Kata Pramoedya Ananta Toer, "Saya belajar dari Maxim Gorky yang betul-betul saya kagumi. Gorky kalau menulis bagai memegang tiang rumah, kemudian mengguncangkannya sehingga semuanya berubah." Pengakuan Pram ini menggambarkan betapa hebatnya kemampuan tulisan dalam mempengaruhi orang lain. Dan memang, tulisan bisa menggugah, memberikan pencerahan, penyadaran, pencerdasan, bahkan—lebih dari itu—mampu menggerakkan orang untuk melakukan revolusi.
Rata-rata aktivis pergerakan, sejak zaman sebelum kemerdekaan Indonesia hingga kini, semuanya punya kemampuan menulis. Mereka menulis dalam berbagai bentuk: buku-buku, tulisan-tulisan di koran dan majalah, artikel lepas, tulisan dalam bentuk kolom opini, dan lain sebagainya. Kini, di zaman digital (internet), para aktivis, bahkan, sudah banyak menulis di blog-blog atau situs-situs, baik resmi maupun pribadi.
Menulis itu tak ada batas
"Aktivis" asal katanya adalah “aktif”. Jadi, aktivis adalah orang-orang yang aktif di organisasi dan mereka selalu berupaya memperjuangkan dan menegakkan kebenaran dan keadilan untuk kehidupan yang lebih baik. Gerakan dalam upaya menegakkan kebenaran dan keadilan itu ada banyak cara. Tapi dari berbagai bentuk gerakan aktivis, yang paling penting itu adalah “menulis”. Mengapa? Karena menulis itu tak ada batas. Dalam arti kata, menulis mudah dilakukan kapan dan di mana saja.
Jangkauan tulisan pun lebih jauh dan abadi ketimbang gerakan lainnya. Kalau gerakan lainnya, bisa bersifat terbatas. Demonstrasi, misalnya, orang tak mungkin mampu berdemonstrasi setiap hari. Pasti ada lelahnya. Orasi juga seperti itu. Tak mungkin orang sanggup orasi setiap waktu. Namun, tak demikian halnya dengan menulis. Aktivis bisa dengan mudah menulis setiap waktu—kapan dan di mana pun.
Bahkan, para aktivis yang sudah
berusia lanjut pun masih bisa melakukan kegiatan menulis. Contohnya: Ahmad
Syafii Maarif yang sudah sepuh masih produktif menulis dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa. Ada banyak tokoh-tokoh aktivis bangsa yang tak
mengenal kata “pensiun” dari menulis. Mereka terus menulis dalam berbagai
saluran dan media, sebut misalnya: Pramoedya Ananta Toer, Gus Dur, Amien Rais, Nurcholish
Madjid, Goenawan Mohamad, Kwik Kian Gie, Emha Ainun Nadjib, Adnan Buyung
Nasution, Faisal Basri, dan lain-lain.
Tokoh-tokoh aktivis pergerakan
nasional Indonesia hampir semuanya adalah para penulis hebat. Beberapa contoh
bisa saya sebutkan, misalnya: H.O.S. Tjokroaminoto, Bung Karno, Bung Hatta,
Sjahrir, Tan Malaka, Mohammad Natsir, R.A Kartini, dan lain-lain. H.O.S.
Tjokroaminoto, misalnya, menulis buku judulnya: Islam dan Sosialisme. Sebuah
buku yang cukup bagus. Konon, buku itu—oleh Mar’ie Muhammad (mantan Sekjen
PB-HMI dan juga mantan Menkeu di era Orba)—pernah dijadikan bahan kajian dan diskusi
tentang keislaman di HMI sebelum dirumuskannya NDP oleh Cak Nur.
Bung Karno, misalnya, di usia
belia, bahkan, telah menulis kira-kira 500 tulisan yang dimuat di koran Oetoesan
Hindia. Tulisan pertama Bung Karno terbit di halaman depan koran itu pada
21 Januari 1921. Ia bahkan diminta menulis rutin di koran milik Sarekat Islam
itu menggantikan H.O.S. Tjokroaminoto. Tulisan Bung Karno juga tersebar di
media massa lainnya, seperti Fikiran Ra'jat dan Soeloeh Indonesia
Moeda. Terkadang, untuk menghindari penangkapan oleh pemerintah kolonial Belanda,
Bung Karno menulis dengan menggunakan nama samaran, Bima. Beberapa buku hasil
karya tulis Bung Karno, yang masih bisa kita baca hingga hari ini di antaranya:
Nasionalisme, Islamisme & Marxisme; ada juga buku Indonesia
Menggugat, dan lain-lain.
Bung Hatta juga demikian. Ia aktivis yang juga aktif menulis. Saya punya buku karya Bung Hatta yang masih saya koleksi hingga kini: Alam Pikiran Yunani. Karya Hatta yang lain: Demokrasi Kita. Sementara Bung Sjahrir menulis buku Perjuangan Kita. Tan Malaka juga menulis banyak buku, di antaranya: Dari Penjara ke Penjara; Aksi Masa; Madilog; Menuju Merdeka 100%, dan lain-lain. Kartini membuat karya tulis: Habis Gelap Terbitlah Terang. Mohammad Natsir—mantan Perdana Menteri Indonesia, yang juga tokoh aktivis pergerakan Indonesia—juga seorang penulis. Buku Natsir antara lain: Islam dan Akal Merdeka: Kritik atas Pemikiran Soekarno tentang “Islam Sontoloyo” dan Seputar Pembaruan Pemikiran Islam.
Dan tokoh-tokoh komunis Indonesia,
ternyata, adalah juga para pemikir dan penulis: di antaranya, misalnya,
D.N Aidit, Njoto, Semaun, Alimin, dan lain-lain. D.N. Aidit membuat banyak
sekali karya tulis. Beberapa bukunya antara lain: Revolusi Indonesia:
Latarbelakang Sejarah dan Haridepannya; Menempuh Jalan Rakyat; Tentang
Marxisme; Demokrasi dan Ekonomi (Dekon) dalam Ujian; Membela Pancasila, dan lain-lain. Njoto
juga penulis. Judul buku karya Njoto: Marxisme: Ilmu dan Amalnya. Sedangkan
Semaoen menulis novel: Hikayat Kadiroen. Alimin juga menulis buku yang
berjudul Analisis (diterbitkan oleh Administrasi Majalah "Bintang
Merah", Bintaran Kulon 14 Yogyakarta, 1947).
Dedengkot aktivis Angkatan ’66 juga penulis-penulis hebat. Sebut di antaranya: Arief Budiman, Soe Hok Gie, Rahman Tolleng, Goenawan Mohamad, Nono Anwar Makarim, Dawam Rahardjo, dan lain-lain. Soe Hok Gie menulis buku yang sangat popular: Catatan Seorang Demonstran. Arief Budiman (kakak Gie) menulis banyak buku dan artikel di media-media massa. Artikel Arief, di antaranya, berisi kritik-kritik terhadap kebijakan pemerintahan Orde Baru. Rahman Tolleng banyak menulis di koran Mahasiswa Indonesia. Sementara Goenawan Mohamad hingga kini masih aktif menulis “Catatan Pinggir” di Majalah Tempo. Juga isinya berupa kritikan-kritikan terhadap kekuasaan dan ketidakadilan.
Tokoh-tokoh aktivis Angkatan ’98
juga hebat menulis. Beberapa nama bisa saya sebutkan, sebagai contoh saja, misalnya:
Budiman Sudjatmiko, Nezar Patria, Andi Arief, Ken Budha Kusumandaru (aktivis
PRD), dan banyak lainnya. Saya sudah pernah melihat dan membaca
tulisan Budiman Sudjatmiko di Harian Kompas. Judulnya: “Sosialisme Jiwa
Konstitusi Kita”. Bahkan, banyak tulisan Budiman Sudjatmiko sekarang bisa
dibaca di blog pribadinya: budimansudjatmiko.net.
Aktivis menulislah!
Nah, tak banyak aktivis
kini—terlebih mereka yang cuma ngaku-ngaku saja sebagai aktivis—yang
menyadari hal ini. Dan saat ini, yang mengaku aktivis, bukan hanya tak
mencintai aktivitas menulis, mereka bahkan tak punya skill menulis sama sekali.
Itu mungkin disebabkan karena kurang membaca. Padahal, aktivis itu identik
dengan pembaca dan pemikir. Dan pemikiran-pemikiran itu mesti mereka tuangkan lewat
tulisan-tulisan agar dibaca oleh orang lain, sehingga orang lain bisa
digerakkan lewat tulisan-tulisan itu: tulisan bisa berupa pencerahan, kritikan-kritikan,
solusi tentang suatu masalah, ide-ide brilian, pemikiran-pemikiran progresif,
kegelisahan intelektual, gagasan-gagasan kemajuan, dan lain sebagainya.
Tulisan, daya jangkaunya lebih
luas ketimbang bahasa lisan. Pengaruh tulisan pun lebih kuat ketimbang ucapan
verbal. Tulisan dapat dibaca dan dapat mempengaruhi ribuan bahkan jutaan orang
di mana dan kapan pun. Sementara bahasa lisan bisa dilupakan orang beberapa
menit setelah diucapkan. Bandingkan kutbah Jumat dengan
buku, misalnya. Isi kutbah pada Jumat yang lalu sulit diingat kembali secara detail. Tapi
buku, kalau pun kita lupa, kita masih bisa buka dan baca kembali. Itu sekedar contoh
keunggulan tulisan. Ingat, peribahasa dalam bahasa Latin: "Verba
volant, scripta manent; kata-kata lisan terbang, sementara tulisan
menetap." Bahasa tulisan lebih abadi ketimbang bahasa lisan.
Jadi, aktivis tak cukup hanya bisa
berdebat dan teriak secara lisan dan bersitegang urat leher saja. Apalagi
sekedar ngoceh ke sana ke mari. Dan tak cukup kerjanya hanya bisa meng-share
tulisan-tulisan orang lain saja. Aktivis itu juga mesti mampu menuliskan
pikiran-pikirannya sendiri. Kalaupun belum berkesempatan menulis buku, setidaknya mampu
menulis dalam berbagai bentuk karya-karya tulis. Yang penting, dapat dibaca masyarakat
luas.
Ingat kata Pramoedya Ananta Toer:
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang
di dalam masyarakat dan dari sejarah.” Dalam novel Anak Semua Bangsa, Pram
menulis: “Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau
menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di
kemudian hari." Pada kesempatan lain, Pram berkata: “Sebagai pengarang
(penulis) saya masih lebih percaya kepada kekuatan kata (tulisan) daripada kekuatan
peluru yang gaungnya hanya akan berlangsung sekian bagian dari menit, bahkan
detik."
NANI EFENDI, Alumnus
HMI
0 komentar:
Posting Komentar