alt/text gambar

Rabu, 25 Juni 2025

Topik Pilihan:

Tulisan dan Bacaan Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka, Sempit

Rizal Mallarangeng


Oleh: Rizal Mallarangeng 


Sumbangan Goenawan Mohamad (GM) pada pandangan kebangsaan saya kira bukan pada konsep. Tapi yang ada suasana hati. Framing. Ada metanaratif di situ: solidaritas sosial. Pentingnya solidaritas sosial. Pentingnya kebebasan. Ini kan tradisi panjang kaum penulis, apalagi seniman. Dikatakan atau tidak dikatakan, kebebasan, creativity, itu menjadi metanaratif yang kita bisa temui di balik semua tulisannya.

Jadi, pertanyaannya adalah apa sebenarnya nilai-nilai yang paling banyak atau paling mendominasi berbagai tulisan itu. Jawabannya: kebebasan, solidaritas sosial, nilai-nilai yang manusiawi, yang gampang tersentuh pada nasib orang yang menderita. Jadi, bukan teori, tapi attitude, atau frame, cara pandang. Saya, karena saya lahir dari tradisi ilmu sosial, saya akan sebut itu sebagai metanaratif, sebagai nilai-nilai dasar yang membentuk seseorang. Nah, pedangnya adalah “Catatan Pinggir”-nya. Tetapi, apa yang dia inginkan dengan pedang itu, bagaimana dia melihat realitas, it is driven by the fundamental ideas. 

Penulis seperti ini itu sangat mahal untuk kebudayaan Indonesia modern. Kenapa? Kita tak punya banyak. Jangankan sekarang. Dulu juga tak banyak. Betapapun kita kagum pada pemimpin bangsa kita—semua punya jasa; Hatta, Sjahrir, misalnya, dan penyair-penyair sastrawan Pujangga Baru tahun 1930-an bagus sumbangannya tentang “bertukar tangkap dengan lepas”—tapi dari segi keilmuan dan pengetahuan mereka terbatas. Mungkin kondisinya terbatas. Selain Sukarno ya. Sukarno bacaanya sangat luas dan dia mampu distillation of the ideas. 

Orang seperti Hatta dan Sjahrir, betapapun bagusnya peran mereka, saya menghargai itu, tapi tulisan-tulisan dan bacaan mereka menurut saya sempit. Apalagi Tan Malaka. Tan Malaka itu bagus sebagai aktivis. Dia sangat jelek sebagai pemikir. Tidak matang. Pengendapan mereka, karena bacaan yang tidak terlalu luas—misalnya tulisan Bung Hatta tentang sejarah pemikiran Yunani—sangat elementer. 

Bangsa kalau mau besar, kalau mau bangga menjadi—ini kan Surat Kepercayaan Gelanggang—ahli waris, pewaris dunia, yang berbicara dengan bahasa kita sendiri, dengan cara kita sendiri, harus membuat keluasan berpikir yang bagus. Jiwanya juga bagus. Dengan pengalaman yang terasah. Bahasanya indah dan enak didengar. Goenawan sudah memberi contoh. 

Soal aktivisme Goenawan juga tidak kurang. Saya ingat waktu Tempo dibredel. Saya pulang penelitian tahun 1996. Goenawan dengan kopiahnya kaya Bung Karno, miring sedikit, berteriak: Kemerdekaan Tempo! Saya senang melihat momen itu (sidang kasasi pembredelan Tempo). Itu kan dekat dengan Istana Merdeka, di Mahkamah Agung. Kita ingat sejarah istana Merdeka, bagaimana Sukarno, pakai peci, pidato di teras itu, pidato tentang pengakuan kedaulatan. 

Ada mbok-mbok, tukang becak, segala macam. Pertama kali merah putih, sang dwiwarna, berkibar. Itu kan mengharukan. Dan, itu kan cuma berjarak 200 meter dari tempat Goenawan Mohamad di tangga itu pakai peci miring-miring dikit. Nah, bangsa itu kan harus punya yang gini-ginian kalau mau besar. Bangsa Indonesia itu harus punya momen-momen, penulis-penulis, kekayaan yang bisa mencapai kedalaman itu. 

Sumber

Rizal Mallarangeng dalam Wawancara dengan Andy Budiman, "The Distiller of Life", dalam Ayu Utami (ed), Membaca Goenawan Mohamad, Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2022, h. 8-9.

0 komentar:

Posting Komentar