alt/text gambar

Senin, 22 Juni 2015

Topik Pilihan:

Tentang Agama Kong Hu Cu


Oleh: Nurcholish Madjid


    Untuk melengkapi tema mengenai hubungan antaragama, kiranya perlu juga disinggung mengenai Kong Hu Cu. Sebab, beberapa waktu lalu ada polemik yang cukup panjang, bahkan keras, yang mempersoalkan Kong Hu Cu itu agama atau bukan. Memang, ada kemungkinan—jadi tidak bisa dipastikan—bahwa orang-orang seperti Confusius dan Lao Tse itu adalah nabi. Almarhum Buya Hamka bahkan langsung mengatakan bahwa Lao Tse itu nabi. (Maka dari itu, Cina-Cina Muslim di Pasar Baru, misalnya, sampai sekarang menamai masjid mereka itu Masjid Lao Tse.) Dan, Abdul Hamid Hakim dari Padang Panjang, seorang tokoh Thawalib itu, menulis buku yang mengatakan bahwa agama Kong Hu Cu itu termasuk agama langit (samawi) karena mempunyai kitab suci, bahkan juga agama Hindu dan Buddha (‘Abd al-Hamid Hakim, al-Mu’in al Mubin, 4 Jil. [Bukittinggi: Nusantara, 1955 M/1374 H], Jil. 4. Hal. 48.)

   Ada satu pengalaman historis yang berkaitan dengan ini, dan yang paling banyak direkam, yaitu ketika di zaman ‘Umar ibn Khaththab, Parsi jatuh ke tangan orang Islam dan kemudian ‘Umar tidak tahu bagaimana memperlakukan orang-orang Majusi atau kaum Zoroaster. Maka dikumpulkanlah para sahabat Nabi saw di Madinah dan beliau mengatakan, “Saya tidak tahu memperlakukan orang-orang Majusi ini, disebut Ahl-u ‘l Kitab seperti orang Kristen dan Yahudi, saya tidak tahu apakah mereka mempunyai kitab suci? Tetapi, dikatakan musyrik seperti orang Makkah dulu, juga tidak, karena mereka jelas beragama.” Mendengar itu, ‘Ali ibn Abi Thalib mengacungkan tangan dan berkata, “Wahai ‘Umar, puji Tuhan aku telah mendengar Nabi mengatakan ‘perlakukan mereka sebagai Ahl-u ‘l Kitab’”. Jadi, kaum Zoroaster itu adalah Ahl-u ‘l Kitab dan kita ketahui bahwa Zaratustra memang mempunyai kitab suci dan dia mengaku sebagai nabi.

   Dalam al-Qur’an dikatakan bahwa Tuhan mengutus seorang nabi pada setiap umat manusia, “Sungguh telah Kami bangkitkan pada setiap umat manusia itu seorang rasul—utusan.” (Q., s. Al-Nahl/16: 17; juga s. Fathir/35:24; dan s. Al-Ra’d/13: 7). Umat, by definition, adalah sekumpulan manusia. Karena itu, kalau di Jawa ada sekumpulan manusia, maka di situ ada nabi. Tetapi, jangan harap namanya nabi, sebab nabi itu bahasa Arab dan bahasa Ibrani yang artinya orang yang mendapat berita. Yaitu, berita dari alam gaib yang kemudian menjadi kepercayaan karena umumnya bersifat non empirik, seperti hidup sesudah mati yang tidak bisa dibuktikan secara empiris dan karenanya kita mengetahuinya hanya dari berita, maka kemudian menjadi masalah iman. Nah, nabi yang di Jawa itu tidak masuk dalam al-Qur’an, karena dalam konteks kultural orang Arab waktu itu akan terasa asing, dan dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa “Tuhan tidak pernah mengutus seorang rasul kecuali dalam bahasa kaumnya.” Yang dimaksud dengan bahasa kaum itu tidak hanya bahasa linguistik berupa ucapan yang terdiri dari huruf-huruf seperti ABC dan sebagainya, tetapi juga bahasa kultural, the mode of thinking, termasuk pula kosmologi.

   Kalau al-Qur’an sudah memuat seseorang yang bernama Kong Hu Cu, orang Arab waktu itu tentu akan bingung. Oleh karena itu, cukup yang dikenal saja, yaitu (nabi) Yahudi dan Kristen; paling-paling secara ekstensif disebut juga sepintas lalu kaum Majusi dan kaum Sabean. Tetapi, bagi umat Islam ada kewajiban untuk mempercayai semua nabi, dan al-Qur’an menyatakan bahwa para nabi itu “sebagian diceritakan dalam al-Qur’an dan sebagian tidak.”

   Memang ada sinyalemen-sinyalemen yang kurang positif mengenai Kong Hu Cu, misalnya bahwa Kong Hu Cu adalah satu jenis agama atau paham yang sulit diintegrasikan di Indonesia. Tetapi, persoalan yang sebenarnya adalah how to transcendend our selves above the dictation of political, social, cultural, and history. Itu saja.


Nurcholish Madjid
Cendekiawan Muslim


Sumber:
Tulisan Nurcholish Madjid ini saya (Nani Efendi) salin dari Pengantar buku Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus A.F. (ed), Passing Over: Melintasi Batas Agama, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Bekerjasama dengan Yayasan Wakaf Paramadina, 1998, h. xxx, xxxii, dan xxxiii.

Photo: Gus Dur, Cak Nur dan KH Ahmad Siddiq. A rare great moment of Indonesian great teachers!






0 komentar:

Posting Komentar