-
Oleh: Nani Efendi
Sepulang dari Singapura beberapa waktu lalu, saya berbincang-bincang via handphone dengan seorang sahabat. Dalam perbincangan itu, ia menceritakan perihal politik Kabupaten Kerinci akhir-akhir ini, khususnya menjelang pilkada 2018. Intinya: ia merasa lucu sekaligus juga geram melihat berseliwerannya “manusia-manusia pengumbar syahwat kekuasaan”, yang tak layak dan tak pantas dijadikan teladan, tapi punya nafsu yang menggebu-gebu untuk bertarung sebagai bupati di pilkada mendatang. Sementara sahabat saya itu mendambakan pemimpin yang jujur, amanah, dan benar-benar punya keberpihakan pada perbaikan nasib masyarakat yang lemah: bukan yang hanya bisa mengandalkan jabatan, popularitas, kekayaan, dan garis keturunannya saja.
Saya katakan padanya: selama
masyarakat itu sendiri masih suka disuap oleh para—meminjam istilah Pramoedya
Ananta Toer dalam roman Bukan Pasarmalam—“badut-badut
pencuri untung”, maka selama itu pula kita sulit menemukan kepala daerah yang baik. Dan selama itu pula masyarakat
terus dikibuli oleh para cukong-cukong berjiwa mafia.
Titanic
Setelah pembicaraan itu, saya
teringat tulisan yang baru saya baca: tulisan Goenawan Mohamad (sering juga
disingkat GM) dalam “Catatan Pinggir”-nya di Majalah Tempo berjudul “Titanic”. Mantan Pemred Majalah Tempo itu menulis: “Ketika di bulan April 1912, kapal Titanic
pelan-pelan tenggelam di laut dingin di tengah malam. Para penumpang kelas satu
berusaha berebut tempat di sekoci penyelamat. Sejumlah kelasi mencegah mereka
dengan menodongkan senjata, karena menurut aturan anak-anak dan perempuanlah
yang harus diberi tempat lebih dulu. Adegan yang tampil dalam film James
Cameron itu memberikan kesan betapa orang-orang di kelas atas itu adalah mereka
yang tak punya rasa belas kasihan dan tak bisa mengalah.”
Tapi separuh adegan dalam film Titanic adalah fiksi. “Versi lain
mengatakan,” lanjut GM, “bahwa kejadian yang sebenarnya dalam tragedi Titanic
justru sebuah kisah kepahlawanan orang-orang di kelas atas. Dikatakan bahwa
dalam daftar malapetaka Titanic itu ada John Jacob Astor, Benjamin Guggenheim,
dan Isidor Straus, orang-orang kaya Amerika terkemuka, sedangkan yang selamat
justru mereka yang berasal dari kalangan bawah dalam hal status sosial.
Benjamin Guggenheim, misalnya, menolak ikut masuk ke dalam sekoci. Ia memberi
tempat kepada seorang perempuan yang kemudian memang selamat."
Dari tragedi Titanic itu dapat
kita tarik pelajaran: bahwa “selapis elite bukanlah dengan sendirinya adalah
sekelompok orang yang hanya mujur dan mendapat.” Bukan didapatkan dengan
gampang tanpa perjuangan sosial dan kemanusiaan. “Pengertian noblesse oblige tak datang dari
angan-angan, bahwa siapa saja yang memiliki privilese dan berkuasa justru wajib
untuk siap memberikan diri bagi kepentingan umum dan terutama untuk nasib
mereka yang lemah,” kata GM.
“Bagaimana datangnya
kepemimpinan, dan tumbuhnya noblesse
oblige?” Memang, tragedi Titanic, kata GM, “tak mencerminkan sebuah code of honour atau patrap kehormatan
kalangan atas.” Tapi, dan
saya setuju dengan GM, yang harus diingat: “pengertian ‘elite’ tak hanya melulu
urusan status, tapi juga berbicara tentang nilai-nilai yang mencerminkan rasa
bangga pada keluhuran diri.”
Dalam sejarah Republik, kita
punya banyak contoh: sebut saja Tirto Adhi Surjo, Bung Karno, Tjipto
Mangunkusumo, misalnya. Mereka datang dari kalangan priyayi Jawa, namun
memberikan diri dan berjuang untuk nasib rakyat bawah. Bung Hatta juga dari
kalangan keluarga terpandang di Bukittinggi. Tapi status kepahlawanannya bukan
ia warisi dari garis keturunannya itu. Ia justru dihormati dan berstatus “elite negarawan” karena ia memang
telah berjuang dan mewakafkan diri dan jiwanya untuk perbaikan nasib orang banyak di
Republik ini.
Masih punya harapan
Kisah kepahlawanan orang-orang di
kelas atas dalam tragedi Titanic tak banyak diketahui orang. Tak terkecuali di
Kerinci juga—Kabupaten paling barat di Provinsi Jambi itu. Menjelang pilkada
2018, bermunculan wajah-wajah manusia yang siap berjibaku berebut mandat
rakyat, dari yang baik sampai kepada yang pura-pura baik: ada yang terlihat
lugu, yang berpenampilan terdidik, yang sok dermawan, sok pahlawan, sok alim,
dan entah apa lagi. Ada juga yang terus memanfaatkan jabatan yang masih tersisa padanya dengan terus melakukan
pencitraan, mencari simpati publik. Dan ada pula kalangan yang berusaha mencari
dukungan politik dengan cara mengaitkan figur dengan figur berdasarkan hubungan darah dan garis
keturunan. Dalam wacana politik kontemporer disebut: politik dinasti.
Tapi kembali kita ke kisah
Titanic di atas, dan itu yang penting kita pertanyakan kini: adakah di antara
mereka-mereka yang menginginkan “mandat rakyat” itu telah memberikan diri
mereka bagi kepentingan umum dan terutama untuk nasib masyarakat yang miskin dan
lemah? Atau jangan-jangan mereka adalah bagian dari badut-badut pencuri untung
yang selama ini ikut juga mengibuli masyarakat? Karena status sebagai “elite”
tidak melulu urusan “nasib mujur, faktor warisan, kekayaan finansial, dan
keturunan”, tapi yang lebih penting: nilai-nilai kepahlawanan dan keluhuran
budi. Dan apakah mereka-mereka yang karena faktor “nasib mujur”—yang bisa
dengan gampang mendapatkan kekayaan melimpah dari “bermain” proyek-proyek
pemerintah, misalnya—lantas dengan begitu saja kita anggap layak menjadi
bupati, memimpin masyarakat banyak? Tentu kita tak boleh sebodoh dan segoblok
itu.
Kita semua menginginkan perubahan
yang berarti. Pilkada 2018 adalah salah satu momen untuk itu. Memang tak
gampang mencari pemimpin yang baik. Karenanya, masyarakat harus terus berjuang “menciptakan” pemimpin-pemimpin yang baik. Tak mudah, memang. Tapi setidaknya kita masih
punya harapan untuk membangun kehidupan sosial yang lebih baik dan berkeadilan.
Karena, kata Reinhold Niebuhr (1892-1971) seorang teolog berkebangsaan Amerika
Serikat, "The sad duty of politics
is to establish justice in a sinful world; Tugas sedih politik adalah
menegakkan keadilan di dunia yang berdosa."
30 April 2017
Nani Efendi, Alumnus HMI
0 komentar:
Posting Komentar