» Kamis, 22 April 2010 00:55, Oleh: Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M. Si, Kategori: RektorHit: 1811
Beberapa waktu lalu ada pertemuan pimpinan PTAIN se-Indonesia di IAIN Sunan Ampel membahas Peraturan Menteri Agama Nomor 36 Tahun 2009 tentang gelar akademik bagi lulusan PTAI. Peraturan Menteri itu mengundang reaksi dari banyak pihak yang merasa dirugikan, terutama Fakultas Syariah dan Ushuluddin, karena gelar bagi lulusan dua fakultas itu diubah. Selama ini Fakultas Syari’ah mengukuhkan alumninya sebagai Sarjana Hukum Islam dengan gelar akademik SHI, sedangkan Fakultas Ushuluddin dengan gelar Sarjana Theologi Islam (STh. I).
Lewat Peraturan Menteri Agama gelar lulusan Fakultas Syari’ah diubah menjadi S.Sy (Sarjana Syariah) dan gelar lulusan Fakultas Ushuluddin menjadi (S.Ud). Padahal, selama ini gelar akademik itu tidak ada masalah dan banyak di antara alumni sudah diterima di berbagai instansi, baik negeri maupun swasta dengan menyandang gelar itu. Artinya, gelar itu sudah diterima publik dan penyandangnya sudah merasa nyaman dengan gelar itu. Karena itu, perubahan gelar itu dianggap merugikan karena mengusik ketenangan dan bagi sebagian orang terdengar kaku.
Alumni Fakultas Humaniora juga mengalami perubahan gelar menjadi S.Hum. Padahal, ketika alumni Humaniora dan Budaya UIN Malang dulu diberi gelar S.Hum, mereka tidak bisa diterima melamar pekerjaan formal. Gelar S.Hum tidak dikenal bagi lulusan S1. Akhirnya, gelar itu diubah menjadi SS (Sarjana Sastra). Sekarang lewat Peraturan Menteri Agama itu gelar itu dikembalikan lagi menjadi S.Hum. tetapi sampai saat ini mahasiswa Fakultas Hukmaniora dan Budaya kelihatan tenang-tenang saja. Reaksi keras berupa penolakan muncul dari Fakultas Syari’ah dan Ushuluddin seperti telah disebutkan di atas .
Jika alasan penolakannya karena gelar itu terdengar kaku, maka masalahnya karena belum terbiasa saja. Ini mengingatkan saya pada peristiwa perubahan gelar alumni beberapa fakultas di Perguruan Tinggi Umum. Dulu ketika alumni Fakultas Ekonomi diberi gelar SE (sebelumnya Drs.), alumni Fakultas Hukum diberi gelar SH (sebelumnya Drs.), dan alumni Fakultas Teknik diberi gelar ST (sebelumnya Ir.), juga ada yang mempersoalkan karena gelar itu tidak keren. Tetapi toh akhirnya gelar itu memasyarakat dan tidak ada persoalan. Lama kelamaan, pemegangnya juga merasa nyaman dengan gelar itu. Misalnya, Andi Rahman, SE., Siti Markamah, SH., Indayana, ST.dan sebagainya.
Jika persoalannya karena gelar baru itu dianggap tidak menggambarkan kompetensi akademik penyandangnya, maka reaksi penolakan gelar itu bisa dipahami. Misalnya, dengan bergelar S.Sy apa lulusan Fakultas Syariah semakin merasa percaya diri karena S.Sy menggambarkan kompetensi akademik seorang lulusan syariah? Begitu dengan gelar S.Ud, misalnya, apa gelar itu cukup merepresentasikan kompetensi akademik pemegangnya?. Jika gelar S.Sy dan S.Ud menghilangkan substansi kompetensi akademik penyangdangnya, maka penolakan itu bisa diterima akal sehat.
Tampaknya, bagi masyarakat kita gelar akademik bukan persoalan sederhana. Ia tidak saja merupakan simbol akademik, tetapi juga simbol sosial. Orang yang punya gelar banyak dianggap memiliki kemampuan lebih dari yang tidak punya gelar. Karena itu sehebat apapun seseorang jika tidak punya gelar dan pendidikan formal, dia akan kesulitan memperoleh pekerjaan formal untuk, misalnya, menjadi pegawai pemerintah. Akhirnya, orang lebih giat berburu gelar ketimbang tanggung jawab akademik di balik gelar yang dimiliki. Menjelang Pilkada di berbagai daerah saat ini banyak calon pemimpin daerah dengan sederet gelar baik di depan maupun di belakang namanya. Misalnya, Drs. H. …., SH, S.Pd, MM, M.Pd, MH. Kita bisa bertanya kapan dan bagaimana seseorang bisa memperoleh gelar sebanyak itu dalam waktu singkat.
Konon orang sehebat Abdurrahman Wahid (Gus Dur -- almarhum) ditolak melamar menjadi pegawai negeri karena tidak memiliki gelar akademik dan ijazah pendidikan formal. Makanya, seumur hidup Gus Dur tidak pernah berstatus sebagai pegawai negeri. Ini tentu tidak sehat dan menggambarkan masyarakat yang belum mapan. Banyak orang pintar di negeri ini, tetapi mereka tidak bisa memperoleh kesempatan formal untuk, misalnya, menjadi pegawai pemerintah karena tidak punya gelar akademik. Masyarakat kita masih suka dengan simbol dan formalitas. Masih memerlukan waktu cukup lama untuk menuju masyarakat substantif, bukan simbolik.
Saya punya pengalaman menarik pernah tidak menulis gelar seseorang yang baru saja lulus dari program magister di sebuah perguruan tinggi pada lembar laporan akademik, karena saya memang tidak tahu bahwa yang bersangkutan telah lulus S2. Orang itu sangat kecewa dan menganggap saya tidak menghargai jerih payah dia selama ini bahwa mencari gelar magister itu tidak mudah. Setelah ada yang memberi tahu saya bahwa yang bersangkutan baru saja lulus, saya segera minta maaf atas keteledoran saya itu. Alhamdulillah dia menyadari sehingga tidak menimbulkan masalah baru.
Karena selama ini penyandang gelar akademik bisa memperoleh akses formal di pemerintahan dan merasa nyaman dengannya, maka wajar jika perubahan gelar dianggap merugikan dirinya. Di dalam psikologi gejala demikian dikenal sebagai comfort zone, yakni sebuah kondisi psikologis di mana seseorang merasa nyaman dengan keadaan (aturan, sistem, orang-orang sekelilingnya, pekerjan yang dilakukan, budaya dan sebagainya) yang mengutungkan dirinya. Dengan demikian, jika kondisi tersebut berubah atau sengaja diubah, maka seseorang akan kecewa bahkan bisa marah besar dan melakukan protes atau perlawanan. Lebih-lebih jika perubahan tersebut akan merugikan dirinya.
Ada contoh menarik tentang penggunaan gelar oleh seorang pejabat negara. Suatu kali mantan Mendikbud Fuad Hasan menegur seorang pembawa acara (MC) yang menyebut beliau sebagai Prof. Dr. Fuad Hasan dengan kapasitas sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Beliau ingin disebut sebagai Fuad Hasan saja karena hadir pada kesempatan itu bukan sebagai seorang akademisi, melainkan pejabat negara. Di lain kesempatan, beliau membetulkan seorang pembawa acara (MC) ketika beliau dipanggil sebagai Bapak Fuad Hasan. Karena beliau hadir membawakan makalah bukan sebagai Menteri, melainkan sebagai Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, maka beliau ingin disebut sebagai Prof. Dr. Fuad Hasan.
Karena persoalan simbol ini cukup menyita waktu dan tenaga, bagaimana jika kita usulkan ke pemerintah bahwa lulusan perguruan tinggi tidak perlu diberi gelar, melainkan diberi ijazah dan transkrip. Perhatian dicurahkan pada peningkatan kompetensi para lulusan sesuai disiplin ilmu masing-masing. Di dalam ijazah itu ditulis kompetensi yang dimiliki pemegang ijazah. Misalnya, ijazah lulusan Fakultas Ekonomi Program Studi Manajemen diberi pernyataan tentang kompetensi yang dimiliki pemegangnya. Misalnya, yang bersangkutan mampu melakukan pekerjaan dalam bidang manajemen perkantoran, manajemen perusahaan, manajemen pemasaran dan sebagainya dengan daftar matakuliah yang menunjukkan kompetensi itu. Gelar akademik diberikan hanya bagi lulusan program doktor (Dr), karena merupakan strata pendidikan puncak. Tetapi rasanya usulan ini tidak menarik bagi masyarakat kita yang memang suka gelar akademik, atau malah akan memperoleh penolakan karena comfort zone lulusan perguruan tinggi terganggu. Sekadar usulan tidak apa-apa kan?
Malang, 21 April 2010
(Author)
Beberapa waktu lalu ada pertemuan pimpinan PTAIN se-Indonesia di IAIN Sunan Ampel membahas Peraturan Menteri Agama Nomor 36 Tahun 2009 tentang gelar akademik bagi lulusan PTAI. Peraturan Menteri itu mengundang reaksi dari banyak pihak yang merasa dirugikan, terutama Fakultas Syariah dan Ushuluddin, karena gelar bagi lulusan dua fakultas itu diubah. Selama ini Fakultas Syari’ah mengukuhkan alumninya sebagai Sarjana Hukum Islam dengan gelar akademik SHI, sedangkan Fakultas Ushuluddin dengan gelar Sarjana Theologi Islam (STh. I).
Lewat Peraturan Menteri Agama gelar lulusan Fakultas Syari’ah diubah menjadi S.Sy (Sarjana Syariah) dan gelar lulusan Fakultas Ushuluddin menjadi (S.Ud). Padahal, selama ini gelar akademik itu tidak ada masalah dan banyak di antara alumni sudah diterima di berbagai instansi, baik negeri maupun swasta dengan menyandang gelar itu. Artinya, gelar itu sudah diterima publik dan penyandangnya sudah merasa nyaman dengan gelar itu. Karena itu, perubahan gelar itu dianggap merugikan karena mengusik ketenangan dan bagi sebagian orang terdengar kaku.
Alumni Fakultas Humaniora juga mengalami perubahan gelar menjadi S.Hum. Padahal, ketika alumni Humaniora dan Budaya UIN Malang dulu diberi gelar S.Hum, mereka tidak bisa diterima melamar pekerjaan formal. Gelar S.Hum tidak dikenal bagi lulusan S1. Akhirnya, gelar itu diubah menjadi SS (Sarjana Sastra). Sekarang lewat Peraturan Menteri Agama itu gelar itu dikembalikan lagi menjadi S.Hum. tetapi sampai saat ini mahasiswa Fakultas Hukmaniora dan Budaya kelihatan tenang-tenang saja. Reaksi keras berupa penolakan muncul dari Fakultas Syari’ah dan Ushuluddin seperti telah disebutkan di atas .
Jika alasan penolakannya karena gelar itu terdengar kaku, maka masalahnya karena belum terbiasa saja. Ini mengingatkan saya pada peristiwa perubahan gelar alumni beberapa fakultas di Perguruan Tinggi Umum. Dulu ketika alumni Fakultas Ekonomi diberi gelar SE (sebelumnya Drs.), alumni Fakultas Hukum diberi gelar SH (sebelumnya Drs.), dan alumni Fakultas Teknik diberi gelar ST (sebelumnya Ir.), juga ada yang mempersoalkan karena gelar itu tidak keren. Tetapi toh akhirnya gelar itu memasyarakat dan tidak ada persoalan. Lama kelamaan, pemegangnya juga merasa nyaman dengan gelar itu. Misalnya, Andi Rahman, SE., Siti Markamah, SH., Indayana, ST.dan sebagainya.
Jika persoalannya karena gelar baru itu dianggap tidak menggambarkan kompetensi akademik penyandangnya, maka reaksi penolakan gelar itu bisa dipahami. Misalnya, dengan bergelar S.Sy apa lulusan Fakultas Syariah semakin merasa percaya diri karena S.Sy menggambarkan kompetensi akademik seorang lulusan syariah? Begitu dengan gelar S.Ud, misalnya, apa gelar itu cukup merepresentasikan kompetensi akademik pemegangnya?. Jika gelar S.Sy dan S.Ud menghilangkan substansi kompetensi akademik penyangdangnya, maka penolakan itu bisa diterima akal sehat.
Tampaknya, bagi masyarakat kita gelar akademik bukan persoalan sederhana. Ia tidak saja merupakan simbol akademik, tetapi juga simbol sosial. Orang yang punya gelar banyak dianggap memiliki kemampuan lebih dari yang tidak punya gelar. Karena itu sehebat apapun seseorang jika tidak punya gelar dan pendidikan formal, dia akan kesulitan memperoleh pekerjaan formal untuk, misalnya, menjadi pegawai pemerintah. Akhirnya, orang lebih giat berburu gelar ketimbang tanggung jawab akademik di balik gelar yang dimiliki. Menjelang Pilkada di berbagai daerah saat ini banyak calon pemimpin daerah dengan sederet gelar baik di depan maupun di belakang namanya. Misalnya, Drs. H. …., SH, S.Pd, MM, M.Pd, MH. Kita bisa bertanya kapan dan bagaimana seseorang bisa memperoleh gelar sebanyak itu dalam waktu singkat.
Konon orang sehebat Abdurrahman Wahid (Gus Dur -- almarhum) ditolak melamar menjadi pegawai negeri karena tidak memiliki gelar akademik dan ijazah pendidikan formal. Makanya, seumur hidup Gus Dur tidak pernah berstatus sebagai pegawai negeri. Ini tentu tidak sehat dan menggambarkan masyarakat yang belum mapan. Banyak orang pintar di negeri ini, tetapi mereka tidak bisa memperoleh kesempatan formal untuk, misalnya, menjadi pegawai pemerintah karena tidak punya gelar akademik. Masyarakat kita masih suka dengan simbol dan formalitas. Masih memerlukan waktu cukup lama untuk menuju masyarakat substantif, bukan simbolik.
Saya punya pengalaman menarik pernah tidak menulis gelar seseorang yang baru saja lulus dari program magister di sebuah perguruan tinggi pada lembar laporan akademik, karena saya memang tidak tahu bahwa yang bersangkutan telah lulus S2. Orang itu sangat kecewa dan menganggap saya tidak menghargai jerih payah dia selama ini bahwa mencari gelar magister itu tidak mudah. Setelah ada yang memberi tahu saya bahwa yang bersangkutan baru saja lulus, saya segera minta maaf atas keteledoran saya itu. Alhamdulillah dia menyadari sehingga tidak menimbulkan masalah baru.
Karena selama ini penyandang gelar akademik bisa memperoleh akses formal di pemerintahan dan merasa nyaman dengannya, maka wajar jika perubahan gelar dianggap merugikan dirinya. Di dalam psikologi gejala demikian dikenal sebagai comfort zone, yakni sebuah kondisi psikologis di mana seseorang merasa nyaman dengan keadaan (aturan, sistem, orang-orang sekelilingnya, pekerjan yang dilakukan, budaya dan sebagainya) yang mengutungkan dirinya. Dengan demikian, jika kondisi tersebut berubah atau sengaja diubah, maka seseorang akan kecewa bahkan bisa marah besar dan melakukan protes atau perlawanan. Lebih-lebih jika perubahan tersebut akan merugikan dirinya.
Ada contoh menarik tentang penggunaan gelar oleh seorang pejabat negara. Suatu kali mantan Mendikbud Fuad Hasan menegur seorang pembawa acara (MC) yang menyebut beliau sebagai Prof. Dr. Fuad Hasan dengan kapasitas sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Beliau ingin disebut sebagai Fuad Hasan saja karena hadir pada kesempatan itu bukan sebagai seorang akademisi, melainkan pejabat negara. Di lain kesempatan, beliau membetulkan seorang pembawa acara (MC) ketika beliau dipanggil sebagai Bapak Fuad Hasan. Karena beliau hadir membawakan makalah bukan sebagai Menteri, melainkan sebagai Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, maka beliau ingin disebut sebagai Prof. Dr. Fuad Hasan.
Karena persoalan simbol ini cukup menyita waktu dan tenaga, bagaimana jika kita usulkan ke pemerintah bahwa lulusan perguruan tinggi tidak perlu diberi gelar, melainkan diberi ijazah dan transkrip. Perhatian dicurahkan pada peningkatan kompetensi para lulusan sesuai disiplin ilmu masing-masing. Di dalam ijazah itu ditulis kompetensi yang dimiliki pemegang ijazah. Misalnya, ijazah lulusan Fakultas Ekonomi Program Studi Manajemen diberi pernyataan tentang kompetensi yang dimiliki pemegangnya. Misalnya, yang bersangkutan mampu melakukan pekerjaan dalam bidang manajemen perkantoran, manajemen perusahaan, manajemen pemasaran dan sebagainya dengan daftar matakuliah yang menunjukkan kompetensi itu. Gelar akademik diberikan hanya bagi lulusan program doktor (Dr), karena merupakan strata pendidikan puncak. Tetapi rasanya usulan ini tidak menarik bagi masyarakat kita yang memang suka gelar akademik, atau malah akan memperoleh penolakan karena comfort zone lulusan perguruan tinggi terganggu. Sekadar usulan tidak apa-apa kan?
Malang, 21 April 2010
(Author)
0 komentar:
Posting Komentar