Sesudah di Inggris dipelopori oleh Thomas Hobbes (1558-1679) dan David Hume (1711-1776) dan di Jerman oleh Mazhab Hukum Historis abad ke-19, maka Positivisme Hukum menguasai pemikiran hukum di Barat dalam abad ke-19 dan dalam bagian pertama abad ke-20. Bentuk yang paling murni dan canggih diperolehnya dalam Ajaran Hukum Murni Hans Kelsen (1881-1973).
Positivisme Hukum menganut dua prinsip dasar: pertama, hanyalah hukum positif adalah hukum; kedua, walaupun suatu isi hukum ditolak, misalnya karena dianggap melawan prinsip-prinsip moral, namun hukum itu tetap berlaku. Atau dengan kata lain: setiap undang-undang yang dibuat sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum, berlaku dan sah entah apa isinya.
Artinya, sebuah norma berlaku sebagai hukum atau tidak, tidak tergantung dari isinya, melainkan dari apakah norma itu diperundangkan sesuai dengan prosedur perundang-undangan yang berlaku. Thomas Hobbes merumuskan: "Otoritas, bukan kebenaran, merupakan hakikat undang-undang." Hukum adalah undang-undang.
Posisi ini mengimplikasikan perpisahan tajam antara hukum dan moral. Hukum (menurut Positivisme Hukum atau hukum positif) adalah sistem norma-norma yang ditetapkan oleh penguasa yang sah dengan cara yang sah juga. Hukum tidak ditaati karena dinilai baik, melainkan karena telah ditetapkan oleh otoritas yang sah. Secara konsekuen Karl Bergbohm menuntut bahwa "juga hukum yang paling jahat, sejauh diadakan sesuai dengan ketentuan-ketentuan formal", harus diakui keberlakuannya.
Selama peraturan (hukum) itu tidak ditarik kembali, ia tetap mengikat. Positivisme Hukum tidak menutup pintu untuk perbaikan hukum. Tapi, perbaikan itu harus menurut prosedur perubahan hukum.
Jadi, apabila orang karena alasan apapun tidak puas dengan suatu ketentuan hukum, orang dapat saja mengambil semua jalan legal untuk mengusahakan suatu perubahan. Tetapi, selama perubahan itu belum efektif, ketentuan lama tetap berlaku.
Positivisme Hukum kiranya juga dapat menerima kalau seseorang, karena suara hatinya, berdasarkan penilaian moralnya, tidak mau taat kepada hukum yang berlaku. Itulah kasus conscientious objector. Penolakan ini bisa saja merupakan tindakan yang secara moral terpuji. Tetapi hakim tetap harus menjatuhkan sanksi hukum atasnya.
Maka anggapan Positivisme Hukum dapat diringkas begini: hakim wajib untuk selalu mendasarkan putusannya pada hukum yang telah diresmikan dengan tidak memperhatikan pertimbangan-pertimbangan keadilan dan lain-lainnya di luar hukum resmi itu (lihat Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1987, h. 100-102)
0 komentar:
Posting Komentar