Hukum mempunyai fungsi untuk memanusiakan pengguna kekuasaan. Karena adanya hukum, kehidupan bersama masyarakat tidak ditentukan semata-mata oleh kepentingan mereka yang kuat, melainkan oleh suatu aturan rasional yang seoptimal mungkin menjamin kepentingan semua pihak. Tetapi, hukum hanya dapat menjalankan fungsi ini apabila aturan yang ditetapkan memang baik. Dengan lain kata, hukum harus adil.
Bagaimana keadilan hukum dapat dijamin? Secara prinsipil, ada dua kemungkinan: keadilan hukum diukur pada suatu kode keadilan di luar hukum, misalnya pada norma-norma moral keadilan. Atau, hukum dianggap mencukupi dirinya sendiri, maka hukum adalah adil karena diperundangkan secara resmi: hukum mendefinisikan apa yang adil.
Ternyata, dua kemungkinan itu muncul dalam sejarah filsafat hukum sebagai dua teori yang saling berlawanan: Teori Hukum Kodrat dan Positivisme Hukum. Menurut Teori Hukum Kodrat, hukum positif (yaitu hukum yang "ditetapkan", diperundangkan, dari kata Latin "ponere"; dalam perbedaan dari hukum prapositif, misalnya hukum moral--yang berlaku dengan sendirinya, dengan mendahului perundangan manusia) hanya sah apabila sesuai dengan hukum moral yang bersifat prapositif. Teori ini disebut Teori Hukum Kodrat karena dalam tradisi filsafat hukum moral atau prapositif itu dipahami sebagai hukum kodrat.
Sedangkan Positivisme Hukum menolak anggapan bahwa hukum positif perlu disesuaikan dengan hukum prapositif apa pun. Hukum adalah sah dengan sendirinya. Adil dalam hukum adalah apa yang sesuai dengan hukum positif.
Teori Hukum Kodrat lantas dapat dirumuskan begini: suatu hukum positif hanyalah sah sejauh sesuai dengan suatu hukum prapositif, jadi dengan suatu hukum yang mendahului segala penetapan masyarakat. Hukum prapositif itu sama dengan hukum moral. Secara lebih sederhana: suatu hukum positif hanyalah sah sejauh sesuai dengan norma-norma moral. Teori Hukum Kodrat menuntut agar hukum positif tidak bertentangan dengan norma-norma dasar moral, terutama dengan keadilan.
Magnis menjelaskan juga bahwa hukum kodrat itu adalah hukum akal budi, yang berfungsi sebagai tolok ukur normatif bagi seluruh hukum positif.
Lebih lanjut, Magnis menjelaskan, sering terjadi pertentangan antara Teori Hukum Kodrat dan Positivisme Hukum: yang satu menyatakan bahwa hukum yang tidak adil tidak mempunyai daya ikat, dan hakim tidak boleh mempergunakannya. Yang satunya mengatakan bahwa hukum yang bagaimanapun harus dilaksanakan selama belum diubah.
Secara moral, sudah jelas bahwa manusia berhak untuk selalu menaati suara hatinya. Kewajiban moral untuk menaati hukum positif--kewajiban dasar untuk taat pada hukum justru bersifat moral: secara moral kita wajib untuk hidup sesuai dengan aturan-aturan kehidupan masyarakat!--tidak bersifat mutlak dan itu berarti, dapat dikalahkan oleh kewajiban moral yang lebih besar. Maka apabila suatu aturan hukum bertentangan dengan suara hati seseorang, seseorang secara moral berhak untuk tidak taat.
"Tetapi, hak itu bersifat moral, dan bukan hukum; maka negara tetap akan mengenakan sanksi hukum pada seseorang. Kejujuran moral termuat kesediaan untuk menerima hukuman demi suara hati," jelas Magnis. Dengan kata lain, bisa saja seseorang berdasarkan hukum positif dianggap salah, tetapi secara moral tidak. Di halaman 103-104, dalam buku Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Magnis juga mencontohkan dengan hukum positif yang diberlakukan oleh Nazi Jerman terhadap warga Yahudi.
Jadi, filsafat hukum Thomas Aquinas tentang Hukum Kodrat, menurut Magnis, tetap relevan. Ia mendasarkan daya ikat hukum buatan manusia dalam keluhuran kodrat manusia sebagai ciptaan Allah. Betapapun pentingnya adanya hukum yang pasti (hukum positif), namun aturan bikinan manusia tak pernah mengikat dengan mutlak (lebih jelas, lihat Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987, h. 85-86, h. 99, catatan kaki h. 99, dan h. 105-106, 111)
Andrea Ata Ujan, dalam bukunya Filsafat Hukum: Membangun Hukum, Membela Keadilan, (2009: h. 50), menggolongkan H.L.A. Hart dan Hans Kelsen sebagai pemikir positivisme hukum. Dan penggagas mazhab hukum kodrat adalah St. Agustinus dan kemudian dikembangkan secara sistematis oleh Thomas Aquinas.
Debat hukum yang sering terjadi di Indonesia, menurut Andrea Ata Ujan, memperlihatkan tegangan antara penerapan hukum positif yang memberi tekanan kuat pada penegakan hukum yang cenderung prosedural (hukum sebagai lex) dengan pentingnya memperhatikan nilai moral (keadilan) di lain pihak (hukum sebagai ius). "Hukum adalah positivisasi prinsip moral," kata Thomas Aquinas." (Lihat Andrea Ata Ujan, Filsafat Hukum: Membangun Hukum, Membela Keadilan, Yogyakarta Kanisius, 2009)
0 komentar:
Posting Komentar