangan kepentingan untuk menggarap 'tema Kopkamtib' (waktu itu) di atas. Masalahnya, penulis pernah membantu pihak Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Agama, sebuah lembaga pemerintah, untuk mengajukan pikiran tentang hal yang sama. Bukankah tidak etis, menjual barang yang sama dua kali?

Akhirnya, makalah tidak jadi tertulis, bukan hanya karena pertentangan kepentingan di atas, melainkan oleh sebuah sebab lain. Pantaskah penulis ikut serta mencampuri urusan intern HMI? Bukankah tidak seharusnya pihak KAHMI (yang mana pun) terus- menerus mengurusi HMI, sebuah organisasi yang tidak lagi menjadi tanggungjawab organisatoris mereka Bukankah sikap seperti itu yang sebenarnya merupakan inti krisis identitas HMI dewasa ini, yaitu besarnya campur tangan para ‘senioren’ dalam masalah intern HMI sendiri? Makalah tidak jadi dibuat, penulis hanya berpangku tangan melihat perkembangan yang terjadi, dan hasilnya sungguh-sungguh mengejutkan. Betapa tidak, karena organisasi mahasiswa yang satu ini lalu terdorong untuk mengambil sikap konfrontatif terhadap pemerintah (dalam hal ini Menpora Abdul Gafur, yang nota bene adalah aktivis HMI juga di masa lampau).

Disenangi atau tidak, itulah posisi yang dimiliki HMI saat ini. Berpolitik atau tidak, atau bahkan. jika HMI menjauhi politik sekali pun dalam mengambil sikapnya. la kini telah menjadi isyu politik. Seperti juga halnya kalau Nahdlatul Ulama memutuskan untuk memisahkan dari dari Partai Persatuan Pembangunan karena alasan keagamaan, sikap itu sendiri akan menjadi isyu politik (sebuah pengalaman berharga bagi penulis dari waktu sebelum Pemilihan Umum 1982, ketika penulis mengupayakan hal itu). Dan isyu politik itu adalah isyu yang paling 'gawat' dewasa ini: menentang Pancasila. Walaupun sangat ironis jika isyu seperti itu muncul dan mengenai HMI, organisasi yang secara kosisten 'paling Pancasilais' di lingkungan gerakan Islam di negeri kita selama ini. 

Politik senerti kata pepatah, adalah ‘seni merakit hal yang paling muingkin dilakukan’ (the art of the possible). Kebenaran diktum ini menyembunyikan sebuah persyaratan utama, yaitu kesediaan pihak-pihak yang terlibat untuk mencari ‘yang mungkin’ tersebut. Dalam keadaan persyaratan itu tidak tercapai, yang dihasilkan seringkali adalah 'the tension of the impossible' (tegangnya sesuatu yang tak terwujudkan). Dan ini yang menimpa HMI saat ini : ketegangan eksternal dengan pihak 'sponsor' gagasan berasas tunggal Pancasila, di samping ketegangan internal antara. pendukung dan penentang gagasan itu di dalam batang tubuh organisasi mereka sendiri.

Penulis akan mengajukan pengamatannya sendiri atas perkembangan tersebut, dengan tujuan dapat turut memperjelas situasi, guna memungkinkan tercapainya. posisi 'seni merakit apa yang paling mungkin dihasilkan’ bagi HMI.

Dua kecenderungan 

Dalam dasa warsa terakhir ini, HMI mengalami berkembangnya dua kecenderungan berlawanan dalam dirinya. Di satu pihak, sebagai hasil upaya melakukan pemikiran ulang atas 'ajaran Islam', muncul kecenderungan un- tuk melakukan modernisasi tuntas dalam pemikiran keagamaan warga HMI. Terkenal dalam hal ini adalah isyu 'sekularisasi’ yang dibawakan oleh Drs Nurcholis Madjid, salah seorang 'dedengkot’ HMI dengan karisma dan kemampuan intelektualnya sendiri. Alur umum dari kecenderungan ini adalah keinginan untuk merumuskan 'perjuangan Islam' dari sudut kepentingan nasional bangsa kita. Dengan kata lain, kiprah kaum muslimin harus dicegah sejauh mungkin dari kecenderungan eksklusivistis, memisahkan ‘yang Islam' dari 'yang nasional'. Kecenderungan ini terutama berkembang di kalangan alumni HMI yang memasuki dunia birokrasi pemerintahan dan yang memasuki profesi yang menjadi klien pemerintah. Muncullah dari proses ini 'seri pertama' dari KAHMI di mana-mana.

Dengan cepat, kecenderungan tersebut ditandingi oleh kecenderungan lain, yang justru menampilkan Islam sebagai fokus perjuangan total yang seharusnya dilakukan HMI. Kalau identitas politik Islam tidak sepenuhnya dapat diwujudkan, maka Islam haruslah diperjuangkan secara konsisten di bidang-bidang lain. Ujung dari kiprah seperti itu adalah konsep 'Al-Islam’, yaitu Islam sebagai jalan hidup total. Kalau ada sengketa antara Islam sebagai jalan hidup dan negara dalam sesuatu persoalan, maka sikap negaralah yang harus diluruskan, agar sesuai dengan ajaran Islam. Konsep ini menghendaki penciptaan 'pribadi muslim' yang tidak goyang dalam keyakinan keagamaan oleh apa pun, yang mampu mejelmakan’ke-Islam-an’ (the Islamicity) mereka secara total.Manifestasi sikap ini dapat dilihat di kampus-kampus, dari penolakan formal atas apa yang mereka rumuskan sebagai ‘bertentangan dengan ajaran Islam’ hingga kepadapenggunaan kerudung (jilbab) penutup kepala di kalangan sejumlah mahasiswi.   

Perbedaan antara kedua kecen- derungan di atas pertama kali dilambangkan oleh perdebatan yang tidak berlangsung lama antara Nurcholis Madjid dengan Prof Rasjidi (yang diikuti oleh kritik-kritik Endang Saifuddin Anshori terhadap gagasan 'sekularisasi'). Namun, segera ia diikuti oleh perkembangan lain, yang lebih massif lingkupnya namun tersembunyi dari pandangan orang luar. Pihak ‘pembaru' dengan cepat mengembangkan jaringan kegiatan yang berkulminasi pada keterlibatan semakin banyak warga HMI (termasuk alumninya) dalam 'kiprah nasional' bangsa, dan tanpa ragu-ragu menceburkan diri dalam ‘arena’ baru tersebut. 

Akbar Tanjung, bekas ketua umum HMI, menjadi 'dedengkot Komite Nasional Pemuda Indonesia, dan diikuti Abdul Gafur yang menjadi menteri muda beberapa tahun kemudian. Beberapa departemen dan lembaga pemerintah sampai-sampai memperoleh predikat 'departemen HMI' dan 'kantor HMI' oleh besarnya arus 'HMI Masuk Pemerintahan' itu. Bukan hanya itu, 'kiprah' tersebut diikuti oleh aktivis dan eks-aktivis HMI yang berjuang dalam kegiatan profesional yang berintikan ketergantungan kepada status rekanan pemerintah dalam bidang usaha. 

Pihak ‘Al-Islam' menandingi kiprah di atas dengan kegiatan internal yang sangat intensif. Latihan-latihan pembinaan kader dan pimpinan dilakukan secara tidak kenal lelah, untuk menempa calon-calon 'mujahidin dakwah’ untuk meminjam istilah Imaduddin Abdurrahim, itu 'dedengkot' Masjid Salman ITB yang kini bermukim di Amerika Serikat. Islam sebagai totalitas jalan hidup harus dimulai dari diri sendiri, dan keseluruhan sistem latihan dan perkaderan di dalam HMI dengan cepat mengambil orientasi di atas. Kegiatan tidak berhenti hanya pada latihan, melainkan bercabang dan berlanjut pada banyak hal lain, termasuk bidang penerbitan dan dakwah. Di kedua bidang ini tampak jelas sekali warna tegar dari pendirian keagamaan total itu. Buku-buku yang memuat orientasi legal-formalistis Islam, yang ditulis tokoh-tokoh Dunia Islam seperti Sayyid Qutb dan Al-Maududi, diterjemahkan dengan frekuensi mengagumkan. Materi dakwah kepada publik juga tidak kalah garang dan tegarnya, yang dilakukan oleh kelompok ini, sebagaimana dapat disaksikan di lingkungan sekian banyak organisasi remaja masjid. 

Dikhotomi

Dikhotomi tajam dalam tubuh HMI tidak dapat dihindarkan lagi, kedua belah pihak telah memasang kuda-kuda, tanpa ada kekuatan ketiga yang mampu secara efektif melerai sengketa mendasar itu. Keadaan semacam itu hanya menunggu waktu saja untuk meledak, dan Kongres HMI di Medan adalah wahana untuk itu. 

Apa yang terjadi di Medan, sebenarnya adalah adu kekuatan antara dua kecenderungan yang disebutkan di atas. Dikhotomi intern HMI mungkin tidak akan berkulminasi dalam sebuah adu kekuatan, jika seandainya tidak ada sekian 'sponsor' yang menyorongkan dua kutub berlawanan ke muka para peserta kongres. 'Sponsor' pertama adalah Menpora Abdul Gafur, yang mensyaratkan kepada Ketua Umum (waktu itu) asas tunggal Pancasila sebagai 'imbalan' pemberian izin kongres. 'Sponsor' tandingan adalah sejumlah KAHMI (terutama Jakarta. Bandung dan Yogyakarta) yang sepenuhnya mengikuti faham 'Al- Islam' di atas. Bagi mereka, asas tunggal Pancasila adalah masalah keyakinan akan kebenaran Islam, atau dengan kata lain, masalah keimanan. Pilihan dari sikap 'tidak membela Islam' dalam hal ini adalah membubarkan saja HMI, karena kata Islam di dalamnya tidak lagi mempunyai makna sama sekali.

Tragedi telah terjadi. Keputusan Kongres HMI untuk menunda permasalahan hingga ada kepastian undang-undang, yang dalam dirinya adalah kompromi yang sehat antara dua kekuatan yang saling beradu, justru menempatkan HMI pada posisi 'menentang Pancasila' di kalangan sejumlah pejabat tinggi pemerintahan. Sebagaimana biasa, dapat diperkirakan akan dilangsungkan 'penggarapan’ masalah itu secara intern, dengan menciptakan krisis yang akan mengundang campur tangan orang luar. Hal itu, kalau terjadi, tentu akan dihadapi dengan sikap lebih militan dan solidaritas lebih menyempit lagi antara warga HMI dan pihak-pihak yang 'sepaham' di luarnya. Prospek konfrontasi berkelanjutan seperti itu tentu saja tidak menggembirakan : pecahnya HMI menjadi dua 'HMI' yang berlawanan, atau HMI bubar sama sekali.

Stabilitas keadaan yang sangat kita perlukan tidak akan tertolong dengan prospek seperti itu. Karenanya, dituntut kearifan pihak ‘pengelola’ masalah kepemudaan dan kemahasiswaan dalam pemerintahan, untuk tidak memprovokasikan keadaan kepada titik akhir yang buruk itu, yang pada dirinya tidak lain akan menambahkesulitan yang dihadapi pemerintah sendiri. GBHN hanya menentukan bidang politik saja yang harus berasas tunggal Pancasila, pendekatan 'minimalis' yang sangat simpatik yang secara optimal dapat dicapai oleh konsensus nasional. Sikap mau berlebih dari itu hanyalah mencerminkan tidak adanya penghargaan kepada konsensus nasional, sesuatu yang dalam jangka panjang akan merugikan kewibawaan moral pemerintah.

Bagi HMI sendiri, tetap ada kewajiban untuk melakukan dialog internal yang sehat mengenai Pancasila. Secara formal, suatu ketika HMI masih harus mengakui Pancasila sebagai sebuah kenyataan yang tak dapat ditolak, karena ia merupakan bagian dari perjuangan Islam di negeri ini. Dialog bersahabat, walaupun berbeda pendirian, antara kedua kecenderungan intern HMI sendiri sangat diperlukan untuk mencapai rumusan yang dapat diterima semua pihak tentang tempat Pancasila dalam perjuangan Islam yang dilakukan organisasi mahasiswa yang sudah lama 'paling Pancasilais’ di antara gerakan Islam di Indonesia ini.

Abdurrahman Wahid, kolumnis, pimpinan Pondok Pesantren Ciganjur


Sumber: Kompas, 27 Juni 1983

Rabu, 25 Juni 2025

Tulisan dan Bacaan Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka, Sempit

Rizal Mallarangeng


Oleh: Rizal Mallarangeng 


Sumbangan Goenawan Mohamad (GM) pada pandangan kebangsaan saya kira bukan pada konsep. Tapi yang ada suasana hati. Framing. Ada metanaratif di situ: solidaritas sosial. Pentingnya solidaritas sosial. Pentingnya kebebasan. Ini kan tradisi panjang kaum penulis, apalagi seniman. Dikatakan atau tidak dikatakan, kebebasan, creativity, itu menjadi metanaratif yang kita bisa temui di balik semua tulisannya.

Jadi, pertanyaannya adalah apa sebenarnya nilai-nilai yang paling banyak atau paling mendominasi berbagai tulisan itu. Jawabannya: kebebasan, solidaritas sosial, nilai-nilai yang manusiawi, yang gampang tersentuh pada nasib orang yang menderita. Jadi, bukan teori, tapi attitude, atau frame, cara pandang. Saya, karena saya lahir dari tradisi ilmu sosial, saya akan sebut itu sebagai metanaratif, sebagai nilai-nilai dasar yang membentuk seseorang. Nah, pedangnya adalah “Catatan Pinggir”-nya. Tetapi, apa yang dia inginkan dengan pedang itu, bagaimana dia melihat realitas, it is driven by the fundamental ideas. 

Penulis seperti ini itu sangat mahal untuk kebudayaan Indonesia modern. Kenapa? Kita tak punya banyak. Jangankan sekarang. Dulu juga tak banyak. Betapapun kita kagum pada pemimpin bangsa kita—semua punya jasa; Hatta, Sjahrir, misalnya, dan penyair-penyair sastrawan Pujangga Baru tahun 1930-an bagus sumbangannya tentang “bertukar tangkap dengan lepas”—tapi dari segi keilmuan dan pengetahuan mereka terbatas. Mungkin kondisinya terbatas. Selain Sukarno ya. Sukarno bacaanya sangat luas dan dia mampu distillation of the ideas. 

Orang seperti Hatta dan Sjahrir, betapapun bagusnya peran mereka, saya menghargai itu, tapi tulisan-tulisan dan bacaan mereka menurut saya sempit. Apalagi Tan Malaka. Tan Malaka itu bagus sebagai aktivis. Dia sangat jelek sebagai pemikir. Tidak matang. Pengendapan mereka, karena bacaan yang tidak terlalu luas—misalnya tulisan Bung Hatta tentang sejarah pemikiran Yunani—sangat elementer. 

Bangsa kalau mau besar, kalau mau bangga menjadi—ini kan Surat Kepercayaan Gelanggang—ahli waris, pewaris dunia, yang berbicara dengan bahasa kita sendiri, dengan cara kita sendiri, harus membuat keluasan berpikir yang bagus. Jiwanya juga bagus. Dengan pengalaman yang terasah. Bahasanya indah dan enak didengar. Goenawan sudah memberi contoh. 

Soal aktivisme Goenawan juga tidak kurang. Saya ingat waktu Tempo dibredel. Saya pulang penelitian tahun 1996. Goenawan dengan kopiahnya kaya Bung Karno, miring sedikit, berteriak: Kemerdekaan Tempo! Saya senang melihat momen itu (sidang kasasi pembredelan Tempo). Itu kan dekat dengan Istana Merdeka, di Mahkamah Agung. Kita ingat sejarah istana Merdeka, bagaimana Sukarno, pakai peci, pidato di teras itu, pidato tentang pengakuan kedaulatan. 

Ada mbok-mbok, tukang becak, segala macam. Pertama kali merah putih, sang dwiwarna, berkibar. Itu kan mengharukan. Dan, itu kan cuma berjarak 200 meter dari tempat Goenawan Mohamad di tangga itu pakai peci miring-miring dikit. Nah, bangsa itu kan harus punya yang gini-ginian kalau mau besar. Bangsa Indonesia itu harus punya momen-momen, penulis-penulis, kekayaan yang bisa mencapai kedalaman itu. 

Sumber

Rizal Mallarangeng dalam Wawancara dengan Andy Budiman, "The Distiller of Life", dalam Ayu Utami (ed), Membaca Goenawan Mohamad, Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2022, h. 8-9.

Selasa, 24 Juni 2025

LULUSAN UI TIDAK LEBIH BAIK DARI UGM


Oleh: Hermawan Sulistyo


Sebagai alumnus Universitas Indonesia (UI), saya bisa bilang kepada rekan saya Dr Riswandha Imawan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) bahwa sekolah saya (dulu) lebih baik dari sekolahnya. Kalau dia tidak percaya, akan saya sodorkan hasil peringkat 50 universitas terbaik di Asia versi majalah Asiaweek yang dimuat harian ini (Kompas 23/5/1997). Dalam versi ini, UI menduduki peringkat ke-32 dan UGM ke-37, sementara Institut Teknologi Bandung (ITB) ke-19. 

Analis yang gegabah akan menarik inferensi lebih jauh, bahwa lulusan UI lebih pintar dibanding lulusan UGM (meskipun saya pasti akan senang dinilai demikian). Tapi, pemeringkatan universitas seperti itu bisa menyesatkan bagi pembaca awam. Struktur dan sistem universitas yang tidak sama, serta penggunaan parameter untuk menentukan kriteria mana yang kualitasnya lebih baik, menyulitkan perbandingan secara adil.

                                               *** 

Dasar penilaian pertama, dengan bobot tertinggi, yang dilakukan oleh Asiaweek ialah "reputasi akademik", Kriteria ini didasarkan pada "penilaian subjektif" reputasi akademik oleh satu universitas terhadap universitas lain. Ini saja sudah menimbulkan persoalan, karena betapa pun hebatnya ITB, akan sulit mengalahkan "reputasi" universitas lain yang menggunakan bahasa pengantar Inggris, atau yang memiliki akses ke luar universitas (bahkan ke luar negen) dalam bahasa Inggris. Bahasa Inggris adalah medium informasi kepada sejawat akademik di tempat lain. Bisa saja ada bantahan argumen ini, khususnya dalam kasus universitas Jepang, karena mereka juga tidak menggunakan bahasa Inggris. Tapi, patut dicatat bahwa akses mereka ke publik yang tidak berbahasa Inggris (dan sebaliknya) tidak kurang-kurang. Kelemahan perangkat penilaian Asiaweek jauh lebih banyak lagi dari sekadar soal penilaian "reputasi".

Sistem rangking ini sesungguhnya bisa dibandingkan dengan sistem pemeringkatan serupa, tetapi yang lebih mapan, di Amerika Serikat. Ada banyak kriteria di sana untuk menentukan peringkat universitas, sehingga misalnya didapatkan kelompok universitas papan atas (disebut Ivy League) dan di bawahnya yang disebut dengan bermacam istilah. Yang paling umum, keseluruhan kategori suatu universitas adalah most competitive, very competitive, highly competitive, competitive, less competitive, non-competitive. Patut dicatat, universitas yang dinilai hanya mereka yang diakreditasi.

Komponen standar penilaian yang digunakan sangat kompleks. Salah satu yang terpenting dan justru tidak dipakai oleh Asiaweek, ialah ratio dosen-mahasiswa. Semakin kecil rationya, semakin tinggi nilai yang diperoleh, karena berarti lebih sedikit mahasiswa yang ditangani oleh seorang dosen. Universitas kelas satu anggota Ivy League seperti Yale memiliki ratio 1:4, sementara umumnya universitas kelas menengah memiliki ratio 1:10. Perbandingan ini hanya mencakup tenured professor dan tidak termasuk asisten (TA atau teaching assistant dan GA atau graduate assistant, keduanya adalah mahasiswa graduate yang membantu tugas-tugas pengajaran dosen).

Kriteria lain sama seperti yang digunakan Asiaweek, yaitu persentase dosen penyandang gelar doktor. Di Amerika, umumnya pemegang gelar setingkat S-2 (Masters) tidak berhak menyandang status sebagai dosen tetap (disebut tenured professor) dan hanya bisa menjadi "dosen kontrakan" dengan sebutan instructor dan bukan "profesor". Patut dicatat, profesor di Amerika adalah gelar profesi, bukan gelar jabatan dengan besluit Presiden seperti di Indonesia. Pengakuan jenjang profesor diberikan oleh peer group, atau rekan-rekan seprofesi. Mereka inilah yang persentasenya dijadikan salah satu kriteria terpenting dalam menilai kualitas sebuah universitas. Dosen yang "hanya" bergelar setingkat S-2 belum dianggap dosen dan tidak boleh mengasuh mata kuliah secara independen.

Kriteria penting lain, yang juga diterapkan Asiaweek, ialah ratio antara pendaftar (calon mahasiswa) dengan jumlah yang diterima (enrollment). Makin tinggi rationya, berarti makin bergengsi universitas itu di mata lulusan SMU. Besarnya kelas rata-rata sering juga menjadi ukuran. Jika dibandingkan, mirip dengan perbandingan enrollment mahasiswa zaman Skalu atau Skasu di Indonesia pada tahun 1970-an, ketika calon mahasiswa (dan orangtuanya) masih bisa melihat angka-angka resmi perbandingan pendaftar dan yang diterima.

Yang terkesan aneh dari peringkat Asiaweek ialah kriteria yang menyangkut sumber daya keuangan. Dan tentu saja sangat berpengaruh terhadap kualitas pendidikan yang ditawarkan maupun dihasilkan. Tetapi, ia harus "diterjemahkan" dulu ke dalam komponen penunjang sistem pengajaran. Misalnya, untuk peralatan laboratorium dan sebagainya. Dana yang besar tidak akan ada gunanya tanpa alokasi yang tepat. Contoh paling mencolok di Indonesia, dana umumnya digunakan dengan visi untuk menjaring mahasiswa lebih banyak dan bukan diprioritaskan untuk peningkatan kualitas pengajaran. Berapakah universitas di Indonesia yang menyediakan ruang dosen lebih dari sekadar "kotak sabun"? Sementara itu, berapa yang gila-gilaan menambah ruang kuliah tanpa peduli dosennya bekerja di warung bawah pohon?

                                                         ***

Sistem peringkat universitas di Amerika terlalu kompleks untuk diuraikan hanya dalam se- buah artikel. Sistem tersebut telah dikembangkan selama puluhan tahun dan teruji oleh konsumen (calon mahasiswa maupun pengguna jasa alumni mereka) maupun dunia keilmuan itu sendiri berupa produk-produk ilmiah dan riset yang mendorong perkembangan sains, iptek, dan bahkan kebudayaan. Itu pun masih banyak loopholes atau lubang-lubang kelemahan karena kompleksitas struktur dan sistem universitasnya. Analoginya, tentu lebih sulit menerapkan parameter yang memuaskan untuk membandingkan UGM dengan Universitas Beijing, seperti yang di lakukan Asiaweek.

Yang kerapkali dilupakan dalam "membaca" rangking universitas di Amerika ialah bahwa peringkat umumnya disusun hanya pada jenjang undergraduate (S-1). Pada program sarjana (S-2 dan S-3 di Amerika disebut sama, graduate program), peringkat biasanya disusun per disiplin ilmu atau bidang keahlian. Misalnya, ada peringkat untuk Departments of Sociology, Political Science, program MBA, dan sebagainya. Sebuah universitas yang dalam peringkat umum hanya masuk kategori kelas dua bisa saja memiliki program graduate disiplin tertentu yang menduduki peringkat pertama dalam bidangnya. Program, S-3 lebih spesifik lagi, karena setiap bidang umumnya memiliki komunitas akademik yang mapan, dan anggotanya saling kenal. Karena itu, seorang kandidat doktor umumnya tidak ditanya "kuliah di mana" tetapi "siapa yang membimbing."

Dengan demikian, semakin tinggi jenjang strata di universitas, semakin tidak relevan sistem peringkat tersebut. Lebih tidak relevan lagi jika ditambah dengan fakta perkembangan fasilitas universitas yang paling mutakhir seperti komputer, sistem audio visual untuk teleconference (pengajaran jarak jauh), dan seterusnya. Sebuah contoh bisa dipetik dari fasilitas perpustakaan. Jumlah koleksi buku di jantung kehidupan kampus ini sepuluh tahun yang lalu masih menjadi salah satu kriteria terpenting bagi peringkat universitas. Kini, universitas yang dulu "kelas kambing" dan jelas tak mampu mengejar ketinggalannya dari universitas papan atas menerapkan strategi yang berbeda.

Arizona State University (ASU) bisa dipetik sebagai sebuah contoh. Selain pengembangan perpustakaan secara klasik dalam hal penambahan jumlah koleksi (hardcopy) buku, universitas ini mengembangkan sistem yang sangat efisien dan efektif bagi riset kepustakaan di sumber-sumber lain. Dengan diversifikasi dan spesifikasi koleksi berbagai universitas, seorang mahasiswa ASU bisa memperoleh literatur yang dicari di universitas lain lewat jaringan internet dan jaringan internal interlibrary loan hanya dalam waktu seminggu. Dengan demikian, jumlah hardcopy buku bukan lagi satu-satunya ukuran (bahkan tidak bisa dijadikan ukuran) sebuah perpustakaan lebih baik dari perpustakaan lain. Kesimpulannya, harus sangat berhati-hati dalam "membaca” hasil perbandingan seperti yang dilakukan Asiaweek.

Hermawan Sulistyo, pernah menjadi staf pengajar di Program for Southeast Asian Studies Arizona State University AS; kini tingal di Jakarta


Sumber: Kompas, 21 Juni 1997

KHOMEINI


Oleh: Goenawan Mohamad


Gajah mati meninggalkan gading. Khomeini pergi meninggalkan milik yang tak sekemilau gading: sepetak tanah, sebuah rumah tanpa perabot, sepotong sajak. 

Apakah definisi seorang besar? Orang besar adalah orang yang mampu mengatasi ruangan jiawanya sendiri yang hendak diimpit benda-benda, karena ia menghendaki suatu kebebasan yang lebih punya arti. Orang besar adalah orang yang bekerja untuk akhirat seperti ia akan mati besok, dan bekerja untuk dunia seperti ia akan hidup selama-lamanya – tapi bukan dengan keserakahan untuk dirinya sendiri. 

Bagaimanapun berbeda pandangan Khomeini dengan Gandhi dan Mao, ketiga orang ini punya satu hal yang sama: bagi mereka, cita-cita perubahan dunia adalah sesuatu yang teramat penting, yang begitu memukau, hingga milik dan kekayaan hanya terasa mengganggu. “Revolusi bukanlah sebuah jamuan makan,” kita ingat kata-kata itu. 

Manusia biasa, yang tidak berukuran besar, tak mampu untuk puasa panjang sekeras itu. Mereka tak mampu menanggung beban sebuah ide. Mereka mungkin ingin mengubah dunia, tapi sejauh mana, sepanjang kapan? Bagi orang kebanyakan, ikhtiar perubahan dunia pada suatu saat perlu jeda. Bagi orang seperti Khomeini, Mao, atau Gandhi, ikhtiar itu tak pernah selesai, kita hanya mengabaikannya beberapa kali. 

Sebab itulah orang kebanyakan kagum, gentar, ngungun, rebah, di bawah bayang-bayang orang besar. Mereka kalah stamina mental, mereka bertanya-tanya dari mana datangnya kekuatan dahsyat itu, lalu mereka tahu bahwa mereka memerlukan sosok luar biasa itu untuk mereka ikuti. Sering mereka menyerah dan taklid. Sering mereka mendapatkan ketenteraman yang tulus di tempat terlindung itu. 

Lalu pada suatu hari yang penuh ilham, akan datang sebuah ide: “Kita harus mengikuti tauladannya.” Dan ajaran-ajaran pun disusun, lalu disebarluaskan. 

Dari suatu krisis yang gawat, memang bisa lahir seorang pemimpin yang dituntut untuk jadi komplet: bukan hanya seorang pemimpin politik, bukan hanya seorang manajer kebersamaan, tapi juga sebuah mercu suar moral. 

Di dunia kini ada negeri-negeri yang terguncang oleh revolusi ataupun oleh  kelahiran diri yang mendadak. Di sana masa lalu dipatahkan, acapkali secara getas, dengan masa kini dan masa depan. Di negeri seperti itu ukuran-ukuran pun berseliweran, tabrak-menabrak. Dan orang gelisah, mengikuti ini mengikuti itu, dan mencari patokan perilaku. Tak mengherankan bila ide kepemimpinan komplet dengan cepat disambut. Gerakan “mengikuti jejak” dengan segera jadi gerakan pewejangan kebajikan, mobilisasi petuah dan penataran P-4. 

Disadari atau tidak, dengan itu semua kita menyusun sebuah dasar legitimasi tersendiri: para pemimpin, mereka yang berada di lapis atas kekuasaan, baru kita terima bila mereka mengekspresikan kemurnian moral. Di tahun 1950-an Bung Karno menghendaki “pemimpin-pemimpin yang jujur dan disegani”. 

Betapa bagusnya. Tapi dalam beberapa dasawarsa ini, kita, di negeri-negeri yang terguncang ini, toh bertambah tua dengan rasa kecewa dan sedikit arif. Kita kemudian tahu bahwa legitimasi kekuasaan yang bersandar pada moralitas adalah sebuah legitimasi yang belum selesai. Ia tak memadai. Ia bahkan punya kekacauannya sendiri. 

Moralitas seorang pemimpin memang bisa punya kekuatan: sebagai tauladan. Tapi mungkin cuma sampai di situ. Sebab, tak semua orang Iran adalah Khomeini, sebagaimana tak semua orang Cina adalah Mao dan tak semua orang India adalah Gandhi. Sebagian besar manusia, di mana pun, bukanlah orang-orang besar, yang jujur, mulia, berbudi. 

Maka, tatkala orang besar pergi, dan yang ditinggalkan adalah sebuah negeri yang kehilangan, kita pun insyaf betapa kita abai: kita tak menyiapkan suatu sistem yang sedapat mungkin bisa mengatur apa dan bagaimana sesuatu bisa disebut “jujur”, “mulia”, atau “berbudi”. Pendek kata: kita tidak mengembangkan dasar legitimasi itu dari moralitas menjadi hukum. “Hukum”, di sini, mau tak mau berarti hukum yang disepakati bersama secara sukarela. 

Tanpa itu, legitimasi yang ada hanya semu dan kacau. Tanpa itu, segala ketentuan bisa sangat tergantung hanya pada ketentuan moral yang diputuskan dari satu sisi. Kita mungkin juga akan lupa, selagi sibuk bicara tentang moralitas pemimpin, bahwa kekuasaan bukanlah hal yang “sepi ing pamrih”. Kekuasaan juga bisa mengandung kepentingannya sendiri. 

Demokrasi dengan hukum yang pasti karena itu perlu. Hidup tak cukup dengan orang besar se-Khomeini. 

Goenawan Mohamad

Sumber: (TEMPO, “Catatan Pinggir”, No. 7, Tahun XIX, 24 Juni 1989)


Minggu, 22 Juni 2025

SIUPP


Oleh: Goenawan Mohamad

(TEMPO, No. 17, Tahun XXI-22 Juni 1991)


Pers bukan lembaga suci. Ia bisa bikin kesalahan. Dan penerbit serta wartawan bukan manusia yang sepi ing pamrih.


Dalam hal itu, pers tak berbeda sebenarnya dengan lembaga lain, termasuk pemerintah. Yang kemudian jadi soal ialah ketika pers dianggap punya daya pengaruh yang sangat besar. Pemerintah juga sebenarnya demikian. Tapi bila hak pemerintah untuk "kuat" tak pernah dimasalahkan, hak pers untuk berpengaruh cenderung dianggap berbahaya.


Sebab itulah dianggap perlu adanya kontrol terhadap pers, baik dengan aturan, anjuran, maupun juga kekuasaan yang efektif, misalnya larangan terbit. SIUPP adalah salah satu bentuk kontrol.


Tentu harus kita ingat, bukan cuma Departemen Penerangan yang menghendaki adanya SIUPP. Surat izin ini lahir juga dari keinginan para penerbit sendiri: mereka ingin agar kompetisi (khususnya dalam segi komersial penerbitan) diatur, hingga tak terjadi "persaingan bebas". Suatu free fight dikhawatirkan akan mengakibatkan yang kuat akan bertambah kuat, yang lemah habis. Hasilnya: oligopoli.


SIUPP dengan demikian adalah hasil pertemuan kepentingan pemerintah dan kepentingan penerbit – tegasnya para pemilik modal yang menghendaki sejenis proteksi.


Sebab itulah ketika DPR mengundang para pemimpin redaksi dalam suatu dengar pendapat pekan lalu, di sana tak ada yang mengatakan bahwa SIUPP tidak diperlukan. Yang dipersoalkan ialah bisakah dan bagaimana lisensi itu dicabut kembali oleh pemerintah.


Pertama-tama, soalnya adalah soal kepastian hukum. Pemimpin Redaksi Media Indonesia, Teuku Yousli Syah, dalam dengar pendapat di DPR itu dengan jelas menunjukkan bahwa Peraturan Menteri Penerangan yang memberi wewenang kepada pemerintah untuk membatalkan SIUPP "merupakan negasi" terhadap pasal-pasal Undang-Undang No. 21 tahun 1982. Dalam salah satu pasal undang-undang itu disebut jelas bahwa "terhadap pers nasional tidak dikenakan sensor dan pembredelan".


Itulah sebabnya Yousli Syah "dengan hormat" memohon peraturan menteri itu dicabut. Ia mengulangi imbauan Dewan Kehormatan PWI yang diumumkan Juli 1987, agar PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) dan SPS (Serikat Penerbit Suratkabar) mengupayakan setidaknya peninjauan kembali peraturan menteri yang tidak cocok dengan undang-undang itu. 


Memang ada yang mengatakan bahwa karena SIUPP adalah sesuatu yang diberikan, ia juga sesuatu yang bisa dicabut kembali. Masalahnya kemudian: dengan alasan apa sebuah pencabutan SIUPP dilakukan? Sudah sedemikian berbahayakah akibat isinya bagi keadaan, hingga SIUPP Monitor, misalnya, dibatalkan? Bagaimana ketika Sinar Harapan dan Prioritas sebelumnya menerima hukuman serupa?


Entahlah. Jatuhnya hukuman yang seperti itu – yang mematikan hak hidup seluruh usaha sebuah penerbitan – berlangsung praktis tanpa cukup pembuktian, sebab tak ada proses pembuktian. Tak cukup pula perbandingan antara, misalnya, "kejahatan" Prioritas dan "kejahatan" Monitor, meskipun hukumannya sama.


Terlebih lagi, si tersangka tak diberi kesempatan membela diri, apalagi secara terbuka. Kabarnya, ada sidang Dewan Pers (yang ketuanya Menteri Penerangan, dan anggotanya ditunjuk oleh pemerintah) untuk memutuskan dicabutnya sebuah SIUPP. Tapi jika sidang itu memang ada, sifatnya tertutup.


Bahkan tak jelas benar siapa yang seharusnya jadi tersangka: sang penanggungjawab atau si penulis berita yang bikin perkara. Karena akibat hukuman mengenai langsung seluruh karyawan, yang tersangka mungkin bahkan lembaganya. Ibaratnya seluruh anggota Fraksi di DPR direcall gara-gara salah omong seorang anggotanya. Itulah bedanya pers dengan ABRI: pelanggaran bukan dianggap perbuatan "oknum", melainkan oleh lembaga. 


Nampaknya jelas: ada ketidakadilan dalam proses itu, dan ada bahaya kesewenang-wenangan oleh siapa saja yang punya kuasa dalam prosedur pemberian hukuman mati (pencabutan SIUPP) yang dipraktekkan selama ini.


Banyak yang menyorot sebuah ayat, disebut ayat "H" dalam Peraturan Menteri Penerangan yang diminta untuk dicabut itu. Ayat itu menyebutkan alasan kenapa sebuah SIUPP bisa dibatalkan oleh pemerintah: bila "penyelenggaraan penerbitannya tidak lagi mencerminkan kehidupan pers yang sehat, pers yang bebas dan bertanggung jawab . . . .”


Apa kriteria "bertanggung jawab" itu, gugat Aldirsyah, pemimpin redaksi Merdeka. Tak mudah menjawabnya. Si Pulan akan menafsirkannya lain dari si Badu. Maka Purnama Kusumaningrat, pemimpin redaksi Pelita, menyebut ayat itu sebagai contoh "pasal-pasal karet": tafsirannya bisa seenaknya dijereng ke sana kemari.


Soalnya kemudian, seperti dikatakan Sutarno dari Suara Pembaruan, "Siapakah yang berwenang untuk menentukan interpretasi atau penilaian yang benar?" Dan berhakkah pemerintah mengasumsikan untuk dirinya sendiri suatu asas infalibilitas seperti Paus bagi Gereja Katolik?


Saya kira pemerintah belum, dan memang tak punya hak, menganggap dirinya tak-pernah-dan-tak-akan pernah-bersalah. Meskipun begitu, tak ada "peradilan banding" setelah vonis hukuman-mati SIUPP dijatuhkan. Jika ada rasa ketidakpastian, bahkan ketakutan, di kalangan pers karena itu, memang bisa dimengerti.


Apalagi jika rasa tak pasti itu tak cuma menyangkut SIUPP, tapi juga keselamatan diri. Ibu Ani Idrus dari Waspada dengan terus terang menceritakan bagaimana ketakutannya para wartawannya di Medan untuk menulis, dari soal pengacauan di Aceh kini sampai dengan pencurian kayu, yang dibeking oleh "oknum berseragam".


Pemerintah tentu senang bila pers ketakutan. Pers jadi jinak dan membebek. Yang tak disadari ialah bahwa dari orang yang ketakutan, Tuan tak akan mendengar ketulusan, melainkan suatu distorsi. Tuan tak akan tahu, apakah pujian si takut merupakan pujian yang benar atau cuma penjilatan.


Dalam ketakutan, pers bukan saja sebuah lembaga yang bisa bikin salah, tetapi sebuah lembaga yang sengaja salah. Arthur Miller pernah mengatakan, sebuah surat kabar yang baik adalah sebuah bangsa yang berbicara kepada dirinya sendiri. Kita bisa mengatakan sebuah surat kabar yang ketakutan adalah sebuah bangsa yang berbohong kepada dirinya sendiri.


Sumber: TEMPO, No 17, Tahun XXI-22 Juni 1991

Sabtu, 21 Juni 2025

INTELEKTUAL DALAM PUSARAN KEKUASAAN


Oleh: Airlangga Pribadi Kusman


Ketika gelanggang politik dan ranah sosial dikepung kekuatan emosi dan amarah, sementara lalu lintas informasi dalam ruang publik dipadati oleh kabar bohong, maka bangunan administrasi pemerintah yang baru membutuhkan kejernihan akal budi. Sesuatu yang kerap terjadi, ketika panggung politik elektoral pilpres usai, perbincangan publik yang mengedepan adalah siapa saja yang duduk dalam kabinet mendatang.

Ada hal lain yang tak kalah penting untuk dipertimbangkan, siapakah barisan intelektual yang berada di sekeliling presiden, bagaimanakah perspektif pengetahuan mereka, dan peran apa yang akan dijalankan untuk membantu presiden menavigasi negara selama lima tahun ke depan.

Untuk kasus Indonesia saat ini, kebutuhan presiden untuk ditemani kalangan intelektual yang paham imajinasi sosiologis didasari pengalaman periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), di mana kita menyaksikan sesuatu yang paradoksal. Pesatnya capaian pembangunan dan program pemerintahan berbanding terbalik dengan melemahnya tatanan sosial yang berpijak pada komitmen atas nilai-nilai demokrasi dan kewargaan.

Pada satu sisi, kabinet Jokowi berhasil menjalankan berbagai capaian pembangunan yang luar biasa, mulai dari pembangunan infrastruktur, pelayanan publik, hingga pemberantasan korupsi.

Meski demikian, pada sisi lainnya kita melihat berbagai guncangan politik, mulai dari pertarungan identitas dalam bingkai Pancasila versus khilafah yang ekskalasinya semakin menguat, penanganan konflik yang bercorak illiberal democracy (formalisme demokrasi dengan pengabaian hak-hak sipil-politik), hingga protes sosial atas kebijakan pemerintah yang kurang memberikan ruang komunikasi bagi mereka yang berada pada kondisi paling rentan tergilas oleh pesatnya laju pembangunan.

Peran intelektual 

Ada sebuah asumsi common sense yang tidak tepat terkait dengan bagaimana peran intelektual ketika masuk dalam pusaran kekuasaan. Dalam pemahaman umum, setelah intelektual masuk ke pemerintahan, peran sosialnya berubah. Mereka tidak lagi bicara dalam kapasitasnya sebagai intelektual publik untuk memahami dimensi-dimensi sosial makro yang terdalam dari sebuah realitas sosial, tetapi lebih disibukkan dengan persoalan teknis administratif ke pemerintahan.

Pandangan seperti ini tak benar, intelektual dalam pusaran kekuasaan dibutuhkan untuk memberikan navigasi wawasan sosial yang lebih luas tentang apa pengaruh situasi sosial masyarakat bagi proses penyeleng- garaan negara, dan apa efek sosial yang terjadi di masyarakat dari setiap pertarungan kekuasaan, negosiasi politik dan kebijakan yang diambil.

Etos intelektual publik dalam pusaran kekuasaan harus tetap dirawat, seperti diutarakan Michael Burawoy (2004) sebagai public sociology, yakni komitmen pengetahuan dari kalangan intelektual untuk mengabdikan ilmunya bagi kesehatan kehidupan civil society, social engagement, dan political activism.  

Peran intelektual dalam lingkaran presiden mensyaratkan daya nalar seperti diutarakan C Wright Mills (1959) dalam The Sociological Imagination, kapasitas untuk memahami dan menyampaikan terkait bagaimana problem yang terlihat di permukaan adalah dimensi kultural personal, secara substansial terkait dengan problem sosio historis dan struktural.

Contohnya bagaimana partisipasi sosial dan memperbesar ruang penerimaan menjadi kunci bagi solidaritas sosial bukan eksklusi dan peminggiran; bagaimana persoalan ketimpangan sosial tidak hanya memengaruhi sisi ekonomi, tetapi juga membentuk bangunan budaya di masyarakat terkait dengan etos kehendak kolaborasi atau menajamnya pembelahan sosial dan fanatisme.

Belajar dari sejarah 

Belajar dari sejarah negeri lain, salah satu contoh kolaborasi antara pemimpin negara dan intelektual di AS muncul di era kepemimpinan Franklin Delano Roosevelt (1933-1945). FDR maju ke tampuk presiden diawali dengan sesuatu yang tak biasa dilakukan para pendahulunya. FDR lebih memercayai kalangan intelektual publik seperti akademisi, jurnalis, aktivis sosial dan budayawan (bukan industrialis dan pengusaha besar) sebagai pembisik dan orang-orang terdekatnya.

Tim penasihat yang kemudian terkenal dengan nama FDR Brain Trust. Di antara mereka yang brilian adalah beberapa ekonom dan akademisi ilmu politik dan hukum, seperti Raymond Molley, Rexford G Tugwell, serta Charles Edward Mirriam. Seperti diuraikan HW Brands (2008) dalam Traitor to His Class, FDR dengan program New Deal berhasil menyelamatkan perekonomian kapitalisme Amerika Serikat dari krisis sosial dengan mengabdikan kekuasaan pada kalangan marjinal dan miskin dan meminimalkan intervensi kaum oligark dalam pemerintahan.

Menariknya, skema kebijakan social welfare berjalan dengan kemampuan membangun dan menjaga solidaritas sosial konsensus politik lintas partai dari warganya.

Salah satu contoh lain dari kemitraan antara presiden dan intelektual adalah masa kepemimpinan singkat 1.000 hari (1961-1963) John Fitzgerald Kennedy. Kennedy yang dikenal sebagai bukan saja politisi senator, melainkan juga pemimpin yang berasal dari lingkaran intelektual mengetahui betul peran kalangan intelektual dalam pemerintahan. 

Untuk itu, ia memastikan agar the brightest minds of America menjadi penasihat sosial dan politiknya. Beberapa nama penting, seperti sejarawan Arthur M Schlesinger Jr, Ted Sorensen, dan ekonom John Kenneth Galbraith, menjadi orang-orang kepercayaan JFK. 

Mereka bekerja dengan komitmen etis memperbaiki kehidupan publik dan memberi peta sosial persoalan kepada Presiden JFK. Tugas intelektual progresif di sekitar presiden, memberikan ruang-ruang saluran komunikasi agar kaum aktivis politik, intelektual publik, akademisi progresif dapat membangun saluran komunikasi dengan Gedung Putih, dan memastikan bahwa arah kebijakan negara sejalan dengan tujuan-tujuan progresif dari para pendukungnya.

Dalam masa singkat kepresidenan Kennedy, ia memberikan berbagai reformasi sosial penting, mulai dari inisiasi penyelesaian rasialisme di AS, perubahan kebijakan luar negeri untuk membantu negara berkembang memerangi kemiskinan lewat program Alliance for Progress, dan penguatan berbagai kebijakan welfare state.

Kembali ke Indonesia, periode pertama kepemimpinan Jokowi memperlihatkan keberhasilan kepemimpinannya untuk-melakukan percepatan pembangunan, tetapi kurang berhasil membangun arsitektural politik dan suasana sosial yang kondusif. Inilah saatnya ketika tuntutan dan tekanan politik tidak lagi menjadi beban elektoral, lingkaran intelektual di sekitar presiden perlu memberikan horizon intelektual dan lebih memberikan perhatian terhadap persoalan sosiologis dari masyarakat. Dengan demikian, komunikasi politik ke depan tak hanya berpusat pada pencitraan politik ataupun imaji advertorial yang banal dan dangkal.

Airlangga Pribadi Kusman, Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga

Sumber: Kompas: 20 Juni 2019

TERBARU

MAKALAH