Franz Magnis-Suseno, dalam bukunya Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987, h. 59-60), menjelaskan, pada dasarnya, ada tiga kemungkinan kriteria legitimasi: legitimasi sosiologis, legalitas, dan legitimasi etis.
Di sini kita hanya meninjau perihal legalitas sebagai dasar legitimasi kekuasaan politik. Menurut Prof Magnis, hukum (legalitas) tidak mungkin merupakan tolok ukur paling fundamental bagi keabsahan (legitimasi) wewenang politik. Karena, legalitas hanya dapat memperbandingkan suatu tindakan dengan hukum yang berlaku, maka selalu sudah diandaikan keabsahan hukum.
Tetapi, bagaimana hukum sendiri dapat dicek legalitasnya? Barangkali dengan cara mengecek apakah norma hukum kongkret yang mendasari penilaian tentang legalitas tindakan kekuasaan tadi ditetapkan sesuai dengan bagian hukum yang menentukan prosedur pembuatan hukum.
Tetapi, lalu timbul pertanyaan apakah bagian hukum yang mengenai cara pembuatan hukum itu sendiri legal atau "sesuai dengan hukum" yang berlaku? Barangkali kita masih dapat mengacu pada undang-undang dasar atau konstitusi negara itu. Sampai di situ, kita tidak dapat bertanya terus.
Jadi, pendasaran wewenang politik pada legalitas akhirnya merupakan "regressus ad infinitum" (mundur tanpa akhir) karena hukum positif yang mendasari legalitas selalu harus berdasarkan suatu hukum positif lagi. Artinya, keabsahan paling fundamental wewenang politik tidak dapat didasarkan pada hukum positif. Secara historis, kenyataan logis itu diilustrasikan oleh fakta bahwa kekuasaan negara tidak pernah seluruhnya dapat dikembalikan pada suatu asal-usul yang legal.
Pada permulaan setiap negara, kita tidak menemukan kesesuaian dengan suatu hukum, melainkan kekuatan keberhasilan: yang menentukan ialah bahwa suatu sistem kekuasaan tertentu berhasil untuk mempertahankan diri dan memperoleh eksistensi politis. Pada permulaan tatanan politik, kita akan menemukan suatu kehendak yang berhasil memaksakan diri sebagai penguasa yang harus diakui.
Hal itu berlaku juga bagi segenap negara yang tercipta dalam suatu wilayah yang berhasil untuk memisahkan diri dari suatu negara, yang lahir dari pemberontakan bangsa yang dijajah terhadap penjajah dan dari perombakan total sistem kenegaraan sebagai akibat suatu revolusi.
Sebagai tambahan dari penjelasan Prof Magnis, dalam ilmu hukum, ada pendapat yang mengatakan bahwa revolusi adalah salah satu sumber hukum abnormal.
Jadi, kesimpulannya: hukum (positif) atau legalitas, tidak dapat dijadikan dasar fundamental bagi keabsahan wewenang politik.
0 komentar:
Posting Komentar