-
Oleh: Goenawan Mohamad
Di depan liang lahat Amarzan
Loebis tadi siang, sebelum tanah ditimbunkan, saya mengatakan, ia sahabat yang
meninggalkan lobang, atau lebih tepat kekosongan, yang besar dengan
kepergiannya.
Ia telah memberi banyak.
Ia sastrawan yang sekian puluh
tahun yang lalu, di awal 1960-an, menulis puisi dengan idiom yang segar, tak
terduga-duga, di tengah sajak-sajak yang mengulang slogan “revolusioner” masa
itu. Solidaritasnya kepada yang tercekik
lebih dalam justru karena ia bukan produser klise.
Beberapa tahun kemudian ia
menghilang: ia, anggota Lekra, disekap di Pulau Buru.
Selepas dari pengasingan, setelah
sekian tahun direnggutkan dari kehidupan, ia bekerja di majalah Tempo.
Saya, waktu itu pemimpin redaksi, yang memintanya bergabung.
Semula tampak ia ragu—mungkin
cemas: ia bekas “tapol”, dan bekas “tapol” dianggap penderita kusta oleh “Orde
Baru”. Dengan menampungnya bekerja, begitu diperkirakan, Tempo akan
dapat masalah.
Saya tahu keraguan itu lumrah:
bahkan ada rekan wartawan mengerutkan kening mengetahui keputusan saya.
Alharhum Rosihan Anwar menulis di Pos Kota, seperti memberi tahu
penguasa bahwa ada wartawan-wartawan kiri yang ditampung “sebuah majalah”. Dan
tekanan yang deras memang datang.
Tapi kami di Tempo,
bertahan—mencoba bertahan. Sebelum Amarzan, ada Martin Aleida, mantan reporter Harian
Rakjat, koran resmi PKI. Ada Maniaka Thayeb, perupa Lekra. Mereka juga
bekerja dalam tim kami. Begitu bebas dari P. Buru, Buyung Saleh, tokoh cendekiawan
PKI, juga menyumbang tulisan (kolom dan resensi) untuk Tempo.
Saya tak berniat gagah-gagahan
dengan itu semua. Bagi saya, kemampuan orang-orang itu layak dapat tempat—dan
Amarzan Loebis lebih dari layak: ia cemerlang, “witty”, seksama dalam
ketepatan kata—dan tak pernah molor dalam memenuhi tenggat.
Bagi saya, mereka berhak bekerja,
menulis, bertukar ide. Mereka sudah menjalani “hukuman”, prosekusi—apa lagi?
Lagi pula kami, di Tempo,
selalu berpedoman, agak nekad itu pantas dicoba dan perlu. Tiap kali kami harus
“menguji” ketabahan diri dalam kekangan, untuk hal-hal dasar yang kami yakini:
kemerdekaan bersuara yang setara, bagi semua.
Di bawah “Orde Baru”, itu tak mudah. Ini semacam perang gerilya yang panjang, dengan strategi: jika penguasa sedang lengah atau lemah, kami harus berani maju. Jika sedang kuat, waspada dan galak, kami mundur beberapa jurus. Saya sering mengatakan setengah bergurau: Ini ajaran klasik gerilya Mao Zhe-dong...
Amarzan memahami ini. Ia korban
prosekusi yang tak pernah merasa jadi lebih suci ketimbang orang lain. Ia tak
hendak merasa berhak jadi hakim.
Dan itulah pemberiannya yang luar
biasa: tak ada “heroics”, tak ada kepongahan. Pengalamannya yang penuh
sakit ia bagikan sebagai cerita yang kaya, dan saya tahu Laksmi Pamuntjak
menulis novelnya, “Amba”, juga Leila S. Chudori menulis “Pulang”, dengan
bahan yang berlimpah dari Amarzan.
Dalam obituarinya yang saya baca
lewat WA, Laksmi menulis: “Selamat jalan, Bung AMZ. Hutang budiku padamu
melampaui segala karena kau tak hanya memberiku sepasang mata baru tapi juga
mengajariku sesuatu yang berharga tentang sejarah—terutama tentang pemaafan dan
kehadirannya untuk senantiasa ditafsir dan dimaknai ulang.”
Laksmi juga mengatakan. “Kau juga
mengajariku tertawa...”.
Humor adalah bagian sentral dalam
percakapan dengan Amarzan. Agaknya itu yang mengikatkan kami berdua: humor—dan
puisi.
Ada orang yang heran bagaimana
saya, seorang perumus petisi “Manifes Kebudayaan”, bisa bersahabat dan bekerja
bersama bertahun-tahun dengan Amarzan, seorang penyair Lekra yang utama.
Bukanlah kedua “kubu” itu bertentangan? Amarzan selalu geli bila membaca ada
orang yang dengan sengit ingin ikut bertempur, membela atau menyerang salah
satu “kubu” itu. Saya pernah mengatakan kepadanya, orang seperti itu tak
mengerti—atau merasakan—ada humor dan puisi:
dua “dunia” yang tak hendak takluk kepada kebekuan hati dan pikiran.
Dunia kami.
Amarzan dimakamkan tadi pagi.
Bagi saya ia meninggalkan kita tapi tak mati-mati. Bagi saya ia seakan-akan pergi
jauh, untuk sesekali menulis surat kepada kami di kartupos-kartupos kuno,
dengan lelucon dan sajak baru.
Goenawan Mohamad, Penulis
0 komentar:
Posting Komentar