.
Oleh: Nani Efendi
Obsesi akan "yang asli"
adalah racun bagi kehidupan sosial. Dan bahkan bisa memicu saling benci antar
sesama. Demikian kira-kira menurut Profesor Ariel Heryanto. Saat ini, sering
dibincangkan persoalan "orang Indonesia asli" dan yang bukan;
penduduk asli dan yang bukan. Bahkan, ada yang memang “berkampanye” tentang
anti-asing. Padahal, dari tes DNA, semua orang Indonesia yang mendiami
Nusantara ini adalah pendatang atau asing. Tak ada yang benar-benar asli
Indonesia. Bukankah Indonesia baru ada setelah 1945? Sebelum 1945, namanya:
Hindia Belanda.
Lantas ada yang bertanya: kalau
begitu, orang dari negara lain boleh jadi presiden Indonesia? Saya jawab: tidak.
Karena, kembali ke kalimat awal tulisan saya di atas, mereka juga punya obsesi
seperti kita. Dalam artian, di pandangan orang dari negara lain itu, kitalah
yang asing. Jadi, maksud saya, ini adalah fenomena umum: selagi manusia punya
obsesi akan “yang asli”, selama itu pula manusia saling curiga dan tak menyukai—yang
di matanya—dianggap “asing” atau “tak asli”.
Adakah orang Indonesia asli?
Beberapa tahun lalu, saya
mengikuti Diklatpim (Pendidikan dan Latihan Kepemimpinan) di Jakarta, yang
diadakan oleh PB-HMI. Ada satu pemateri, seorang profesor dari salah satu
universitas di Singapore—yang saya tak ingat lagi namanya—menjelaskan bahwa
jika negara-negara lain yang berdiri berdasarkan ras dan bangsa, mereka, jika
bubar sebagai negara, masih tetap ada sebagai bangsa. Negara-negara itu
misalnya: Jepang, Arab, Cina, Yahudi, Korea, dan lain-lain. Negara Jepang,
misalnya, seandainya mereka bubar sebagai negara, orang Jepang—yang berkulit
kuning itu—tetap ada. Begitu juga dengan Arab. Seandainya negara Arab bubar,
orang-orang Arab tetap ada. Begitu juga Cina, dan negara-negara lainnya.
Tapi Indonesia tidak. Indonesia,
jika bubar, kata profesor itu, tak ada itu yang namanya “orang Indonesia”. Yang
ada, katanya: orang Aceh, orang Batak, orang Minang, orang Melayu, orang Jawa,
orang Sunda, orang Bugis, orang Papua, dan seterusnya. Jadi, negara Indonesia
didirikan bukan berdasarkan ras dan bangsa, seperti Jepang, Cina, misalnya. Negara
Indonesia hanya konstruksi politik. Jadi, profesor itu ingin menyampaikan
bahwa, jika tidak dikelola dengan baik dan adil, Indonesia sangat rentan dengan
perpecahan. Masyarakat Indonesia tak memiliki kesamaan suku, ras, etnis, agama,
dan lainnya. Tapi, penggolongan manusia berdasarkan suku-suku itu pun masih
dipertanyakan juga. Ada yang mengatakan itu hanya bikinan pemerintah kolonial Belanda.
Menurut Pramoedya Ananta Toer, Indonesia,
secara administratif disatukan oleh pemerintah kolonial Belanda; dan secara
politik disatukan oleh Sukarno. Jadi negara Indonesia hanya sebuah “konstruksi
politik”, bukan “bangunan satu ras”. Dan berdasarkan hasil tes DNA terhadap
orang Indonesia sebagaimana dilansir oleh sains.kompas.com,
yang berjudul: “Tak Ada Pribumi, Begini Tes DNA Tentukan Asal Usul Orang
Indonesia”, menyatakan bahwa tak ada yang dinamakan manusia pribumi atau asli
Indonesia.
Berhentilah berobsesi akan
“yang asli”
Baru-baru ini, saya mendapatkan
lagi penjelasan dari Ariel Heryanto tentang obsesi masyarakat Indonesia akan “yang
asli Indonesia”. Ariel Heryanto adalah profesor di Monash University,
Australia. Saya sangat mengaguminya karena sikapnya yang kritis dan pikirannya
yang tajam. Ariel, dan rekannya Arief Budiman, pernah menjadi dosen di UKSW
Salatiga. Tapi karena sikap kritis dan tak sejalan dengan pemilik yayasan dalam
pemilihan rektor UKSW pada 1993, mereka akhirnya dipecat pihak kampus (yayasan). Mereka hijrah
ke Australia dan akhirnya menjadi dosen bahkan guru besar di sana.
Dalam presentasinya yang saya
ikuti di chanel YouTube, Ariel menjelaskan problem masyarakat tentang obsesi
akan “yang asli” dan “tidak asli”. Ia juga mengatakan ada sebagian kelompok
orang Indonesia yang berpandangan “anti asing”. Segala yang asing dianggap
jelek. Yang bagus hanya asli Indonesia. Padahal, kata Ariel, tak ada yang
benar-benar asli Indonesia. Istilah “republik”, misalnya, itu adalah istilah
asing. Termasuk juga istilah “demokrasi”, “presiden”, dan lain-lain. Bahkan,
nama “Indonesia” sendiri adalah dari istilah yang dibuat oleh orang asing.
Ada perbedaan pemahaman
masyarakat, jelas Ariel, tentang negara. Pemahaman masa lalu: negara adalah
proyek masa depan; kerja bareng untuk mewujudkan kehidupan yang baik dan
setara. Pemahaman sekarang terbalik: negara dipahami seakan-akan sebagai
warisan. Jadi, bukan berkiblat ke depan, tapi ke belakang. Seakan-akan bangsa
ini sudah tercipta dari “sono”-nya. Akhirnya, ada sebagian kelompok orang
menganggap punya hak waris istimewa dibanding yang lain. Padahal, Indonesia
baru ada setelah 1945. Sebelum 1945, dinamakan Hindia Belanda.
Jadi, Indonesia bukanlah negara
yang memang sudah tercipta dengan sendirinya semenjak adanya bumi ini. Ia
diciptakan oleh manusia melalui proses-proses sosial-politik yang panjang.
Dalam proses membentuk negara yang diberi nama Indonesia ini, ada banyak unsur
dan faktor-faktor, bahkan ada unsur-unsur asing yang diadopsi.
Jadi, berhentilah berobsesi akan “yang asli”. Karena tak ada yang benar-benar asli di bawah kolong langit ini. Dan, tak hanya dalam skala negara, tapi juga dalam lingkup adat-istiadat dan budaya masyarakat lokal. Semua adat dan budaya yang kita saksikan hari ini adalah hasil akulturasi dan sinkretisasi dari berbagai budaya dan adat-istiadat yang berbeda-beda. Tak ada yang benar-benar tercipta secara murni.
Dan kalau mau
kita tarik lebih jauh ke keyakinan agama samawi, kita ini semua berasal dari
nenek moyang yang sama: Adam dan Hawa. Dari sanalah dimulai evolusi fisik,
sosial, dan budaya, yang berlangsung ribuan tahun, sehingga jadilah kehidupan
sebagaimana yang kita saksikan saat ini. Jadi, kalau kita sekarang masih
berobsesi akan “yang asli”, itu adalah suatu keinginan yang irasional dan ahistoris.
Sebagai penutup, ada pertanyaan
menarik dalam presentasi Ariel itu: mengapa dalam lirik lagu Indonesia Raya
disebutkan “di sanalah aku berdiri”, bukan “di sinilah”? Menurut
Ariel, itu berarti negara Indonesia adalah suatu angan-angan masa depan: suatu
negara yang ingin diwujudkan. Bukan sesuatu yang sudah ada dan diwarisi dari
masa lalu.
NANI EFENDI, Alumnus
HMI
0 komentar:
Posting Komentar