Oleh: Goenawan Mohamad
Jasad Pramoedya Ananta Toer diturunkan ke liang lahat.
Tanah diuruk. Saat itu, sekitar pukul empat sore, separuh langit Jakarta gelap,
udara hamil hujan—seakan-akan persiapan adegan akhir perkabungan di Karet Bivak
itu. Sebuah lagu tiba-tiba terdengar, dinyanyikan bersama dengan khidmat,
terutama oleh mereka yang muda:
Di negri permai ini
Berjuta Rakyat bersimbah rugah
Anak buruh tak sekolah
Pemuda desa tak kerja…
Mereka dirampas haknya
Tergusur dan lapar
Kalimatnya lurus dan marah, tapi Darah Juang tak berteriak,
bahkan agak melankolis: ”Bunda, relakan darah juang kami…” Suasana apa yang
melahirkannya? Murung seperti sore itu?
Beberapa aktivis muda membisikkan kepada saya bahwa
lagu itu digubah oleh dua mahasiswa di daerah Gejayan, Yogyakarta, pada suatu malam
sehabis rapat merencanakan aksi, pada tahun 1991, ketika rezim Soeharto masih
kukuh, ketika ketakutan masih merajalela, dan kekuatan penentang, kalaupun ada,
lemah dan kusut.
Optimisme terasa dibuat-buat dari suasana seperti itu,
tapi harapan tidak. Dari harapan yang tersembunyi—dengan bahasa yang menyatakan
sakit dan miskin, rindu dan dendam—sastra lahir, politik lahir. Juga pahlawan.
Bagi anak-anak muda yang ingin membuat Indonesia lebih adil dan merdeka,
Pramoedya adalah pahlawan yang pas; sang penggubah epos adalah sebuah epos
tersendiri: di kamp tahanan yang jauh dan bengis, ia tulis empat-serangkai
novel sejarah Indonesia ketika beribu-ribu orang hendak dimusnahkan dari
kenangan kolektif, ketika kata ”kemerdekaan” membuat saat jadi genting.
Dari sini Pram memang bisa jadi suluh.
Dalam hal itu, Indonesia tragis tapi mujur: begitu
banyak orang dibasmi dan dilupakan di negeri ini, tapi sebuah generasi tak
hanya menggantikan generasi sebelumnya; ia juga mendapat inspirasi. Dengan
itulah sebuah transisi alamiah (ada yang pergi, ada yang datang) jadi jalinan
gerak sejarah. Pramoedya adalah penyambung jalinan itu.
Mungkin awalnya adalah Blora. Dalam Cerita dari
Blora, yang terbit pada awal 1950-an, Pram menghadirkan ”aku” yang
mengenang tokoh ”ayah”: seorang yang bersungguh-sungguh ikut menumbuhkan benih
kemerdekaan, seorang yang yakin kemerdekaan sama artinya dengan ”Indonesia”,
seorang saksi bahwa ”Indonesia” yang belum datang itu telah begitu kuat
menggerakkan hati.
Pada tahun 1930-an itu Blora berubah. ”Di waktu-waktu
itu nampak… olehku adanya kegugupan yang meraba kehidupan kota kecil kami,”
kata si anak yang mengenang. Orang beramai-ramai mendirikan perkumpulan sepak
bola dan kesenian, meskipun sebenarnya ”kegugupan” itu ”kegugupan” politik:
gema ”kebangunan Asia” terdengar, aktivis pergerakan nasional seperti Soekarno
datang dan berbicara, dan para pandu menyanyi Di timur matahari mulai
bercahaya.
Dalam suasana itu, si ayah mendirikan sebuah sekolah
dan rumah itu jadi pusat pergerakan. Orang datang untuk sekadar bertanya, atau
belajar baca-tulis, atau ikut ”kursus politik”, ”kursus guru”, menyiapkan diri
jadi pendidik…. ”Tiba-tiba saja rumah kami merupakan kantor. Semua mesin ketik
berdetak-detak.”
Tapi itu tak lama. Polisi kolonial telah mengawasi mereka.
Akhirnya sepucuk surat datang dari ”gubermen”: kegiatan itu harus disetop.
Buku-buku disita, listrik di tempat para murid belajar dicabut. Sejak itu rumah
itu sepi. Sejak itu paras si ayah muram. Sejak itu ia hampir tak pernah pulang,
menghabiskan hari-harinya berjudi—seperti ayah yang meninggal dalam novel Bukan
Pasar Malam. Bahkan ketika satu orok lahir lagi, si ayah tak ada. Memang
akhirnya lelaki itu muncul menengok si bayi, tapi si ibu berkata, ”Dia takkan
mendapat apa-apa dari kau. Juga tidak dari tempat dan zamannya. Dia akan tumbuh
sendiri.”
Zaman itu adalah ”zaman senja yang mengayunkan dan
kadang-kadang mengejuti”, tulis Pramoedya, dengan struktur kalimat yang ganjil,
dengan akhiran kan dan i yang salah tempat, seakan-akan gagap.
Kalimat penutupnya seperti sederet klise: ”Tapi matahari akan terbit lagi di
ufuk timur”.
Tidakkah kegagapan dan klise itu menunjukkan bahwa si
anak belum memperoleh bahasanya sendiri untuk mengatasi kemurungan ingatannya?
Sampai ia meninggal, Pra-moe-dya masih murung; ia menatap dengan getir sejarah
Indonesia. Pelbagai wawancara terakhirnya mengesankan itu. Tapi nada marahnya
mungkin sebuah keteguhan: suara seorang yang tak ”mendapat apa-apa” dari
”tempat dan zamannya”, tapi percaya, ”dia akan tumbuh sendiri”.
Ia memang pewaris humanisme yang kekar—humanisme
Ontosoroh, tokoh Bumi Manusia. Dalam prosa Pram, pikiran, emosi, dan
gerak manusia mengambil alih hampir seluruh adegan; alam hanya hadir secara
minimal. Tiap kalimat seakan-akan pergulatan ”aku-manusia” yang susah payah
tapi gigih mengatasi ”rumah-penjara bahasa”, pergulatan yang tak jarang membuat
ungkapan Pram terasa kaku tapi kukuh.
Pergulatan bisa melahirkan kemerdekaan, meskipun
humanisme yang mengagungkan kedigdayaan insani sering akhirnya gagal membebaskan
manusia. Tapi yang gagal tak berarti bersalah. ”Kalau yang buruk jua yang
datang, sesungguhnya memang bukan urusan kita lagi,” kata si ibu kepada
suaminya.
”Kalau yang buruk jua yang datang….” Mungkin ibu itu
sadar akan batas-batas manusia.
Sore itu, hujan mulai jatuh di pemakaman. Orang-orang
mengangkat tangan kiri memberikan salut penghabisan kepada Pramoedya Ananta
Toer. Internasionale dinyanyikan.
Sejarah tak selamanya murung, ternyata, meskipun tak
selamanya ceria. Kini orang bebas menyanyikan lagu ”komunis” itu—meskipun
mungkin ada juga rasa ngilu: dulu nyanyian itu pernah jadi lambang janji masa
depan; kini ia seakan-akan hanya bagian dari masa lalu.
Tapi selalu ada yang menggetarkan dalam nostalgia.
Selalu ada yang menggetarkan dalam kisah perjuangan yang tak sampai, tapi
berharga.
Goenawan Mohamad, “Catatan Pinggir”, 2006
0 komentar:
Posting Komentar