alt/text gambar

Kamis, 24 Februari 2022

Topik Pilihan: , , , , ,

DEMOKRASI ITU UTOPIA?



Oleh: Nani Efendi


Hingga kini, masih banyak rakyat yang tak memahami esensi sumber kekuasaan (power) dalam negara demokrasi. Kebanyakannya hanya memahami bahwa demokrasi adalah "pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat"—karena begitulah yang mereka pelajari dari lembaga-lembaga pendidikan atau sekolah-sekolah. Tapi apakah demokrasi dalam kenyataannya memang demikian? Tidak. Karena, bagaimana konkretnya praktik demokrasi yang seperti itu bisa diwujudkan?

Menarik penjelasan Chusnul Mar'iyah—dosen senior ilmu politik dari Universitas Indonesia—tentang demokrasi. Kata Chusnul Mar'iyah—yang ia sendiri merujuk ke Joseph A. Schumpeter (ahli ekonomi-politik Austria yang menjadi profesor di Harvard University pada 1932)—demokrasi yang selama ini dipahami oleh masyarakat adalah “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”, ternyata hanyalah utopis. Utopis atau utopia artinya “khayalan”, “imajiner”, atau sesuatu yang tidak pernah terjadi di alam nyata. Ia semacam cita-cita atau konsep ideal saja. (Sama seperti teori "perjanjian masyarakat" atau teori "kontrak sosial"-nya J.J. Rousseau). Jadi, suatu pengandaian saja.

Karena, kata Chusnul, "Bagaimana caranya rakyat memerintah?" Menurut Schumpeter, lanjut Chusnul, demokrasi yang ada sekarang ini adalah demokrasi yang elitis. Artinya, yang berperan dalam memilih dan menentukan pemimpin adalah kelas elite. Rakyat banyak cuma dihadapkan sebagai pemilih. Dihadapkan untuk memilih, istilah Chusnul, dari pos satu ke pos yang lain.

Dan sama dengan penjelasan Chusnul Mar'iyah, yang ia rujuk dari Schumpeter itu, Jeffrey A. Winters—profesor ilmu politik dari Universitas Northwestern, Amerika Serikat—juga menjelaskan hal yang sama tentang kenyataan praktik demokrasi. Menurut Winters, yang benar-benar berkuasa menentukan pemimpin politik dalam sistem demokrasi adalah para oligarki (segelintir orang-orang kaya). Demokrasi yang ada saat ini, menurut Winters, dikuasai oleh para oligark. Para oligark inilah yang "memilihkan" terlebih dahulu orang-orang yang akan dipilih oleh rakyat.

Jadi, rakyat bukan murni menjadi penentu atau memilihnya dari awal. Rakyat hanya memilih orang-orang yang sudah dipilihkan terlebih dahulu oleh oligark (istilah Winters) atau oleh elite (istilah Schumpeter). Jadi, tidak murni berasal dari pengorganisasian rakyat, tapi oleh elite. Penjelasan tentang ini juga saya pahami sebelumnya dari budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun). Kata Cak Nun, “Fakta paling mendasar yaitu: kita tidak pernah memilih pemimpin. Sebaliknya, kita hanya ‘dipaksa’ memilih yang sudah ‘dipilihkan’. Dan tak pernah benar-benar memilih secara mandiri.” 

Saya mencontohkan: ibarat kita menginginkan sebuah barang, kita tidak membuatnya sendiri sesuai keinginan kita. Kita hanya “dipaksa” memilih barang-barang yang sudah jadi dan sudah disediakan atau dijual oleh para penjual atau penyedia (baca: elite atau oligark) di pasar.

Oleh karena itu, jika hari ini masyarakat selalu mengeluhkan dan tidak puas dengan pemimpin-pemimpin yang sudah dipilih (melalui prosedur demokrasi), ya masuk akal saja. Karena yang memilih dari awalnya sesungguhnya bukan masyarakat. Masyarakat hanya memilih “paket-paket pilihan” yang "sudah jadi”. Masyarakat tidak ikut menentukan dari awal. Masyarakat tidak lebih sebagai “alat” untuk melegitimasi pilihan-pilihan para elite atau para oligarki. Jadi, pemilihan (pemilu, pilkada, dsb) tidak lebih sebagai sarana atau cara meminta “persetujuan” rakyat saja. "Sejatinya, lembaga pemilihan umumtermasuk pilkadatidak lebih hanya merupakan suatu strategi untuk menuai legitimasi para elite pengambil keputusan melalui mekanisme partisipasi politik masyarakat." (Weber, 1947; Schumpeter, 1976).

Schumpeter—sebagaimana saya kutip dari etd.repository.ugm.ac.id—beranggapan bahwa demokrasi, hanyalah sebuah metode politik untuk memilih pemimpin atau singkatnya sebagai kompetisi kepemimpinan. Artinya demokrasi tidak menyentuh tataran esensi yang selama ini dicita-citakan, namun cenderung hal yang sifatnya prosedural. Jadi, doktrin demokrasi klasik seperti “kehendak bersama” atau “kebaikan umum” tidaklah pernah ada (lihat: http://etd.repository.ugm.ac.id/home/detail_pencarian/168278)

Nah, dengan melihat praktik dan kenyataan saat ini, apakah pendapat Schumpeter itu benar adanya? Ini perlu kajian lebih serius dari perspektif filsafat. Dan inilah yang masih menjadi “PR” masyarakat kedepan: yakni, bagaimana menciptakan demokrasi yang benar-benar dari, oleh, dan untuk rakyat. Bukan dari, oleh, dan untuk elite atau oligarki saja.

Namun, perlu juga dipahami, walaupun rakyat bisa memilih pemimpin sesuai keinginannya, belum tentu juga persoalan kehidupan manusia itu selesai dan menjadi sempurna. Bisa jadi juga yang mereka pilih langsung itu lebih buruk, dalam praktiknya, dari yang dibayangkan. Tak ada kesempurnaan dalam kehidupan manusia. 

Itulah bentuk "absurditas"—meminjam istilah filsuf Albert Camus—dalam kehidupan manusia. Maka tugas manusia adalah berjuang mewujudkan kesempurnaan-kesempurnaan dalam proses kehidupan yang senantiasa berdialektika. Dalam keadaan demikianlah maka penerapan konsep "demokrasi deliberatif"-nya tokoh Teori Kritis Jurgen Habermas dari Mazhab Frankfurt, perlu dipertimbangkan.

Dan mengenai demokrasi, menarik juga memahami ungkapan dari Pramoedya Ananta Toer. Kata Pram, “Dan, manusia hidup ini untuk sistem, apakah sistem untuk manusia? Itu persoalannya. Kalau manusia itu dilahirkan untuk sistem, maka manusia itu akan menderita. Walaupun manusia itu lahir tidak atas kemauannya sendiri, tapi aturan-aturan dari sistem belum tentu sesuai dengan individu-individu. Maka itu, menurut saya, bagaimanapun jeleknya demokrasi sebagai sistem, toh lebih baik daripada yang ada. Sebab, (dalam demokrasi) manusia punya hak untuk bicara.”

NANI EFENDI, Alumnus HMI, Pemikir, Penulis, dan Kritikus Sosial



0 komentar:

Posting Komentar